Halaman

Selasa, 31 Januari 2017

Dengarlah Nyanyian Angin

Untuk D.

Kita berjalan melintasi pintu-pintu waktu yang berbaris panjang seperti cakrawala di tengah laut biru. Di ujung senja jingga itu, cintaku, akan ada burung-burung putih yang pulang dengan perut kenyang. Dan rembulan muda yang sendu seperti sepasang kekasih yang bersitatap dalam rindu ungu.

Tahun-tahun perenggut semua hal tidak pernah melongok dari jendela-jendela yang tertutup rapat antara buku-buku sejarah yang usang dan rumput-rumput hijau yang terinjak.

Kamu menyebut itu kebaikan yang selalu utuh, hikmah yang penuh, kebenaran yang menyeluruh dalam pekikan riuh hulubalang.

Tuhan ada dalam kedamaian hati yang berkelindan dengan warna kelabu yang berubah merah seperti sinar matahari hangat di tengadah telapak tangan, ketika sujud tidak cukup untuk manampung maut rindu dan sajakmu yang berdendang di tiup nyiur resah angin malam.

Sabtu, 14 Januari 2017

Berdiskusi dengan Guyub

Saya berencana bertemu seorang kawan untuk menyumbang buku, dan kami memutuskan bertemu di sebuah restoran cepat saji.

Desember siang itu cuaca terik, sudah beberapa hari tidak turun hujan. Di saat banyak orang mengharapkan hujan, saya berharap Dora bernyanyi, “hujan-hujan pergilah datang lagi lain hari,”
 
“Tadi waktu aku mau kesini tiba-tiba ujan gede,” kata kawan saya memulai percakapan.

Dora mengecewakan saya.

“Iya? Tapi hujannya nggak rata. Setelah tol timur tadi baru gue liat jalanan becek.” Saya merespon, tidak lama setelah meletakan kardus buku di bawah meja.

“Hujannya juga cuma sebentar sih.”

“Semoga di rumah nggak ujan. Ada tukang yang lagi ngecor soalnya.”

Seperti biasa, percakapan berlanjut dengan menanyakan kabar, kegiatan, dan hal-hal sederhana lain. Kawan saya kemudian bercerita tentang kesalahpahaman ibunya tentang buku-buku yang ingin saya sumbangkan. Beliau mengira saya akan menyumbangkan buku-buku yang saya tulis, yang menurutnya kurang cocok.

“Aku bilang, ‘Yang disumbangin itu buku-buku yang dipunya Nailal, Mi! Bukan buku-buku karangan Nailal!’” kawan saya menirukan cara dia menjelaskan kepada ibunya. Saya membalas dengan tawa.

Tentu saja saya tidak berniat menyumbangkan buku-buku yang saya tulis. Selain karena tidak banyak, saya juga sadar bahwa sumbangan ini untuk panti asuhan Kristiani, jadi tidak mungkin saya memasukan buku-buku yang bernuansa Islam. Saya masih waras untuk tidak menyumbangkan buku “Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab: Uraian Manasik, Hukum, Hikmah, & Panduan Meraih Haji Mabrur” kepada mereka.

Kami membicarakan banyak hal, termasuk intoleransi yang menguat akhir-akhir ini. Ia bercerita tentang berdebatan di media sosial yang semakin riuh, semakin membuat jengah. Debat antara kawan, baik yang seagama juga yang berbeda. Banyak bertebaran berita hoax. Pelarangan ibadah di Sabuga dan lain-lain. Saya sempat kaget ketika ia bercerita bahwa di sekolah tempat ia mengajar, panitia bahkan sampai mengganti nama Perayaan Natal menjadi Thanksgiving.

Pahit sekali.

Saya membayangkan berada di posisinya. Menjadi golongan yang sedikit. Membayangkan menjadi muslim di negara yang warganya telah terjangkit Islamophobia. Membayangkan rumah ibadah kami dilarang berdiri. Membayangkan bertahan atas diskriminasi dan ejekan di jalan-jalan kota.

Entah mengapa, setelah mendengar curhatannya, sebagai seorang muslim, golongan yang terbanyak, saya jadi merasa bersalah. Untuk membesarkan hatinya, saya sarankan ia untuk tidak berdebat di media sosial. Selain berguna untuk menjaga tempurung kepala tidak mengkerut, berdebat dengan orang-orang yang kalap, ngotot dan gemar menyebar fitnah, juga tidak akan membawa kita kemana-mana.

Saya senang bertukar pikiran dan berdebat. Sebuah berkah karena sejak mondok saya punya teman-teman debat yang bagus. Kita tahu, lawan berdebat yang baik membuat perdebatan berkualitas. Itu adalah masa-masa dimana kami suka menguji mental dengan berbicara di depan orang banyak dan berkata-kata besar. Kelak berbekal pengalaman itu, saya berani mendebat siapapun yang tidak sependapat. Hanya satu orang yang tidak pernah menang saya debat; istri saya. Kalaupun saya menang, ia menangis. Dan saya menjadi makhluk paling brengsek di seluruh tata surya.

Ada banyak kawan debat yang saya kagumi, salah satunya Ahmad Rifa’i. Dalam satu forum diskusi berisi beberapa angkatan di atas kami, ia pernah berkata dengan jernih, “Saya nggak peduli dengan pelakunya. Saya membayangkan jika yang menjadi korban adalah keluarga saya, maka saya akan menuntut. Siapapun pelakunya, pembunuhan sembarangan seperti itu sama dengan membunuh manusia seluruhnya.”

Tahun 2011, saat itu Fa’i dan saya kelas satu Aliyah, ia mengemukakan pendapat pribadi itu di depan para senior, ketika kami sedang membahas Al-Qaeda dengan aksi 9/11 di WTC. Bagi saya yang terbiasa mendapat cekokan hafalan dan khutbah, mengemukakan pendapat pribadi di depan orang banyak adalah tindakan yang baru. Dan sesuatu yang baru adalah keren! Apalagi di depan para senior, apalagi pendapatnya bersebrangan. Sejak saat itu saya mengaguminya.

Dari Ahmad Rifai saya belajar keadilan. Bahwa keadilan adalah asas dasar seorang muslim ketika bertindak. Bahwa kita dilarang berbuat zalim bahkan kepada orang yang kita benci. Bahwa berbuat adil itu lebih dekat dengan ketakwaan.

Kawan yang lain adalah Zainuddin. Ia moderator perdebatan yang sangat kritis dan sangat menghargai perbedaan. Saya berkawan baik dengannya sejak kelas satu Tsanawiyah, dan yang paling saya ingat dari Njay adalah ia tidak pernah membeda-bedakan teman. Dia berkawan dengan siapa saja, yang pintar, yang kurang pintar, yang banyak uang, yang kurang, yang gaul, yang kuper, introvert, extrovert. Kepada siapa saja tanpa pernah membeda-bedakan latar belakang mereka. Supel mungkin kata yang tepat menggambarkan dirinya. Dari Njay saya belajar tentang menghargai perbedaan, ketulusan menolong dan kesetiakawanan.

Muhammad Yahya, atau Kiyai, atau Gus, atau Aki-aki, atau Engkong juga adalah kawan bertukar pikiran yang sangat saya hormati karena kaya bahan bacaan. Dia yang paling cemerlang diantara kami sekelas. Tidak ada orang yang pernah menyaingi rankingnya. Dia dikenal dan disayang oleh semua guru. Kepadanya kami bertanya pelajaran-pelajaran yang belum kami pahami.

Dalam diskusi, ia lebih sering menjawab tidak tahu. Ia sering mauquf (belum menentukan pilihan, menunda pendapat) terutama pada masalah yang kontroversial. Ia sangat hati-hati dalam berpendapat. Salah satu tanda kedalaman ilmunya. Sebagaimana Imam Syafi’i yang pernah menceritakan bahwa Imam Malik ketika diajukan 50 pertanyaan tentang agama, hanya menjawab 10 pertanyaan, selebihnya ia menjawab tidak tahu.

Dari Kiyai Yahya saya belajar tentang tawadhu, tabayyun dan berprasangka baik. Untuk berhati-hati terhadap informasi yang beredar, mencari kejelasan suatu masalah hingga terungkap dengan jelas kondisi yang sebenarnya dengan pemahaman yang mendalam.

Begitulah saya senang berdiskusi, begitulah saya mengagumi dan mengambil pelajaran dari kawan-kawan berdebat saya, tapi berdebat di media sosial adalah hal yang lain. Menurut saya banyak orang yang tidak tahu adab di sana, atau paling tidak melupakannya. Mereka yang hanya diwakili oleh sebaris nama dengan “@”, merasa seakan-akan tidak dikenali dan bebas melakukan apapun. Orang dengan mudah mencaci “ndasmu!” kepada ulama yang santun. Orang dengan enteng menyebar berita bohong tanpa merasa harus meminta maaf jika terbukti. Ada istilah yang populer di tengah-tengah aktifis penangkal berita dusta, “Apa yang lebih cepat dari kecepatan cahaya? Orang bodoh yang menyebar berita hoax.”

Akhlak yang baik; itulah yang hilang dari kita. Saya ingat, semasa mondok, sebelum jauh-jauh mengkaji Bulughul Maram, Alfiyah, Ilmu Mantiq, Falak dan pelajaran-pelajaran tinggi lainnya, kami belajar Akhlaqu Lilbanin dan Ta’lim Muta’alim. Kami belajar tentang akhlak. Santri diajarkan berakhlak baik kepada semua orang; pembantu, orang yang lebih tua, yang lebih muda, guru, binatang, tanaman dan lain-lain. Saya tidak sedang membanggakan anak pondok, tapi menekankan pentingnnya beretika kepada setiap orang. Sebagaimana Gus Mus bilang, “Santri bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah Santri.”

Sejatinya begitulah tujuan nabi Muhammad diutus ke muka bumi, liutammima makarimal akhlaq, untuk menyempurnakan akhlak mulia. Maka jika ingin berdiskusi, marilah berdiskusi dengan ilmu dan akhlak. Dengan logika sebagai dasar, dan mengerti ketentuan dalam pengambilan dalil. Dengan adil, menghargai perbedaan, tabayyun, tawadhu dan berprasangka baik. Itulah akhlak standar seorang muslim.

Argumen yang bagus adalah argumen logis yang didukung pendapat ulama ahli ilmu wa al-ma'rifat yang tsiqah. Bukan asal kutip dari tulisan yang tidak jelas penulisnya. Menyerang pribadi bukanlah argumen. Biasanya mereka yang tidak bisa membalas argumen sering malah menyerang pribadi dan berasumsi. Dari mulai kurang iman, munafik, kafir, dan lain-lain. Menuduh lebih mudah daripada menyusun bantahan bukan? Dan berdebat dengan orang-orang seperti itu hanya akan membuat otak melorot sampai mata kaki.

Perbedaan seharusnya disikapi dengan santai dan tenang. Bagi saya, tidak masalah berbeda pendapat atau mendebat, asalkan dengan argumen disertai dengan sopan santun, bukan seenaknya saja tanpa hormat. Itulah mengapa saya agak malas berdiskusi di media sosial. Tidak ada tone, intonasi, timing, suasana dan lain sebagainya yang bisa kita temukan ketika berdiskusi langsung. Selain itu, saya juga belajar bahwa tidak semua hal bisa diperdebatkan. Tidak semua orang bisa secara dewasa diajak berdebat. Agama juga telah mengatur koridor perdebatan.

Saya mendorong semua orang untuk bisa merayakan perbedaan. Bukankah berbeda pendapat itu rahmat? Maka kenapa kita senang memaksakan kehendak dan pemikiran kepada orang yang tak sejalan? Kita tidak bisa memaksa seluruh manusia menjadi orang-orang yang beriman. Apakah kita sedang berpikir bahwa kuantitas itu lebih penting dari kualitas? Jika populasi mayoritas semata-mata dijadikan ukuran makhluk yang menang, maka sudah lama dunia dikuasai kecoak.

Tidak mengakui perbedaan dan memaksa semua orang untuk sependapat bukan hanya menentang hukum alam, namun juga menentang kehendak Tuhan.

Berdiskusi dan berdebat dengan cara yang baik (terbaik) menurut saya adalah hal yang bagus untuk melatih nalar, kelapangan hati dan kesabaran, paling tidak membuat saya semakin haus ilmu, rajin membaca dan membeli buku. Sejujurnya saya enggan menyumbangkan buku-buku yang saya punya. Buku-buku yang saya kumpulkan sejak mondok, dibeli dari menyisihkan uang jajan yang memang sedikit. Andai saja saya punya rumah yang lebih besar untuk menampung mereka.

“Kalo ada buku yang nggak sesuai, dibalikin aja gak papa.” Kata saya mengakhiri percakapan di tempat parkir. Kawan saya yang rendah hati itu mengiyakan.

Hari beringsut sore ketika saya beranjak, beberapa bagian langit terlihat rendah dan kelabu, sebagian lagi terang. Ditengah perjalanan pulang, ketika banyak orang mengharapkan hujan turun, saya masih berharap sebaliknya. Semoga tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Wallahu a’lam bissowab.

Jumat, 30 Desember 2016

hari ini puisi sedang cuti

Katamu, 
sekarang puisi yang rendah hati sudah menjadi api 

Ada yang mengira membaca puisi, 
padahal frustasi 

Adalah puisi inti ibadah, 
penuh harap ia bermunajat dalam sujud yang khidmat

Saat malam datang, aku ingin puisi mengingatmu,
menghembuskan angin sejuk dan keheningan,
yang merindumu sedingin hujan, 
pada akhir kemarau panjang 

Maka aku menyusun puisi setinggi Everest,
buat dikirim padamu,
karena batas adalah langit 

Dan pada suatu pagi, ketika puisi pergi,
ia mengajakmu berdandan,
memugar awan di wajahmu yang temaram 

Jika nanti malam aku bermimpi,
aku ingin jadi puisi yang panjang untuk malam,
untuk kata, untuk langit juga untuk kau 





Selamat ulang tahun,
Yang fana itu kata, kamu puisi

Jumat, 09 Desember 2016

Pulang

Pulang favorit saya: jalanan lancar, mendung, sejuk. Sampai rumah disambut anak-anak; bercanda, bermain, ngobrol. Makanan enak, semua sehat. Mau tidur hujan turun, berderai tidak besar, atap tidak bocor.

Minggu, 6 Desember 2015, bukan pulang favorit saya. Malam itu, sepanjang jalan hujan turun. Sampai rumah nggak ada orang. Di kamar saya tidur ditemani diri sendiri dengan perasaan ditindih sepi.

Pagi hari, selepas subuh, istri saya telpon, minta segera ke rumah ibu, karena bapak sakit.
Sampai sana, bapak sudah tidak sadarkan diri. Dan 30 menit kemudian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Hari itu, selepas salat asar, jenazah dikuburkan.

Itu salah satu hari tersingkat dalam hidup saya. Beberapa orang bilang, "Baru kemarin sore saya lihat Pak haji lewat depan rumah."

Andai semua orang datang dan pulang beramai-ramai, mungkin tidak ada yang merasa ditinggalkan. Sayang, dunia bukan tempat istimewa. Pram pernah menulis bahwa hidup ini bukan seperti pasarmalam, “Di dunia ini manusia bukan berduyun-duyun lahir dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi.”

Hari itu memang bukan pulang yang saya suka, tapi saya yakin itu adalah kepulangan yang terbaik untuk bapak.

Selasa, 16 Agustus 2016

Tidak Ada yang Benar-benar Siap Menghadapi Kematian yang Tiba-tiba

“Kok hapeku nggak ada ya? Kamu liat gak?” tanya saya ke istri.

“Nggak.” Kata istri saya yang sedang mencuci pakaian.

Saya sadar hape tidak ada di tempat biasa saya letakan ketika mau pergi beli sayur. Biasanya saya mencatat apa yang mau dibeli di note hape. Setelah mencari di beberapa tempat lain dan nihil, akhirnya saya pergi ke tukang sayur tanpa hape.

Pulang dari tukang sayur, saya tidur. Antara setengah tertidur dan terjaga, terdengar suara dari arah dapur.

“BAANGG! YA AMPUN, BANG! ASTAGFIRULAH HALADZIM! HAPE ABANG KECUCI!”

Saya lompat dari atas kasur dan mendapati istri saya memegang hape yang basah.

“Maaf ya, Bang.” Kata istri saya.

Tanpa melepas pandangan dari almarhum hape, saya mengambilnya. Saya menerawang kejadian sebelumnya. Pagi itu, setelah sampai rumah, saya mencopot celana jeans dan meletakannya di samping mesin cuci. Beberapa menit kemudian istri saya mencucinya bersama pakaian-pakaian lain, tanpa sadar bahwa hape saya, yang masih ada di kantong celana, ikut tergiling.

Nokia 300 adalah hape yang terakhir kali dipakai almarhum bapak, dan sekarang saya pakai beserta nomor telpon dan segala isinya. Di dalamnya masih ada kontak kawan-kawan bapak, beberapa SMS, panggilan telpon keluar dan masuk juga foto-foto. Kata orang, hape adalah bagian dari diri manusia masa kini. Saya tidak mau terdengar terlalu melankolis tentang benda ini, tapi memang inilah benda yang terakhir kali dipegang almarhum bapak sebelum meninggal.

Pagi itu, bapak bangun dengan kepala berat, sambil tiduran dia menelpon atasannya minta izin tidak masuk kerja. Setelah menelpon, bapak tidak sadarkan diri, bahkan hape masih tertempel di kupingnya. Sampai akhirnya beliau meninggal di dalam kendaraan menuju rumah sakit.

Tidak ada yang lebih mengagetkan daripada kematian yang tiba-tiba. Sheila on 7 bilang, “kau takkan pernah tahu apa yang kau miliki hingga nanti kau kehilangan.” Hukum itu berlaku bagi siapa saja, tidak peduli mengerti ataupun tidak. Berengsek benar memang.

