Halaman

Kamis, 10 Maret 2022

Laki-laki Bodoh dan Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas *

"Jadi nonton apa, Shel?" tanya saya kepada Shel tidak lama setelah ia duduk menghadap komputer. Sementara saya sedang duduk di sampingnya menghadap komputer yang berbeda. Ia kawan kerja saya pagi itu.

"Moonfall. Bagus banget filmnya, A Nelal. Nonton deh!" Shel menjelaskan dengan berbinar.

"Yang penting bukan filmnya, tapi nonton sama siapa." kata saya sambil tertawa. "Jadi nonton bareng Sam?"

"Jadi!"

"Kenapa Shel dan Sam gak jadian?"

"Gak mau. Udah sama-sama tahu masing-masing bejatnya."

"Ya, bagus dong. Emang pasangan yang baik kan harus begitu. Masa mau nikah sama orang yang gak tau baik buruknya?"

"Ih gak gitu, A Nelal. Sam mah cuma temen." Shel membela diri, tapi terasa asal-asalan. Karena jika ia tidak mau dengan Sam karena alasan sudah tau baik buruknya, maka itu jadi argumen yang tidak logis. Jika alasannya dibalik, maka akan ada 2 kesimpulan yang ngawur. Pertama, ia suka dengan laki-laki yang hanya baik saja, yang sempurna. Dimana mustahil ada orang seperti itu. Atau yang ke dua, ia suka dengan laki-laki yang hanya ia tahu baiknya saja. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia menyembunyikan kejelekannya. Saya tidak mengerti. Memang mungkin selamanya saya tidak akan pernah paham jalan pikiran perempuan.

Saya tertawa tapi sambil tetap mencecar alasan yang menurut saya lebih masuk akal, "Jadi Shel gak mau sama Sam karena dia jelek?"

"Sam tuh ganteng, A Nelal!" Shel membuka handphone kemudian menunjukan sesuatu, "Nih liat fotonya."

Saya mengamati foto itu dengan seksama dan Shel kembali menjelaskan, "Sebenernya Shel pernah nembak dia dulu, tapi ditolak!"

"Ooh." respon saya cepat, "Coba liat isi chat sama Sam."

"Udah gak ada. Udh diapus."

"Kenapa?"

"Deyn mau dateng." Lagi saya tertawa. Shel seperti sedang menutupi sesuatu dari Deyn. Mereka baru berkenalan 6 bulan dan sehabis lebaran tahun ini berencana menikah.

"Kenapa sih, banyak banget orang yang nyuruh Shel jadian sama Sam?"

"Siapa yang nyuruh? Gua gak nyuruh." Siapa saya meminta hal yang bukan wewenang saya, "Gua cuma nanya alesan kenapa gak jadian sama dia."

"Ya karena dia cuma best friend. Temen curhat. Udah terlalu akrab kita tuh. Kemaren dia aja dateng-dateng langsung meluk. Shel udah tau jeleknya. Lagian Sam mah bodoh."

Tawa saya makin keras, "Semua laki-laki di seluruh dunia memang bodoh, Shel!"

"Termasuk, A Nailal!" Shel merespon cekikikan.

Saya berenti tertawa dan berpikir, "Kecuali gua!" dan kembali tertawa.

Survey membuktikan bahwa 2 dari 10 laki-laki takut menyatakan cinta, 1 berani menyatakan langsung, sementara 7 sisanya menunggu waktu yang tepat.

Jadi tidak heran saya mengenal banyak laki-laki bodoh tak bernyali seperti Sam, sebut saja Bams dan Ryo. Laki-laki yang suka dengan perempuan, tapi menunggu waktu tepat untuk mengungkapkan perasaan yang selamanya tidak pernah mereka temukan. Setelah semuanya terlambat, barulah mereka sadar akan kebodohan mereka. 

"Trus apa kata Sam waktu Shel cerita mau nikah?"

"Dia nanya, 'Yah, gua gak bisa maen sama lu lagi dong Shel?'"

"Shel jawab apa?"

"Ya udh lu dateng waktu suami gua gak ada aja."

Saya kembali merespon dengan tawa, "Jadi Shel gak bisa kalo gak temenan sama Sam?"

"Gak bisa lah!" Jawabnya cepat, "Orang waktu itu mantan Shel pernah nanya, kalo suruh milih lu pilih gua apa Sam, trus Shel jawab, 'ya pilih Sam lah!'"

"Bocah gila!" Saya geleng-geleng kepala, "Sekarang gimana kalo kita balik?"

"Maksudnya?" Shel minta penjelasan yang lebih panjang.

"Ya, Deyn punya temen cewe yang deket kayak Shel dan Sam. Shel cemburu ga?"

"Nggak." jawab Shel cepat.

"Gak usah buru-buru jawab, Panjul!" komentar saya disusul gelak tawa Shel.

 

Saya selalu tidak pernah menanggapi curhatan Shel dengan serius, karena kisah cintanya selalu terdengar bercanda. Ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki sekaligus. Apa ada yang lebih lucu dari itu? Karena seringkali adegannya seperti dalam sinetron indosiar; panik bersembunyi karena gebetan yang sedang jalan bersama ternyata lewat di depan rumah pacarnya yang lain.

Namun hari itu berbeda. Pagi itu Shel datang dengan mata sembab dan wajah pucat. Dia bilang Kalau Bosan-nya Lyodra yang ia dengar semalam berhasil membuatnya kembali mengenang masa lalu dan menangis.

