Halaman

Minggu, 24 Desember 2017

Maulid dua Nabi

Maulid Nabi Muhammad saw. dan Hari Raya Natal seperti biasa berdekatan peringatannya. Ada tulisan bagus dari Habib Quraish Shihab yang membahas tentang itu. Silahkan disimak.

Secam umum, orang berpendapat bahwa tahun pertama penanggalan Miladi adalah tahun kelahiran Isa Almasih. Ini telah dikenal oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 532 M, ketika mereka -atas usul salah seorang pemuka agama- menetapkan penanggalan Masehi. Namun demikian, tidak sedikit agamawan dan sejarahwan yang menolak tahun itu, antan lain, dengan dalih bahwa di dalam Perjanjian Baru di nyatakan bahwa Almasih lahir pada masa pemerintahan Herodes, sedangkan tokoh ini dikabarkan meninggal sekitar empat tahun sebelum tahun pertama penanggalan Miladi itu.

Tanggal 25 Desember sebagal tanggal kelahiran isa juga diragukan oleh sebagian orang dengan berbagai dalih dan alasan. Sebagai Muslim atau Kristen, boleh jadi kita dapat mentolerir perbedaan pendapat tersebut, tetapi yang tidak dapat kita terima adalah keraguan sebagian orang akan kehadiran Almasih di pentas bumi ini. Sejak abad ke-18, rnuncul sekelompok peneliti yang beranggapan bahwa Almasih adalah tokoh fiktif -bahkan hampir semua pembawa agama kecuali Nabi Muhammad saw. Mereka meragukan wujudnya dengan dalih bahwa nama Isa as. tidak disebut-sebut dam sejarah yang berbicara tentang periode yang disebut sebagai masa kehadirannya dan bahwa kisah hidup beliau yang diuraikan selama ini sama dengan kisah tokoh-tokoh khayal yang dikenal sebelumnya.

Bukan hanya agamawan yang menolak keraguan di atas. Sederetan ilmuwan membuktikan kekeliruannya pula. Sebagai Muslim atau Kristen, kita yakin sepenuhnya bahwa -sebagaimana Muhammad saw.- Isa as. pun pemah hadir di pentas bumi ini walaupun boleh jadi kita berbeda tentang tanggal dan tahun kelahirannya. Kalau demikian, yang perlu kita pertanyakan dan renungkan adalah tujuan kehadirannya. Di sini jawabannya bisa banyak, ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan. Marilah kita singkirkan yang diperselisihkan dan mencari titik temu.

Hemat saya, salah satu yang dapat disepakati adalah bahwa isa dan Muhammad datang untuk umat manusia. Keduanya mengaku sebagai “anak manusia”. Berulang kali istilah ini ditemukan dalam Perjanjian Baru, dan berulang kali pula Al-Quran memerintahkan Muhammad saw. untuk menyatakan dirinya sebagai manusia seperti manusia lain. Keduanya datang membawa rahmat Ilahi.
“Aku datang membebaskan bumi,” sabda Isa.
Aku rahmat bagi seluruh alam,” sabda Muhammad.

Keduanya datang membela yang lemah, membebaskan yang tertindas, dan mengulurkan tangan kepada semua yang membutuhkan.

Ketika seorang datang kepada Almasih dan menyatakan telah melaksanakan perintah Tuhan, berupa “Tidak berzina, tidak membunuh, tidak mencuri, dan seterusnya,” Almasih berkata kepadanya: “Ada satu yang belum engkau kerjakan. Pergilah dan jual barangmu serta berikan kepada fakir miskin.” Beliau juga bersabda: “Siapa yang memiliki dua baju hendaklah dia memberi yang tidak memilikinya, siapa yang memiliki makanan maka hendaklah ia memberi yang tidak punya.

Muhammad saw. juga demikian, beliau berkata: “Carilah aku di tengah-tengah masyarakat yang lemah.” Kepada yang berkecukupan beliau bersabda: “Kalian mendapat kemenangan dan memperoleh rezeki berkat orang yang lemah. Mereka adalah saudara-saudaramu, berilah mereka makan dari apa yang kamu makan, serta pakaian seperti apa yang kamu pakai.”

Di sinilah salah satu tempat pertemuan Muhammad saw. dan Isa a.s. dan dari sanalah mereka berjalan seiring bergandengan tangan dan dari sana pula umat mereka dapat bertemu dan berjalan bergandengan, khususnya di bumi Pancasila ini.

Terlepas apakah kelahiran Almasih bertepatan dengan 25 Desember ataupun tidak, namun seorang Muslim dianjurkan untuk membaca firman Allah yang antara lain menceritakan ucapan beliau pada saat kelahirannya.

Salam sejahtera dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS 19: 33). Semoga damai di bumi dan sejahtera umat manusia. []

Diambil dari: Isa a.s. dan Muhammad saw. Bergandengan Tangan, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994).

