Halaman

Rabu, 09 Maret 2022

Aku Takut Meninggal

"Aku takut meninggal kalo udah besar." Aira menangis mengadu mendekati saya yang malam itu tidur di kasur yang berbeda. Sebelumnya ia bertengkar dengan kakaknya Safa, meminta lampu kamar tidak dimatikan. Safa kesal karena ia tidak bisa tidur dengan lampu menyala, sementara Aira menangis mendekati saya.

Saya memeluk Aira. Sambil mengusap-usap kepalanya saya mencoba mencari tahu, "Meninggal itu apa?"

"Meninggal itu..." Aira terbata menjelaskan masih sambil menangis. Anak umur 4 tahun mungkin tidak punya cukup kosakata yang bisa menjelaskan kematian.

"Kamu pernah melihat orang meninggal?" Saya mengganti pertanyaan dengan yang lebih sederhana.

"Pernah." Aira menjawab cepat. Masih sambil terisak.

"Dimana?"

"Di cerita aku."

"Oh," saya terus bertanya, "Kenapa Aira takut meninggal?"

"Aku takut hilang." Aira menjawab sederhana, disusul tangis yang makin pilu. Saya mengusap-usap punggunggnya pelan, dan memikirkan beberapa penjelasan.

"Aira," Kata saya meminta perhatian, "Takut itu baik."

Aira memelankan tangis mencoba mendengarkan.

"Manusia itu memang wajar takut." Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah, "Kamu takut setrum kan?"

Tangisnya sedikit mereda ketika menjawab, "He eh,"

"Karena dulu pernah kesetrum waktu mainan colokan," saya meneruskan.

"Iya, waktu umurku dua," dia mencoba mengingat yang sering ibunya ceritakan.

"Karena itu kamu takut main listrik lagi. Jadi takut itu bagus. Supaya kamu terhindar dari kesetrum."

"Aku takut meninggal kalau sudah besar. Aku gak mau meninggal." Aira mengulang, meneruskan tangis. Seperti tidak menangkap apa yang ingin saya jelaskan.

"Kamu tahu, kancil juga takut," kata saya mencoba menarik perhatiannya lagi dengan cerita. Untuk Aira, cerita tidak pernah gagal menarik perhatian. Bahkan disaat yang paling absurd.

"Kancil itu takut api karena dulu ia pernah melihat hutan terbakar, rasanya panas dan itu mengerikan. Bayangkan kalau ia tidak punya rasa takut, ia mendekati api dan akhirnya ikut terbakar. Jadi takut itu baik kan?"

Aira berhenti menangis. Namun tidak lama ia menangis kembali, mengulang kata-kata tentang ketakutan yang sama.

Saya mengerti sepertinya malam itu bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan lebih panjang. Mungkin Aira belum mengerti. Mungkin ketakutannya saat ini lebih kuat. Maka saya hanya terus memeluknya, mengusap-usap punggungnya. Karena itu yang ia butuhkan saat ini. Sampai akhirnya ia tertidur di pelukan saya.

Mungkin suatu saat nanti, ketika waktunya cukup, ia akan membaca tulisan ini. Mungkin saya masih hidup ketika itu terjadi, mungkin juga sudah mati.

"Bapak ingin meneruskan penjelasan untuk Aira, bahwa ketakutan akan kematian itu bagus untuk mengingatkan bahwa kamu harus menghargai hidupmu, juga orang-orang yang meyayangimu. Karena suatu saat, siapapun akan meninggal."

"Kamu tidak perlu khawatir terhadap orang-orang yang membencimu, fokuskan perhatian pada orang-orang yang menyayangimu. Ketakutan akan kematian seharusnya membawa kamu pada kesadaran bahwa orang-orang yang ada di dekatmu suatu saat akan tidak ada, begitu juga kamu, sehingga kamu sadar untuk menjalani kehidupan ini dengan penuh cinta. Bukan kamu mengharapkan cinta dari orang lain, tapi yang terpenting kamu menyayangi orang lain, mencintai kemanusiaan, dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga ketika kematian datang, baik kepada bapak atau kepada kamu, kamu tidak akan menyesal."

"Kamu bilang kamu takut meninggal nanti jika sudah besar. Banyak orang-orang dewasa saat ini yang sudah tidak takut dengan kematian, Aira. Bukan mereka menjadi lebih berani karena sudah siap, tapi mereka sudah tidak lagi peduli. Orang-orang dewasa mengganti ketakutan mereka akan kematian menjadi ketakutan akan tidak punya uang. Sehingga mereka rela melakukan segala cara untuk tidak menjadi takut. Saat kecil kamu pasti menganggap mereka aneh. Masih akan banyak keanehan lain yang akan Aira temui nanti ketika sudah dewasa. Orang-orang yang menuhankan uang, jabatan, juga pengetahuan. Mereka orang-orang sombong yang terkadang melakukan itu tanpa sadar. Itulah dosa terbesar umat manusia yang menyebabkan banyak kerusakan. Musyrik dalam bahasa yang lebih sederhana."

"Musyrik kepada Tuhan punya dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan, sisi pertama tidak mengakui keberadaan Tuhan, sisi kedua menjadikan hal lain sebagai tuhan-tuhan. Mereka yang menuhankan selain Tuhan tidak takut dan peduli lagi akan kematian. Jadi Aira, sampai dewasa nanti tetaplah takut akan kematian, agar kamu bisa menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, sehingga kamu dalam keadaan tenang ketika kematian itu datang."

"Aira sayang, tahukah kamu bahwa setelah kematian akan ada kehidupan akhirat yang lebih bermakna. Kita semua adalah ruh yang terperangkap dalam jasad. Kematian akan membebaskan ruh. Sementara kehidupan di dunia ini senda gurau, main-main dan hanya seperti mimpi. Kematian adalah waktu dimana orang-orang terjaga. Di akhirat nanti kita akan bersama orang-orang yang kita cintai lagi."

Allah berfirman, "Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan pemeliharamu dengan hati yang rela, lagi diridhai. Maka karena itu masuklah ke dalam golongan para hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku."

Wallahu 'alam