Setelah saya preteli, keringkan dengan handuk dan hair dryer, hape itu saya kubur dalam beras. Hari ini sudah terhitung lima hari, tapi saya belum berani menghidupkan kembali. Memang ada kemungkinan hape itu masih bisa nyala, tapi ada kemungkinan juga tidak. Untuk kemungkinan yang terakhir, saya merasa belum siap. Karena bagaimanapun, tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kematian yang tiba-tiba.

Kamis, 28 Juli 2016

Feels Like Summer

Matahari bersinar redup di pojok timur langit ketika kita keluar rumah. Sinar itu merambati bumi, menghangatkan pagi yang masih dingin. Hujan yang mengguyur sehari sebelumnya memerahkan tanah, meruapkan aroma yang khas. Kabut tipis di jalan mulai hilang, seiring lalu lalang kendaraan dan kegiatan yang mulai menggeliat, sebagian udara segar terangkat naik, sebagian menyesaki rongga paru-paru. Hari ini kita akan jalan-jalan, kataku.

Aku masih ingat dengan jelas pemandangan di jalan itu; lurus di tepi sungai ke arah timur. Di sebelah selatan, siluet punggung Gunung Gede yang masih berselimut kabut terlihat malu-malu. Sementara di belakang kita, samar-samar terlihat Gunung Salak yang kebiruan, terbilas bersih oleh hujan lembut bulan Desember.

Kita mengejar matahari. Angin dingin pagi melintasi padang sawah yang hijau kekuningan, menepuk-nepuk wajah, kemudian berlalu entah kemana. Langit biru cerah berhias kapas awan putih memenuhi lanskap, membuat mata terasa sakit jika terus memandangnya. Sungai lebar di pinggir jalan mengalir tenang ke arah barat.

Suasana begitu jernih, tidak ada suara musik yang menyumbat telinga, tak banyak kendaraan yang melintas bersama atau berlawanan dengan arah kita. Diliputi semua itu, dari atas Revo, kita bercerita banyak hal tentang perjalanan; jembatan, sungai di bawah sungai, dan asal usul nama-nama tempat dan jalan.

Aku telah merencanakan perjalanan itu jauh hari dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Mensurvey jalan dan rute —bahkan yang belum pernah aku lalui sekalipun—, juga tempat-tempat untuk berhenti.

“Pertama kita akan beli roti dan air mineral untuk sarapan,” kataku ketika sampai di parkiran sebuah ruko yang menjulang tinggi dengan kincir angin gaya Belanda di atasnya.

“Kita kemana setelah ini?” katamu.

“Kita akan piknik di pinggir danau. Tapi sebelumnya, aku akan ajak kamu lewat pemandangan bagus.”

Aku tidak benar-benar mengerti tentang definisi pemandangan bagus, yang aku pahami, kita membuat pemandangan menjadi indah karena kita punya perspektif tersendiri tentang pemandangan itu. Seperti Guido dalam Life Is Beautiful, yang menggambarkan kepada anaknya tentang hidup dan dunia yang tetap harus dijalani dengan riang di tengah kebencian kepada kaumnya. Jadi bukan semata-mata pemandangan, perspektif dan perasaan kita yang menentukan pemandangan itu indah atau tidak.

Lagipula, kita sedang tidak tergesa, maka mari kita nikmati hal-hal kecil yang luput; keabadian pada sebutir pasir dan keindahan pada sekuntum bunga liar.

“Bang.” Kamu bilang, tidak beberapa lama setelah kita duduk di pinggir danau sambil mengunyah Crossant Keju, “Aku boleh nanya satu pertanyaan?”

“Akan kujawab tiga pertanyaan.”

“Nggak usah. Satu aja.” Kamu tersenyum.

“Oke.”

“Jadi bait terakhir dari puisi itu maksudnya apa?”

Beberapa hari yang lalu aku sudah menjelaskan simbol dalam puisi, berharap dengan itu kamu bisa mengambil makna sendiri. Bukankah pengarang mati setelah karyanya selesai? Tapi sepertinya itu tidak berlaku kepadaku. Penjelasan tentang diksi, imaji, gaya bahasa, rima, rasa, makna dan tujuan dalam puisi mungkin juga tidak akan banyak menolong, karena yang kamu mau adalah makna dariku.

“Kamu mengerti tentang Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?” tanyaku retoris memulai menjelaskan Stanza terakhir puisi itu, “Sakinah itu seperti air danau di hadapan kita; tenang, tentram, damai, aman, terlindungi. Aku kira kita sudah dan sedang mendapatkan perasaan itu sekarang, /seperti rasa yang pernah kita alami./”

Kamu diam mendengarkan. Sinar matahari menembus sela-sela batang pohon menampilkan bayangan langit di permukaan air danau. Beberapa ekor capung hinggap di batang ilalang kemudian terbang digoyang angin semilir.