Sabtu, 16 Desember 2017

Festival Dongeng Internasional 2017

Minggu pagi itu saya tidak berencana pergi kemanapun, sampai istri saya menyarankan untuk mengajak anak-anak ke sebuah acara di Perpustakaan Nasional RI.

Harusnya hari itu kami menjenguk seorang kawan yang baru selesai operasi, tapi karena istri saya radang ternggorokan, rencana itu batal. Saya sedang leyeh-leyeh di kasur ketika istri saya memberitahu bahwa ada Festival Dongeng Internasional di Jakarta.

“Ajak anak-anak ke sana gih, Bang!” ia menyarankan.

“Sekarang?”

“Iya. Ini hari terakhir.”

Setelah menimbang beberapa alat transportasi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ojek dan kereta. Pukul 09:00 pagi, bekal makan siang disiapkan. Untuk orang yang bepergian tanpa membawa anak, perjalanan mendadak apalagi hanya ke Jakarta dari Bekasi adalah hal yang bisa dilakukan sambil juggling. Namun tidak begitu pergi dengan dua anak kecil. Bersama anak-anak, kejadian sederhana seperti menyiapkan bekal – memakai baju – menyiapkan kendaraan – pergi – sampai tujuan – bersenang-senang akan menjadi kegiatan yang membangkitkan keinginan masa lalu untuk melakukan vasektomi.

Hari itu kebetulan saya dan keluarga menginap di tempat Mamah —panggilan saya untuk mertua, jadi saya membawa anak-anak pulang untuk mengambil baju dan sepatu. Semua yang harus saya ambil di rumah saya catat di HP. Kartu Multitrip KAI, tiket langganan KRL Jabodetabek, menjadi barang yang saya catat paling awal. Sesampai di rumah, kegaduhan dimulai.

Nada: Pak, tolong kancingin baju dong!

Saya: Bentar ya, bapak lagi ngorder ojek dulu. Dari tadi gak bisa-bisa nih.

Safa: Aku pake rok ini aja ya, pak?

Saya: Jangan. Pake celana panjang aja biar gampang.

Safa: Pak, kakak mukul aku tuh.

Saya: Jangan berantem dong. Kita kan mau pergi.

Nada: Ih siapa yang mukul? Kamu tuh yang mukul.

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Kepala saya pecah.

Safa merajuk ingin dilayani. Nada bersikap seperti kakak yang tegas bahkan sedikit kejam. Saya sedang mengisi air minum di botol ketika istri saya mengirim pesan bahwa telur yang saya goreng lupa dimasukan ke dalam kantung bekal.

Setelah beberapa keributan itu, akhirnya saya dapat sinyal dan bisa memesan ojek. Di tengah jalan menuju stasiun, saya ingat kalau Kartu Multitrip kereta tertinggal di rumah. Bodoh! Saya mengutuk diri sendiri.

Stasiun Bekasi Timur Minggu pagi itu sepi. Saya membeli tiket dan menunggu kereta. 10 menit menunggu, kereta datang. Kami menelusuri gerbong kereta yang lebih lenggang tapi sia-sia. Semua gerbong penuh sumpek berisi manusia-manusia ikan asin. Pihak stasiun mengumumkan melalui pengeras suara untuk tidak memaksa masuk ke dalam kereta, lebih baik menunggu kereta selanjutnya. Saya menuruti, tanpa saran itupun, secara naluri tidak mungkin saya mengajak anak-anak masuk ke dalam kereta yang berjubel Prajurit Spartan.

Saya bertanya kepada keamanan stasiun, dijawab bahwa kereta selanjutnya akan datang satu jam lagi. Saat itu, jam di tangan menunjukan pukul 11:40.

Saya memandangi anak-anak, “Keretanya penuh. Kita naik kereta yang selanjutnya aja ya? Satu jam lagi. Bagaimana menurut kalian?”

Nada yang sudah mengerti tentang jam mengangguk, “Iya. Gak papa.”

Safa sepertinya clueless dan tidak menjawab apapun.

“Gimana kalau kita buka bekal kita di sini?” saran saya ke anak-anak.

Istri saya, begitu tahu harus menunggu satu jam untuk kereta selanjurnya, misuh-misuh di WA. Saya mematikan paket data.

Setelah menghabiskan bekal makan siang dan membunuh waktu sambil bermain tebak-tebakan, kereta datang. Pukul 13:15 kami masuk ke gerbong. Anak-anak masih terlihat excited dan senang, saya berhasil menjaga mood mereka. Itu yang paling penting, yang lainnnya bisa diatur.

Pukul 14:15 tiba di St. Pasar Senen setelah sebelumnya transit di St. Jatinegara. Segera saya memesan ojek untuk menuju lokasi. 15 menit kemudian kami sampai di Perpustakaan Nasional Ri di Jl. Salemba Raya. Tanpa bertanya ke satpam yang tidak jauh dari gerbang, saya mengajak anak-anak masuk ke gedung perpustakaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari gerbang utama. Sepanjang jalan ke gedung, saya mencari petunjuk yang semestinya ada, tapi nihil. Agak aneh untuk acara internasional. Sesampainya di depan pintu gedung perpustakaan, pintu tertutup rapat. Saya baru sadar kalau salah tempat setelah kembali lagi ke gerbang utama dan bertanya ke satpam. Ternyata lokasi acara tersebut di Jalan Medan Merdeka Selatan, tepat di sebelah Balai Kota DKI. Oh, kebodohan macam apa lagi ini.

Acara dijadwalkan berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 17:00 dan kami baru tiba pukul 15:00. Enam jam waktu yang saya habiskan dalam perjalanan, meladeni buruknya sinyal, kegaduhan bersama anak-anak dan kebodohan yang saya buat sendiri. Dengan waktu yang sama menggunakan pesawat, kami tentu sudah mendarat di Raja Ampat.

Kami sudah sangat terlambat, tapi acara kolaborasi dongeng internasional, dimana menampilkan seluruh pendongeng internasional yang hadir dalam festival itu, baru akan dimulai. Dibuka oleh Kak Aio sang Direktur Festival Dongeng Indonesia, ia mendongeng tentang monyet dan kelinci, yang inti kisahnya adalah tentang menghormati perbedaan. Dilanjutkan oleh Hori Yoshimi & J2net dari Jepang yang mencoba bercerita menggunakan bahasa Indonesia, cerita Doraemon, memperkenalkan karakter Doraemon, anak-anak senang terutama ketika mereka diajak bernyanyi lagu Doraemon versi Indonesia. Arthi Anand Navaneeth dari India melanjutkan dengan cerita tentang seekor gajah bernama Gajapati Gulapati yang terkena flu. Tanya Batt dari Selandia Baru bercerita tentang Kue Jahe yang dikejar-kejar banyak makhluk untuk dimakan, yang unik adalah ia mendongeng dengan menggunakan lagu, sambil bernyanyi, atau nge-rap. Seung Ah Kim dari Korea Selatan bercerita tentang bayi yang suka menangis dan harimau, yang pada akhir cerita ia kaitkan dengan awal mula ia senang mendongeng. Uncle Fat dari Taiwan selanjutnya bercerita tentang gadis kecil yang cantik dan melon, ia mengajak semua pengunjung berinteraksi dengan ceritanya, setiap kali ia bercerita, beberapa bagian penonton bersorak. Dan yang terakhir, Craig Jenkins dari Inggris Raya, bercerita tentang Raja Mustache, ia yang paling lucu dari semua pendongeng, penonton sangat terhibur. Ada seorang pendongeng yang tidak ikut sesi dongeng kolaborasi tersebut; Kiran Shah dari Singapura.

16:30 acara selesai dilanjutkan dengan sesi foto. 17:40 kami pulang. Kami beruntung, karena dari waktu yang sangat singkat itu bisa mendengarkan hampir seluruh pendongeng internasional yang hadir.

Ada hal yang lebih menyenangkan untuk saya; melihat anak-anak menikmati semua dongeng yang mereka dengarkan. Di dalam kendaraan pulang, anak-anak antusias mendengarkan saya mengulang semua cerita.

“Gimana? Apa kalian senang dengan acara tadi?” saya bertanya kepada Nada dan Safa.

“Senang!” mereka menjawab hampir bersamaan.

“Cerita apa yang paling kalian suka?”

“Emm.. Gajapati Gulapati.” Kata Nada.

“Kalo aku, Raja Mustache sama bayi yang suka nangis.” Safa memilih dua.

“Eh, aku juga suka Raja Mustache deh. Sama lagu Doraemon.” Nada menambahkan.

Saya percaya, dongeng adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Dengan dongeng saya tidak perlu memberatkan diri untuk menyampaikan moral of the story; pelajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, karena anak-anak dengan sendirinya memahami. Bahkan mereka mengerti tentang ironi dan sinisme dalam cerita. Di atas itu semua, dongeng yang baik selalu punya cara untuk mengendap di benak setiap orang. Setiap anak.

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein


Kamis, 07 Desember 2017

TV Kabel

“Baaang, ada tamu nih.” Istri saya setengah berteriak dari halaman.

“Iya.” Saya bergegas ke luar dari kamar.

Ternyata sales yang mau nawarin layanan TV kabel. Pasti istri saya mau ngerjain, pikir saya kemudian. Karena dia tau, apa faidahnya langganan TV berbayar kalau gak punya TV.

Sebagai tuan rumah yang baik, saya meladeni si sales, “Iya, Mas, ada apa ya?”

“Ini saya dari Transvision mau nawarin promo.. bla, bla, bla.”

Saya mendengarkan dan merespon sekedarnya, “Oh gitu, Mas.”

Istri saya memberi kode lewat kedipan. Awalnya saya nggak paham, tapi lama kelamaan saya mengerti maksudnya. Sales yang saya ajak ngobrol adalah mbak-mbak bukan mas-mas. Saya ketahui setelah melihat anting emas di kedua telinganya. Saya merasa berdosa.

Ya tapi bukan salah saya juga. Potongan rambutnya cepak, pake jaket, celana jeans dan sepatu kets. Tapi melihat respon dari awal, saya kira dia sudah biasa dengan panggilan itu. Dari tampangnya sepertinya dia mau bilang, “Santay! Lu orang yang ke seribu dua puluh tiga yang manggil gua mas.”

Dia juga nggak bilang dari awal kalau bukan mas-mas. Maksud saya, dia kan bisa bilang dengan sopan, “Maaf pak, saya bukan mas-mas, saya mbak-mbak. Gak liat nih anting saya? Saya juga suka main Barbie dan pake legging macan tutul kok!”

Si sales tetap menjelaskan panjang lebar. Saya tetap mendengarkan Set-up itu. Tunggu Punch Line saya, kata saya dalam hati.

“Iya. Promonya sih bagus, Mbak.” Saya memberi jeda, “Tapi saya gak punya TV.”

Sales diam.

Suasana hening sesaat sampai akhirnya si sales tertawa.

Saya tidak ikut tertawa.

Diam menikmati.

Rabu, 06 Desember 2017

Time heals Adil, but not in the skin

Pagi itu, beberapa menit setelah dokter UGD menyatakan bapak meninggal, saya menghubungi kawan saya Njay. Dia adalah guru di tempat Adil, adik bontot saya, mondok.

Saat itu Adil sedang ada Ulangan Semester. Dalam bayangan saya, Adil telah belajar super keras untuk mengangkat nilainya lagi. Untuk mendapat rangking lagi. Karena saingannya tidak main-main; cucu kiyai.

Saya menelpon Njay. Saya tahu kemudian bahwa Njay sendiri yang mengantar Adil pulang, tanpa diberitahu bahwa bapaknya meninggal. Adil mungkin sedikit curiga dijemput saat ulangan sedang berlangsung, tapi belum bisa menerka ada apa.

“Ayo, Dil. Ikut abang bentar.” Mungkin Njay ngomong gitu.

“Ada apa, Bang Njay?”

“Ayo ikut aja!”

Adil sempet rangking 1, kemudian disalip. Mungkin saat penjemputan itu Adil berpikir akan sebuah rencana subversif; Biar gue gak bisa rangking lagi nih. Gagal rebound dah gue. Malah udah taroan goceng-goceng lagi. Rese.

Njay mengantar Adil memakai motor. Di tengah jalan, kecurigaan Adil akan sabotase memudar. Seiring dia mengenal jalan yang dilalui. Maka sampai di rumah, begitu melihat bendera kuning, Adil mulai emosional. Tidak mungkin hanya karena ayam peliharaannya mati ada bendera kuning. Kalimat Muhasabah yang biasa dipakai becandaan, “Bayang kaaaan! Ada bendera kuning di depan rumah muuuu!” sudah tidak lucu lagi.

Turun dari motor, Adil sudah terlihat sedih. Ia sudah melihat nama di bendera kuning. Ia sudah tahu siapa yang meninggal. Begitu sampai di depan rumah, Adil menghampiri sesuatu yang ditutup kain putih.

“Bapaaak!” Adil histeris.

“Sabar, Dil!” Orang-orang menenagkan.

“Diem luh!” Adil semakin emosional. Mengibaskan tangan.

“Sabar, Dil!” Orang lain menenangkan.

“Jangan peganging gue!” Adil berontak.

“Bukan gitu, Dil.” Kata saya sambil mendekat, “Jenazah bokap di sana. Itu yang lu tangisin baskom amal.”

“Oh ini baskom amal?” Adil menyeka air mata dan pindah.

Wajar Adil menjadi anak yang paling sedih, karena dia adalah anak bontot dan paling dekat dengan bapak. Sangat dekat. Saking dekatnya, mereka joinan rokok. Joinan ngopi. Nggak, nggak. Becanda. Yang bener, Adil waktu kecil disapih pake kopi. Kalian pikir Adil gosong gitu karena apa? Ampas kopi nyerep ke kulit.

Sepanjang hari itu Adil menangis tanpa henti dan tidak bisa diajak bicara. Disuruh ngaji nggak bisa, di minta bantuin gotong jenazah gak mau. Hanya menangis. Kami memindahkan Adil ke kamar. Mungkin karena lelah menangis, atau lelah karena semalam bergadang bikin kebetan, akhirnya ia tertidur.

Adil kalau sudah tidur, Korea Utara meledak juga dia nggak akan tahu. Saya membangunkan Adil untuk salat zuhur. Tapi sia-sia. Mengulet pun tidak. Saya menyerah dan meninggalkan dia di kamar. Baru selangkah meninggalkan kamar, saya mendengar suara isak. Adil menangis lagi. Berlanjut. Goodbye and Cry Album Vol. II.

Kejadian itu sudah dua tahun berlalu. Seiring bertambahnya tahun, kesedihan akan kehilangan semakin memudar. Berganti dengan hal-hal yang di luar dugaan. Saya bisa melihat kelucuan dari kejadian itu. Bahkan saya pernah bermimpi, seperti di sinetron Indosiar —dimana ada karakter yang mati tapi hidup lagi, bapak hidup lagi. Jadi kuburan yang ada adalah kuburan palsu. Saya terbangun dengan perasaan geli sendiri. Saya membayangkan bapak berada di sebuah tempat di dunia ini. Mungkin di Maldives, sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Benar apa yang dikatakan orang bahwa waktu yang akan menyembuhkan. Tidak sekedar itu, saya mendapat hal lain, bahwa waktu juga yang mendekatkan. Entah mengapa, saat ini saya merasa lebih dekat dengan bapak. Bukan berarti saya percaya arwahnya gentayangan, bisa nyurupin orang atau bisa dimasukin ke dalam botol minyak. Bukan.

Kedekatan itu bukan secara fisik. Walaupun ada suatu waktu, terutama ketika melihat orang yang perawakannya mirip bapak, saya jadi teringat beliau. Biasanya saya segera mendoakan dan mengirimkan Al Fatihah. Kedekatan yang saya maksud lebih kepada kedekatan secara kebatinan.

Saya pernah menulis bahwa perkara terbesar dari kehilangan orang terdekat adalah penyesalan terhadap apa yang belum kita lakukan. Itu yang paling awal terasa. Lambat laun kemudian kita mengikhlaskan bahwa tidak semua yang kita inginkan terwujud. Sekarang, saya berada di sebuah fase dimana saya memahami bahwa kematian bukanlah hal yang memisahkan. Saya merasa masih terhubung. Saya yakin di alam kubur beliaupun merasakan. Itu sebabnya Nabi mengajarkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki area pemakaman. Artinya mereka memang masih berada di sana.

Ya, sekarang saya merasa lebih dekat dengan bapak, bukan lagi secara fisik, tapi spiritual.

Al Fatihah!

Kamis, 30 November 2017

Donat

Melalui pesan WA saya bilang ke seorang kawan, “Catet, Ti. Gua pernah ngantri dua jam demi dua kotak donat.”

Dia membalas cepat sambil memberi emoticon tertawa, “Bentar dulu, siapa tau sampe 4 jam!”

Padahal gerai donat itu belum dibuka, tapi antrian sudah sampai 100 orang. Padahal itu hari kerja. Dalam hati saya membatin, “ini orang gak pada gawe apa? Pagi-pagi buta gini udah ngantri donat. Tukang nasi uduk gak pada jualan apa?”

Di tengah mengantri itu, di depan saya ada dua orang ibu-ibu haji sedang bercakap-cakap, “Kalau gak nurutin anak mah saya males ngantri begini.”

Dalam hati saya bilang, “Anak lu bu haji…. Durhaka!”

Yang lebih kasihan adalah tukang Gojek. Antrian sudah mencapai 200 orang. Begitu dateng abang-abang Gojek diminta ngantri sama satpam. Melihat antrian panjang dia istigfar dan menelpon minta dikensel. Tapi melihat ada yang lebih menderita dari saya menjadi hal yang melegakan. Jadi setiap ada yang datang dan mengantri di belakang 200 orang itu, saya selalu bilang, “Makan tuh donat!”

Kalau ngantri untuk membeli bahan pokok seperti beras saya masih paham. Atau ngantri buat foto sama presiden. Logika macam apa antri panjang demi diskonan sekotak donat. Orang gila. Dan yang membuat saya semakin kesal adalah saya termasuk orang itu.

Rabu, 01 November 2017

Pada bunga, kenangan, dan hutan yang merencanakan perpisahan

Untuk P.

1.
seekor burung terjatuh ke tengah hutan,
ke rimbun bayang-bayang pohon besar

sekuntum bunga matahari, yang terlalu khawatir dengan
kehidupan orang lain menyapa, “bagaimana perasaanmu?”

berkeping-keping katanya

2.
di atas ada langit yang menyembunyikan semesta;
beberapa luka yang terbuka dan cakrawala
putih tempat semua kata kehilangan suara

Ia mengikat rindu dan beberapa rasa sesal
dari rengkuhan sayap patah
tidak cukup waktu untuk mengatakan cinta yang ungu,
dalam puisi, masa lalu dan kenangan selalu berwarna jingga

perkara paling besar dari mencintai adalah tersakiti,
mereka yang kau benci tidak menyentuh,
hanya oleh mereka yang kau cintai kau luruh

3.
satu-satunya tempat yang ia punya
adalah mimpi; ruang waktu yang gelisah,
pagi yang cerah dan hal-hal yang disimpan dalam hati

ia selalu senang akan rumah dengan atap alang-alang yang nyaman
ketika turun hujan di bulan juni yang tabah
dengan rintik dingin yang tempias merembas jendela-jendela jiwa

tempat kehawatiran, jatuh cinta, suara tawa dan buku-buku yang belum selesai dibaca

pada sebuah jendela,
ia mengingat hari ketika ayahnya berpulang
kepulangan yang panjang

4.
Ia bertawakal pada aliran sungai panjang yang airnya bening
tempat surai emasnya bisa hanyut dalam hening

setelah 90 hari terbaring kaku di atas batu
tidak ada hujan hari itu, juga salju

bunga, kenangan dan hutan merencanakan perpisahan
pada hari terakhir ia di jenggala,
kepadanya ia bilang, “datanglah datang,
akan kusambut kau dengan pelukan,”

hutan membalas dalam diam;
kamu bisa pulang kapan saja
boleh tersesat di ranting mana yang kau suka
dan jangan lupa tertawa

Jumat, 18 Agustus 2017

Orang Sakti yang Menggampar balik Dunia dengan Tangan Kosong

Awalnya saya menganggap Amirudin seorang jenius, ternyata saya salah. Ia orang sakti. Setidaknya, sejauh pembacaan saya terhadap Wali Songo, belum pernah saya temukan ada yang punya Karomah bisa mematikan orang hidup dan kemudian menghidupkannya lagi.

Saya akan cerita tentang alasan ia bisa disebut ~kera~ orang sakti nanti. Sekarang, saya akan bercerita siapa itu Amirudin dan terakhir kali bertemu. Ia adalah kawan semasa Mts. Minggu pagi itu, sepulang kerja, saya berencana mampir ke rumahnya. Menengok anak ke empatnya yang baru lahir beberapa hari sebelumnya.

“Bang, WA gua gak dijawab?” kata saya di telpon, “Baru bangun tidur lu ya?”

“Iya. Jadi kesini?” responnya dengan suara serak.

“Jadi. Ini masih di Prumnas tiga. Bentar lagi saya kesana.”

“Siap! Ane tunggu!”

“Mandi dulu jangan lupa!”

Sebelumnya, lewat WA Amir memberikan ancer-ancer. Berikut saya kutipkan:
“kluar.jln raya setia mekar .lngsung star k rawa klong tugu masuk dalam..lurus ada begall .lihat k depan ada gapura masuk dalam.nanya aja pak RT.napin supena.”

Saya nggak punya masalah dengan gaya menulis para alay. Tapi melihat tulisan dengan kosa kata dan instruksi yang aneh, dengan tanda baca yang bikin mata saya parkinson, saya yakin kalau Amir adalah salah satu alay yang sedang mencoba bertaubat ke jalan yang benar tapi dengan bimbingan ustad yang jarinya jempol semua.

Membaca “begall” dengan dua buah “ll” dalam pesan itu, membuat saya berpikir apakah saya harus membawa laskar jihad agar sampai ke rumahnya dengan aman. Belakangan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah “bengkel”.

Huh!
Sejak lulus Mts saya belum pernah ke rumahnya lagi, ditambah penjelasan yang hanya bisa dibaca oleh para pembuat koding, maka saya rewel bertanya melalui WA. Jawaban pamungkasnya membuat saya ragu dan ingin salat istikhoroh:

“nanti klu main..nanya aja d tugu knal semu sama ane”

Padahal, jarak dari Tugu Rawa Kalong ke rumah Amir masih sekitar satu setengah kilo lagi. Kecuali dia Ahmad Dhani yang gagal jadi bupati Bekasi, hanya ada dua kemungkinan penjelasan, antara Amir mau ngerjain saya atau dia mantan maling kotak amal masjid yang pernah diarak keliling kampung.

Satu jam setelah telpon, saya tiba di jalan dekat rumahnya. Amir sedang menunggu saya di pinggir jalan. Belum mandi. Dengan tampang yang tidak banyak berubah dari semenjak dulu saya mengenalnya. Mirip almarhum Taufik Savalas. Tentu tanpa kain kafan.

Saya kemudian dituntun menelusuri jalan kecil menuju rumahnya.

“Nih, Mi. Patokannya pu un ini.” Amir menunjukan pohon belimbing wuluh sejangkauan orang dewasa tepat di samping rumahnya. Kening saya berkerut. Bagaimana cara pohon yang bisa ditaro di pot plastik yang letaknya di dalam gang sempit ini bisa jadi patokan rumahnya?

Suatu saat bisa saja dia bilang ke orang yang mau main, “Pokoknya, dari tugu, tanya aja rumah ane, semua pasti udah tau. Rumah yang depannya ada pohon jamur. Jamurnya di dalem oncom. Oncomnya di dalem pot. Potnya dimasukin kardus.”

Entah memang karena selera humor Amir yang gelap atau gamparan guru Bahasa inggris kami 17 tahun lalu yang membuat otaknya pindah ke perut.

Ini kisah nyata. Jadi suatu pagi di hari sekolah, sebelum sekolah full day seperti sekarang, guru Bahasa Inggris kami masuk kelas dengan tampang belum sarapan. Dengan Bahasa Inggris yang jelas ia meminta para murid mengumpulkan tugas. Banyak murid yang tidak paham. Sang guru bertanya dengan Bahasa Indonesia. Memang begitu kebiasaannya berbicara di kelas. Menggunakan Bahasa Inggris kemudian dilanjut menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Hal yang sia-sia karena kami hanya fokus dengan apa yang dikatakan dalam bahasa Indonesia.

“Rty hjnc hbkl xcyhh hxfg bjhbzg bxdfhbhz hqbgdsf kjvdsfh!” terdengar di telinga kami.

“Yang belum mengerjakan tugas maju ke depan bawa buku kalian masing-masing!” beliau mengartikan instruksi yang dikatakan sebelumnya.

Ternyata lebih dari setengah kelas belum mengerjakan. Kejadian setelah itu adalah sejarah. Anak-anak di minta berbaris, buku yang mereka bawa diambil, dilipat dan ditamparkan ke pipi mereka masing-masing. Keras!

Oya, saya belum bercerita tentang kesaktian Amir menghidupkan orang mati. Jadi begini, beberapa bulan lalu, seorang kawan bernama Sunandi berhasil mengumpulkan nomor WA alumni Mts. Singkat cerita saya bertemu dengannya. Ia bercerita banyak, termasuk tentang salah seorang kawan kami yang sudah meninggal.

“Itu Felani meninggal kapan?” saya bertanya ke Nandi tentang kawan tersebut. Saya tahu berita ini karena sebelunya di grup, Amir bilang begitu. Tentu semua anggota grup saat itu kaget dan mendoakan. Orang waras mana yang bercanda tentang kematian?

Nandi kemudian bercerita. Cerita yang ia dengar langsung dari Amir. Bahwa Felani kena guna-guna, “Jadi abis pulang kerja, tiba-tiba dia sakit kepala. Kepalanya tau-tau emod. Gak lama habis itu dia meninggal.”

Bagi pembaca yang bukan orang Bekasi, “emod” adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan tekstur empuk seperti bakpau kacang ijo yang baru dikukus.

Sampai sini, cerita berjalan wajar. Saya memang setengah percaya cerita tentang perteluhan itu. Tapi mati, apapun sebabnya tetaplah mati. Nah, kisah itu menjadi polemik karena beberapa hari setelah itu, ada kawan kami yang lain yang bilang bahwa Felani masih sehat walafiat.

Jeng, jeng, jeng!

Kalau ini film horror sudah pasti ada background suara angin, biola dengan gesekan minor dan bunyi-bunyi yang membuat bulu kuduk jigrig.

Setelah dikonfrontasi, Amir tentu tidak mau dianggap berbohong, “Beneran. Gua dapet cerita dari Pak Haji. Masa Pak Haji bohong sih?”

“Gua bukan nyalahin Pak Hajinya, Mir. Mungkin elu salah ngira orang.” Kata saya menanggapi.

“Ah, bener ah!” Amir yakin, tapi sedetik kemudian dia ragu, “tapi nanti ane samperin rumahnya langsung dah.”

Beberapa hari berselang, Amir mengunggah foto dirinya bersama Felani ke grup WA. Hari itu, seluruh anggota grup yakin kalau Amir adalah orang ~sakit~ sakti.

Saya membuka sepatu dan seragam kerja kemudian merebahkan diri di bale. Bernaung di bawah rimbun bayang-bayang pohon rindang. Angin bertiup sepoy-sepoy. Amir menyuguhkan kripik singkong dan teh manis.

Kami bercakap-cakap di teras rumah. Tentang entog, pohon jambu air, anak-anak dan hal-hal yang terlewat. Di tengah percakapan, dua orang putri Amir melintas, membantu ibu mereka menjemur pakaian. Yang satu kelas 6 SD, yang satu masih balita. Melihat anak-anak Amir yang lucu dan cakep, saya semakin percaya bahwa teori evolusi Darwin memang benar-benar terjadi.

“Ente gak ngerokok, Bang?” Amir meletakan sebungkus rokok dan korek api di atas bale.

“Nggak,” kata saya, “Gua ambil koreknya aja ya?”

Tentu saya nggak benar-benar mengambil korek apinya. Saya tahu peraturan tidak tertulis para perokok; boleh ambil berbatang-batang rokok di atas meja, tapi jangan pernah bawa pulang koreknya.

“Ente kemari mau nawarin MLM apa asuransi?” Amir to the point.

“Mau nawarin obat ambeyen, Bang.”

“Bang, emang semua orang di Tugu Rawa Kalong kenal sama ente?” saya gantian nanya.

“Kenal.” Jawab Amir pede.

“Bilangnya gimana? Rumah Amiruddin dimana? Gitu?”

“Amiruddin atau Ibnu.”

“Dari tugu ke rumah kan masih jauh. Emang ente terkenal banget yak?”

“Dulu kan ane mantan...”

“Mantan lurah?” saya kagum campur heran.

“Bukan.” Jawab Amir cepat, “Pemulung! Hahaha”

Fix. Selera humor Amir memang gelap. Cerita kawan yang masih seger buger mati karena kepalanya diteluh jadi bakpau, memberi landmark rumah dengan pohon kecil yang bahkan disenderin semut doyong, menyamakan keterkenalan Ahmad Dhani dengan pemulung. Humor yang gelap!

Bukan kali itu saja ia bercanda model itu. Walaupun pembawaannya kalem, tapi dia dikenal jail dan suka melakukan hal-hal tak terduga. Ia pernah membuat drama dengan keluar dari grup WA untuk akhirnya dimasukan kembali.

Ada lagi. Sebelum anaknya lahir, sambil memposting foto bayi, ia pernah menulis, “Alhamdulillah telah lahir di bidan anu anak perempuan bla, bla, bla…”

Spontan semua orang mengucapkan selamat dan doa untuk ibu dan anak yang baru lahir itu. Tapi di akhir percakapan, Amir dengan santai menulis, “Maaf kawan-kawan, ane tadi hanya bercanda. Istri ane belum melahirkan.”

Laaah! Mau dimasukin petasan jangwe kali lobang idungnya!

“Lu skarang bisnis apa, Mir?” Tanya saya kemudian di sela-sela makan kripik.

“Nganggur, Bang!”

“Serius lu?”

“Serius!” Nada suara Amir tegas tapi tenang, “Masa beginian ane becanda? Emang beneran nganggur, masa mau bilang kerja?”

Saya bingung mau membalas apa. Menawarkan gabung MLM juga sudah tidak mungkin. Ketenangan Amir menjawab pertanyaan itu menandakan dia adalah seorang pengangguran profesional bersertifikat. Keep Nganggur and Calm, istilahnya. Kalau itu terjadi pada saya, dijamin, setiap pagi saya akan melihat istri saya mengasah pisau dapur.

Saya tidak sedang mengolok-olok dan menganggap itu sebagai satu hal yang asing dan jauh, tapi sesuatu yang normal dan dekat. Sangat dekat. Almarhum bapak saya menganggur dalam waktu yang lama. Bertahun-tahun bekerja serabutan bahkan pernah berjualan cendol keliling. Kami sekeluarga jadi lebih religius karena sering berpuasa. Itulah masa-masa dimana kami, lima orang bersaudara, makan dijatah, hanya dua kali sehari, dengan takaran tertentu. Seperti gamparan guru Bahasa Inggris, dunia memang terkadang menghajar keras tanpa ampun. Tidak memberi batas dan peringatan.
Sejak saat itu, bagi saya, pengangguran dan kemiskinan bukan lagi masalah kemalasan, tapi keberpihakan. Bahkan Presiden Soekarno sejak dahulu sudah menegaskan, “Kita ini tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita ini tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sebuah sistem.”

Saya kagum dengan sikap dan ketenangan Amir dalam menghadapi masalah. Bahkan menghadapinya dengan jenaka. Dalam kelas, Amir memang tidak dikenal. Oh, maksud saya, di sekolah manapun ukurannya sama; yang dikenal adalah siswa yang paling pintar dan paling nakal. Apa yang diantara keduanya akan dilupakan. Tapi kehidupan yang sebenarnya ada di luar pagar sekolah. Mengutip Abdul Gofur, siswa terajin dan terpandai di kelas, yang kalau bel istirahat berbunyi memilih membuka buku untuk mengerjakan soal-soal matematika ketimbang berhambur keluar untuk jajan, “Kesuksesan atau kegagalan seseorang itu gak tergantung dengan nilai-nilai di dalam kelas.”

Sampai hari ini, kami masih berselisih pendapat tentang pemukulan oleh guru Bahasa Inggris. Ada yang masih dendam, namun kebanyakan bersikap acuh dan melupakan. Wajar saja, tahun 1997-2000 adalah tahun maraknya tawuran antar sekolah, dimana orang bisa dengan ringan bilang ketika ditanya tentang kawannya yang absen, “Oh, si Jeky gak masuk hari ini, lagi di rumah sakit. Lehernya kebacok samurai waktu tawuran kemaren.”

Ya, kami hidup di masa-masa itu. Maka dunia bagi kami tidak lagi terlalu menakutkan. Ia bisa saja menampar dengan kuat, tapi kami bisa menggampar balik sama kuatnya dengan tangan kosong.

“Makasih ya bang udah berkunjung.” Amir menyalami saya yang sudah berada di atas motor untuk pulang.

“Iya, sama-sama, Mir. Semoga sehat terus ya, Mir.” Kata saya sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Prediksi saya, anak kelimanya akan lahir beberapa bulan lagi dari perut itu.

Bagi orang sesakti dia, itu hal yang enteng saja.