Halaman

Kamis, 31 Maret 2022

Kebahagiaan yang Mudah

Suatu malam seorang kawan curhat tentang masalah rumah tangganya.

“Mi, boleh cerita ya,” ia memulai percakapan.

Setelah saya mengiyakan, ia bercerita panjang tentang ibu dan suaminya. Beberapa bulan belakangan ini ia tinggal di rumah ibunya yang sudah tua, sering sakit dan merasa kesepian. Namun karena itu ia jadi meninggalkan suami di rumah yang agak jauh. Jadwalnya adalah 5 hari di rumah ibu, 2 hari bersama suami. Kondisi ini berlangsung berbulan-bulan dan ia mulai merasa kelelahan karena perjalanan pulang-pergi yang cukup jauh. Sementara, baik ibu atau suaminya karena alasan masing-masing tidak ada yang mau mengalah untuk tinggal bersama.

Ia kawan saya sewaktu Aliyah. Saya pernah bertanya kepada istri saya tentang mengapa beberapa kawan, baik laki-laki atau perempuan, sering bertanya tentang masalah seperti itu kepada saya. Istri saya memberi spekulasi dan kemungkinan, tapi tidak ada yang benar-benar tahu alasan mereka yang pasti.

Sungguh saya selalu dalam kondisi tidak percaya diri ketika diminta untuk memberikan saran apalagi nasehat karena saya tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Saya khawatir akan terjerumus pada sikap judgemental. Sebagai penulis, saya cenderung ingin melihat dan mendengar dua sisi yang berbeda. Bagi saya setiap karakter punya suara polyphony, bukan tunggal, punya sisi manusiawi yang baik dan buruk. Itulah mengapa saya selalu mendengarkan dan banyak bertanya ketika bercakap-cakap.

Saya bertanya tentang banyak hal pada kawan saya sampai akhirnya tiba pada kesimpulan, "Fokusnya, supaya ibu dan suami sama-sama senang. Kalau terpaksa harus milih ya pilih suami, tapi kan gak bisa kaku juga. Paling omongin ke suami supaya suami juga ridho."

Kawan saya membalas, "Walaupun orang tua kita keadaannya seperti itu, Mi? Sendirian, suka sakit kepala, suka bilang, 'kalau malam sakit sendirian gak ada orang gimana?'"

Saya kembali tidak percaya diri.

"Sebenernya ini kan bukan pilihan yang hitam-putih ya." Saya merespon, "Masih bisa disiasati. Contohnya dengan dibagi hari dalam seminggu. Jadi tetep mengutamakan suami, dengan gak menyakiti perasaan ibu. Namanya orang tua, ya disabarin aja, nanti juga ada jalannya. Coba diskusi juga sama keluarga yang lain."

Kawan saya malah kemudian mengkhawatirkan hal lain. Ia bertanya tentang keluhan. Ia sering mengeluh kelelahan, baik mental atau juga kelelahan fisik, "Mi, emang kalau kita ngeluh, kita gak dapet pahala ya?"

"Mana gua tau, gua kan bukan Tuhan!" tapi tentu saya tidak menjawab itu. Saya jawab, "Yang gua tau sih karena tidak bersyukur,"

Ia kembali menangapi dengan cerita.

Saya kembali merespon, "Capek mah wajar. Gua juga kalo capek ngeluh, tapi itu bukan mengeluh karena gak bersyukur ke Tuhan."

Ada jeda sampai akhirnya saya meneruskan, "Gua biasanya fokus sama hal yang bikin bahagia. Karena hidup di dunia itu mudah."

Saya mengakhiri percakapan dengan mengirimkan nasihat dari Gus Baha agar hidup selalu senang. Saya ingat beliau pernah menjelasakan, "Usahakan sedikit sekali apa yang membuat kamu senang, maka akan sedikit sekali yang membuat kamu susah,"

Gus Baha memberi contoh waktu Nabi bertanya di pagi hari mengenai ada atau tidak sarapan. Ketika Aisyah menjawab tidak ada, maka Nabi memilih untuk berpuasa.

Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi, maka usahakan kita bahagia dengan standar yang paling sedikit, paling minimal. Kita melihat anak tertawa, itu seharusnya bisa membuat bahagia. Masih memiliki pasangan untuk diajak bicara, harusnya bisa membuat bahagia. Kita masih bisa minum saat haus, harusnya bisa membuat bahagia. Bahkan kita bahagia atas hal-hal yang dibolehkan agama, maka seharusnya kita bahagia.

Kebahagiaan adalah udara yang kita hirup. Ia ada dimana-mana, hanya kita sering memilih untuk menahan nafas atau menyesakan dada dengan syarat yang banyak.

Wallahu 'alam