“Mawaddah bisa diartikan cinta. Sakinah akan meningkat menjadi Mawaddah. Jadi setelah Sakinah, kita bisa merasakan Mawaddah yang sesungguhnya. Sementara Rahmah berasal dari sifat Allah, yang lebih bermakna ruhiyah atau qolbiyah. Berbeda dengan Mawaddah yang lebih bersifat fisik, Rahmah tak lagi menilai fisik dan duniawi. Dan semua itu —ketenangan, cinta dan kasih sayang—, terjadi di dalam hati, /ketika ilalang bergoyang menggerakan serat-serat hati./

Burung Gereja hinggap di ranting pohon, bercicit sebentar kemudian terbang.

Kita baru akan beranjak dari piknik singkat itu ketika sebuah motor dengan dua orang satpam menghampiri, dan mengingatkan bahwa tempat itu rawan kejahatan karena sepi. Sebaiknya ke tempat lain, Pak, kata salah satunya dengan sopan.

Kita cengar-cengir sendiri ketika keduanya berlalu, seperti dua orang anak kecil yang kepergok menghabiskan cokelat dalam kulkas; dosa kecil yang kita nikmati. Sungguh aku sudah memprediksi jadwal patroli mereka, karena bagaimanapun danau itu memang bukan tempat rekreasi umum.

Kendaraan kembali menyusuri jalan lurus namun berbukit dengan jejeran pohon palem dan pohon-pohon yang kita tidak kenal namanya, menjulang tinggi seperti cemara, berbaris rapih seperti prajurit. Ketika jalan menanjak, kita bisa melihat pohon-pohon itu seperti ditelan permukaan jalan, dan ketika jalan menurun, kita melihat pohon-pohon itu semakin kecil menjauh.

“Jadi kenapa malam itu kamu nangis?” tanyaku di atas kendaraan yang sedang melaju.

“Gak tau.”

“Bukan karena aku lupa nyuci keset-keset kotor?”

“Bukan.”

“Trus kenaapa?”

“Nggak tau. Memang waktu itu aku lagi sensitip aja.”

“Aku pikir malam itu kamu mau bilang, ‘Aku tahu abang selingkuh!’”

“JADI ABANG SELINGKUH?!”

Aku tertawa lepas.

Benar yang Hoeda bilang, perempuan tidak menginginkan pesaing, bahkan jika si pesaing dapat ia kalahkan, bahkan jika ia tidak benar-benar ada.


“Ada satu tempat lagi yang akan aku tunjukan.” kataku, “I save the best for last.”

“Show me!”

“Ini dia.” Kataku setelah sampai di bagian paling tinggi di jalan itu.

“Apa istimewanya jalan ini?” kamu bingung melihat jalan turun dan menanjak sejauh kira-kira dua kilometer di hadapanmu, dengan semak belukar liar di beberapa sisi jalan, sementara di kejauhan, kamu bisa melihat hamparan pemakaman dengan sebuah bangunan seperti masjid di tengahnya.

“Jalan ini istimewa karena kita ada di puncaknya.”

Kamu mengernyitkan dahi, mungkin bingung. Aku tersenyum, dalam hati ingin menyanyikan sebuah lirik; when I am with you, there's no place I'd rather be.

Inilah perjalanan yang akan kukenang, seperti adegan terakhir dalam We Bought a Zoo. Perjalanan yang membangkitkan rasa yang lama; debaran ketika melakukan hal-hal untuk pertama kali, gairah yang meluap-luap, usaha untuk menjelaskan hal-hal yang membuatmu terkesan, perasaan dekat sekaligus khawatir. Di atas semua itu, aku ingin tetap memelihara kekagumanku padamu.

Aku selalu tertarik dengan para pengembara yang memiliki kepasrahan para sufi. Berjalan dalam kehidupan fana, menetap sebentar kemudian bergegas melanjutkan perjalanan setelah merobohkan tenda. Bagi mereka, perjalanan adalah kehidupan dan kehidupan adalah perjalanan. Dalam perjalanan, yang terpenting adalah menikmati saat ini dan tidak terlalu takut dengan masa depan yang belum terjadi. Kau dan aku adalah musafir dari masa lalu, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh yang jauh.