"Bagus lah!" kata saya, "Berarti Shel masih punya hati."

Saya menggoda, mencari lagu yang ia sebutkan kemudian menyetelnya di komputer.

"A Nelal mah gak pernah serius!" Shel terdengar kesal.

Saya tertawa, "Ya mau gimana lagi?" kata saya mencoba sedikit serius, "Gak ada orang yang bisa mengendalikan perasaan. Shel hanya bisa mengendalikan tindakan. Kalau sekarang perasaannya lagi kangen, ya udah mau gimana lagi? Nikmatin aja."

"Shel gak kangen!" lagi-lagi Shel menjawab terlalu cepat.

"Jadi itu mantan yang paling mengganggu pikiran?" Saya bertanya.

Shel bercerita tentang Alf. Tentang rencana menikah yang tidak dipenuhi. Tentang keegoisan. Ketidakcocokan dengan keluarga. "Alf terlalu mikirin Tetehnya. Tetehnya juga kayak gak tau malu, minta tolong terus sama Alf. Gak pernah mikirin perasaan Shel."

Saya mendengarkan Shel bercerita, bertanya dan mencoba menangkap apa sebenarnya yang ia rasakan.

"Jadi Shel maunya gimana?" tanya saya di akhir cerita.

"Gak tau. Gak tau juga nih mau dikirimin undangan atau nggak." ia terlihat bingung, tapi sedetik kemudian ia seperti yakin, "Tapi kirimin aja ah. Biar dia dan keluarganya tau. Biar Alf nyesel dan berantem sama Tetehnya."

Saya ingin tertawa, tapi karena ia meminta saya untuk serius, maka saya merespon, "Jadi tujuan Shel ngasih undangan untuk menyakiti Alf?"

"Iya!" Shel meneruskan, "Ini Alf juga barusan ngeliat status Shel. Pasti Alf ngerasa tersindir."

Shel membacakan status yang ia buat untuk kawannya yang baru saja menikah. Kawan yang juga kawan Alf, yang tahu kisah cinta Shel dan Alf dari awal sampai mereka putus. Di akhir statusnya Shel menyindir, "Gak kayak gua yang kandas karena gak diperjuangkan."

Social Media memang membuat perkara melupakan atau masalah hubungan seremeh apapun semakin rumit.

"Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf." Saya berkomentar.

"Maksudnya?" Shel penasaran.

"Iya, Shel gak benar-benar ingin menyakiti Alf kan?"

"Beneran. Serius. Dia sering berantem sama Tetehnya gara-gara Shel. Kalo Alf tau Shel beneran nikah, pasti dia berantem lagi sama Tetehnya."

"Kalau Shel mau mencintai seseorang, cintai dengan sebenar-benarnya. Jika ingin membenci, bencilah dengan sesungguh-sungguhnya."

"Gimana cara membenci dengan sesungguhnya?"

"Jangan, kalo Shel gak bener-bener yakin," Saya melarang.

"Ih, beneran. Gimana caranya?" Shel setengah memaksa.

"Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Kalo Shel masih nyimpen nomornya, berarti Shel masih peduli. Shel bahkan masih peduli karena tujuan membuat status salah satunya agar dibaca Alf, untuk menyindir. Tujuan memberi undangan supaya bikin Alf nyesel dan beranten sama Tetehnya. Itu artinya Shel masih peduli. Itu sama sekali tidak menyakitkan. Hal yang paling menyakitkan bagi seseorang adalah tidak dipedulikan. Dilupakan."

"Ya udah, Shel hapus sama blok aja nomornya," Shel membuka HP dan menghapus nama Alf.

Sedetik kemudian saya merasa bersalah karena menyarankan hal yang kejam. Tapi bagaimanpun itu sudah keputusan Shel. Keputusan apapun, baik dibuat dengan emosional dan terburu-buru atau penuh pertimbangan, pasti punya konsekuensi. Shel sudah cukup dewasa dan bisa bertanggungjawab atas sikapnya sendiri. Saya hanya berharap semoga ia belajar dan menjadi manusia yang lebih baik di atas keputusan-keputusan itu. 

Shel adalah pribadi yang baik, dan tuntunan agama menyatakan bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, sementara laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk. Saya enggan berceramah panjang lebar, karena bisa jadi itu hanya informasi yang tidak bermakna. Einstein pernah bilang bahwa informasi bukanlah pengetahuan, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengalaman. Semoga Shel belajar tentang kehidupan dari pengalaman hidupnya sendiri.

"Jadi tujuan Shel menikah untuk menyakiti Alf?" saya bertanya. Alf sebenarnya adalah mantan sebelum ia memutuskan menikah dengan Deyn.

"Ih, enggak! Ya ampun demi Allah enggak, A Nelal!" Shel menjawab. Masih dengan cepat.

Jawaban pertanyaan saya untuk Shel sungguh bukan untuk saya, tapi untuk Shel sendiri. Jadi pertanyaan-pertanyaan itu sejatinya tidak harus dijawab segera, karena saya tidak butuh. Shel yang lebih membutuhkan, karena bagaimanapun tidak ada manusia yang bisa berbohong pada hatinya sendiri.

------------------
* Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah Judul Novel karya Eka Kurniawan. Sudah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama.