Halaman

Rabu, 22 Oktober 2025

Di Garum Kamu Tinggal, Ke Sana Kami Pulang

Untuk EDP


Aku membeli buku puisi yang ditulis oleh seseorang yang sudah tiada. Barangkali, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya membaca suara yang tak lagi punya tubuh. Aku duduk di beranda sore itu, membawa secangkir teh yang sudah mulai dingin, sambil memandang lalu lalang orang. Dunia selalu tampak sibuk, tanpa peduli ada yang sedang belajar hidup tanpa seseorang.

Sesekali aku membaca puisi itu dengan suara keras, hanya untuk mendengar rima dan getar suaraku sendiri yang tiba-tiba digampar kesedihan. Ia datang bukan dengan teriakan. Ia kabut yang tiba-tiba menempel di kaca jendela; diam dan membuat pandangan mata buram.

Meskipun sangat mencintai bunga, kamu tidak akan memerlukanya lagi saat tiada. Hingga ketika aku datang menjengukmu ke makam di Garum, aku tidak membawa bunga. Aku duduk di tepian, memandangi awan-awan di langit yang cerah, dan menikmati semangkuk es kacang merah atas namamu. Mencoba menghabiskan waktu dengan tanpa penyesalan.

Jika musim hujan tiba, aku akan menikmati secangkir jahe hangat di ujung meja bersama orang-orang kesayanganmu. Aku suka membayangkan aromanya tumpah ke udara, mencari jalan pulang menuju ruhmu yang tenang. Sambil menatap tetes gerimis yang menuruni kaca, bagai kenangan yang tidak tahu bagaimana cara untuk berhenti jatuh.

Aku tahu, bunga tidak perlu tumbuh di antara kembang lain. Karena kamu sudah mekar di dalam jiwa setiap orang yang pernah mengenalmu. Di dalam mereka yang mencintaimu, kamu tumbuh tanpa tanah, tanpa musim, tanpa henti.

Terakhir kali aku mendengarmu berbicara, kamu mencari nama adikmu. Percayalah, ia akan baik-baik saja, walaupun ia perlu menangisi perpisahan yang tidak pernah tepat waktu, walaupun dunia yang berengsek ini tidak membiarkan pikirannya beristirahat barang sebentar, walaupun ia mengerti bahwa kehilangan yang sama sudah melukai banyak orang lain, walaupun tidak ada seorangpun yang akan bisa membayangkan apa yang seorang kakak pernah berikan untuk adiknya.

Kamu selalu lebih khawatir pada kesakitan adikmu daripada kepedihanmu sendiri. Kata-kata terakhirmu dalam telpon: “Aku baik-baik saja.” Ia tantrum mengulangi kata-katamu, sambil tubuhnya terguncang oleh isak yang tak sempat menjadi doa: mengapa kamu tidak jujur tentang penyakitmu? Mengapa kamu tidak sempat mengucapkan selamat tinggal? Mengapa kamu tidak membiarkannya melakukan sesuatu, sekecil apa pun itu, untukmu?

Waktu perlahan akan selalu bisa mencicil hutang penjelasan. Secara bertahap, ia akan belajar berkenalan dengan bentuk tak terlihat dari kepergianmu. Ia akan mulai kembali berkawan dengan kesedihan yang datang tiba-tiba, mengetuk pintu ketika pagi dan tidak pulang sampai malam. Menghayati segala tanya dengan awalan mengapa. Ia akan belajar bahwa yang paling menyakitkan dari luka kehilangan adalah bukan pada yang sudah ia lakukan, tapi pada yang belum. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menangis saja, tanpa ada yang bertanya mengapa.

Hidup menjadi tidak wajar setelah kehilangan lekas. Ada hari-hari ketika langit terasa terlalu rendah, dan lampu-lampu jalanan menyalakan ingatan yang meremukkan hati. Ada rumah kosong yang menyisakan perih kehampaan. Ada komentar di kolom Instagram yang tidak akan pernah terbalas. Ada suara yang masih melekat. Tidak ada lagi tangan yang bisa dijabat atau tubuh yang bisa dipeluk. Di tengah keanehan itu, ada kesadaran yang tetap: bahwa kematian tidak mengakhiri hubungan, dan cinta tidak tahu cara untuk mati.

Kami masih menyebut namamu, di antara sendok, piring, dan bising celoteh anak-anak, sambil sekali lagi menangisi kefanaan. Akan selalu ada kamar yang nyaman di hati kami untukmu. Di mana tidak ada badai atau malam atau rasa sakit yang dapat menjangkaumu lagi.

Saat ini, mungkin kamu sedang membaca puisi ini sambil tersenyum. Kelak kami akan mengerti, bahwa tidak ada yang benar-benar pergi. Akan tiba saatnya kami melihat wajahmu yang cantik lagi, di negeri tempat semua air mata akan terhapus dari hati, dan kehilangan tak lagi punya arti.


Garum, 22 Oktober 2025