Jangan khawatir, selama kita bersama, aku yakin kita bisa pergi sejauh yang kita inginkan. Seperti yang orang Afrika bilang, “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”
Di tengah dunia yang hingar-bingar, penuh kebencian, rasisme, fitnah dan caci maki ini, kita dipaksa untuk tetap bersikap jernih dan bahagia. Hal itu mudah saja, karena kita hanya tinggal mencari hal yang telah ada di dalam diri kita, di sanalah kebahagiaan kita yang sejati. Rumah dimana anak-anak menyambut dengan riang di depan pintu. Berebut ingin berbicara kegiatan mereka satu-satu.

Setelah singgah sebentar di masjid dengan payung besar seperti di Masjid Nabawi, kita melanjutkan perjalanan. Bersama kita fragmen kecil waktu seperti membeku, juga bersama awan yang berarak di langit biru. Di ujung jauh, mendung musim ini menggantung, tapi musim apapun, bersamamu rasanya sama saja, Feels Like Summer.

Time of our lives, wonder of surprise, 
The open blue skies reflecting in our eyes, 
In a photograph, captured as we laugh, Like we always do. 
 
Clear country air, ever-free from care, 
True friendship that we share, joy beyond compare, 
In a perfect place, see the sunny days, Coming into view.
  
Once you were here, the worries disappeared,  
It all became clear, nothing left to fear, 
You have got my back, Keeping me on track, Like you always do. 
  
Time of our lives, such a sweet surprise,  
Together we survive, ever starry-eyed,  
Beyond any price, pure as paradise, Coming into view.
  
If we get lost on a grey cloudy day, 
Let's stick together we'll always find our way.
   
Cause everyday feels like summer with you,  
Everything feels like starting a new,  
Everyday feels like summer with you. (*)  

Di atas motor,
segala hal selain kita hilang.
Dan keinginanku sederhana saja,
bersamamu sampai pulang.

(*) song by Tim Wheeler

Sabtu, 23 Juli 2016

Kancil, Perundungan dan Belajar Menjadi Orangtua

Satu hari tantrum Safa kambuh. Ia berteriak sambil menangis minta mandi di halaman depan. Dengan Nada, Saya sudah pernah menghadapi tantrum sejenis ini, jadi saya punya pengalaman untuk mengatasinya.

Saya dekati Safa kemudian berbisik di telinganya, “Safa dengarkan bapak. Mari kita buat semuanya jelas. Bapak akan mendengarkan Safa selama Safa mau mendengarkan bapak.”

Safa berhenti menangis.

“Kita kerjasama.” Kata saya kemudian, “Safa bisa diajak kerjasama?”

Dia mengangguk.

Saya membolehkannya mandi di halaman depan, seperti kemauannya. Sambil menyaratkan, “Kalau bapak bilang sudah, kita sepakat untuk berhenti. Oke?”

“Oke.” Ia menjawab jelas.

Setelah waktunya cukup, saya minta Safa untuk handukan. Dia sudah mendekat untuk dihanduki tapi kemudian mengejek saya dan berlari kembali ke halaman depan.

Saya tidak kaget dengan kelakuan itu.

Nada pernah melakukan hal yang lebih parah. Ia menangis sambil berteriak di depan sebuah mal besar di Jakarta. Hari itu kami pulang dari menghadiri sebuah acara di sana, dan sedang menunggu kendaraan yang akan menjemput. Saya dan istri sudah lelah, begitu juga Nada. Ia mungkin hanya ingin mencari perhatian, dan berhasil menarik perhatian kami, bahkan perhatian semua pengunjung mal dan para satpam.

Kabar baiknya, itulah tantrum terakhir Nada. Sudah hampir lima bulan sejak peristiwa itu dan sampai sekarang, ia tidak pernah melakukannya lagi. Saya tahu Nada sangat menyesal dengan kejadian itu. Sampai sekarang, ia tidak lagi berteriak untuk meminta apapun.

Banyak orang tua yang tidak sabar dan melakukan jalan pintas dengan membentak bahkan memukul. Saya dan istri tidak pernah memukul anak kami. Dan tentu kami tidak akan membiarkan orang dewasa manapun melakukannya dengan sengaja, dengan alasan apapun. Walaupun begitu kami bukan orang tua yang sempurna. Pertama kali tantrum, saya pernah membentak Nada. Itu meredakannya untuk sesaat, dan membuat saya menyesal untuk selama-lamanya.

Zaman telah berubah. Cara mendidik juga berubah. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mendidik anak. Kita tidak bisa hidup dengan terus meyakini bahwa bumi ini datar seperti piring, ketika banyak bukti menyatakan bahwa bumi ini bulat. Membentak, memukul, mempermalukan, melecehkan, merundung adalah cara mendidik yang seharusnya ditinggalkan.

Banyak orang yang kemudian bernostalgia tentang masa kecil mereka yang diperlakukan kasar oleh orang tua juga oleh guru di sekolah, dan ternyata sekarang mereka hidup baik-baik saja, bahkan sukses. Jika demikian, kekerasan pada anak tidaklah masalah.

Apakah memang begitu?

Saya tidak bisa menjawabnya dengan hitam-putih, karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Namun, penelitian membuktikan bahwa usia anak-anak adalah usia dimana trauma ditanam. Seiring bergulirnya waktu, memang ada anak-anak yang bisa terlepas dari trauma tersebut saat dewasa, tapi juga ada anak-anak yang tidak. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan pada anak akan menimbulkan luka psikologis yang berkepanjangan.

Karena tidak tahu anak yang mana yang bisa bertahan dan anak yang mana yang tidak, maka sebaiknya mendidik dengan cara kekerasan pada anak-anak ditiadakan. Mengikuti Qowaidul Fiqh; Ad-Dhararu Yuzalu, kemudharatan/kerugian itu harus dihilangkan. Lagipula, “balas dendam” untuk memperlakukan kasar anak karena pernah diperlakukan kasar adalah sejenis lingkaran setan yang harus diputus.

Menanggapi kasus guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya, pendapat kita kemudian terbelah. Pro dan kontra. Saya pribadi tidak akan terima jika ada guru yang memukul anak saya. Namun saya juga tidak akan melaporkannya langsung ke kantor polisi, karena saya tahu di sekolah, juga di website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada cara untuk melaporkan tindakan pelanggaran seperti itu.

Melaporkan tindakan guru tersebut langsung ke pihak berwajib menandakan orang tua ingin lepas tangan dari pendidikan anak, dari keterlibatan di sekolah, dari komite orang tua di sekolah. Kita tentu tidak mau jika nanti anak kita ketahuan berbuat kriminal di sekolah seperti mencuri, sekolah tidak memanggil orang tua tapi langsung melaporkan ke kantor polisi (saya akui analogi ini tidak apple to apple).

Di lain pihak, membela guru tersebut dengan membabi buta adalah juga tindakan yang berlebihan. Ditambah lagi kekalapan dengan melakukan cyber bullying (bahkan oleh media nasional) kepada si anak, dengan menyebar foto meme si anak yang sedang merokok. Atau menyebarkan berita fitnah tentang tidak diterimanya anak itu di beberapa sekolah.

Melakukan kekerasan kepada murid adalah pelanggaran. Itu yang tertulis dalam undang-undang. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 54 menyatakan: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Jadi bagaimanapun, perbuatan itu salah.

Semua anak pernah nakal. Presiden Jokowi pernah, bahkan presiden Obama sering menghisap ganja waktu muda. Saya nggak bermaksud supaya anak-anak ikut teriak “sate”, “nasi goreng”, dan nyimeng seperti Obama. Bukan, bukan itu maksudnya. Maksud saya, setiap anak punya “kancil” dalam diri mereka. Masalahnya, orang dewasalah yang menyebabkan “kancil” di diri anak-anak menjadi semakin besar dengan cara menanganinya dengan tindakan kekerasan. Anak-anak adalah peniru yang baik.

Saya sadar bahwa tidak ada orang tua atau guru yang sempurna. Sebagai orang tua, saya terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk. Saya beberapa kali berteriak dan membentak anak saya. Apakah saya bangga? Tidak sama sekali. Bahkan setelah amarah saya reda, saya merasa bersalah. Saya berteriak kepada anak saya dengan alasan yang sangat sepele. Saya merasa menjadi orang tua yang paling arogan.

Saya mengerti bahwa orang tua tidak boleh membentak, membanding-bandingkan, mengkritik, memukul, mengancam dan lain-lain. Seharusnya orang tua memberikan dorongan, pujian, dukungan, penerimaan, pengakuan, solusi dan lain-lain. Kita tahu, teori dan aturan-aturan mengasuh anak itu hal yang paling mudah dikatakan tapi paling sulit dilakukan. Belum lagi jika melihat latar belakang metode parenting. Antara barat atau timur, Muslim atau bukan, kota atau desa, dan lain-lain.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh yang terbaik, sambil menganggap pola asuh selainnya tidak lebih baik. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang padahal tidak pernah ada.

Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Di situlah kerendahan hati untuk mengakui kesalahan diperlukan. Karena bagaimana mungkin seorang bisa memperbaiki kesalahan tanpa tahu apa kesalahannya? Jadi, mari kita akui kesalahan kita, membuka diri terhadap kesalahan itu, kemudian mau belajar untuk memperbaiki.

Wallahu ‘alam.