Jumat, 30 Agustus 2013

Naskah yang dalam Tiga Tahun Belakangan Ini Berkali-Kali Gue Revisi Itu Akhirnya Ditolak Sebuah Penerbit Karena Alasan Follower

“Reputasi tidak bisa dibeli, follower bisa dibeli—bahkan secara resmi. Reputasi dibangun dari keahlian, kemampuan, bahkan bakat, juga kerja keras bertahun-tahun. Ia tak terbeli oleh uang, karena harganya tak ternilai.“ - Hoeda Manis


Ehm, dulu gue pernah berniat membeli follower. Tapi akhirnya niatan itu gue urungkan.

Awalnya gue coba-coba search di Google tentang cara memperbanyak follower dan menemukan link yang bisa memberikan follower secara gratis dan berbayar. Gue coba yang gratis. Dan benar, beberapa menit setelah mendaftar di situs tersebut, follower gue langsung bertambah drastis. Sekali lagi, hanya dalam hitungan menit!

Namun, ketika melihat dengan takjub penambahan follower di akun twiter itu, detik itu juga hati kecil gue merasa nggak tenang dan terusik. I know that’s not the decision that I’m gonna take. Akhrinya gue memutuskan untuk membatalkan sarana menadapatkan follower tersebut dan mengganti password di twiter. Dan dengan cepat, follower yang mulai bertambah itu berkurang atau beramai-ramai unfollow. Gue kembali menjadi fakir follower.

Gue nggak punya masalah dengan orang yang punya banyak follower atau sering disebut selebtwit. Apalagi yang mendapatkan followernya dengan jalan yang benar, bukan yang berbayar. Dan gue tahu banyak orang yang di-follow karena twit-twit mereka bukan karena keartisan atau keterkenalan mereka di dunia nyata. Mereka dinilai dan dihargai karena apa yang mereka tulis. Itu menurut gue keren! Dengan jalan itu gue juga mau punya banyak follower.

Tapi kemudian gue juga tahu kalau ada beberapa orang —bahkan orang terkenal— yang memiliki jutaan follower di Twitter, ternyata mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Bahkan mereka membelinya secara resmi melalui Twitter. Coba saja buat akun twitter, pasti lo akan disodori setumpuk akun untuk di-follow. Nah, merekalah pembeli follower resmi via twiter.

Sampai di sini gue takjub.

Sampai suatu saat gue tahu dari twitter bahwa akun @hiumacan pernah ditolak sebuah penerbit di Jogja karena tidak bisa memenuhi sarat dari penerbit tersebut; punya 200,000 folower. Ini gila. Dan kalau nggak mengalami sendiri, gue juga nggak akan percaya bahwa ada penerbit yang menilai penulis dari aktifitasnya di twitter dan dunia maya bukan karena kualitas naskahnya. Ya, kemarin gue mengirim naskah ke sebuah penerbit di Jakarta dan resmi ditolak karena alasan yang kurang lebih sama.

I don’t have any problem with the publishers and can deal with the rejection from them. Sudah puluhan kali gue ditolak oleh penerbit dan nggak pernah sakit hati. Gue rela dan ikhlas dengan penolakan tersebut. Karena mereka menolak naskah tersebut berdasarkan penilaian atas naskahnya, karena tidak sesuai dengan visi misi, tidak sesuai dengan standar penulisan, atau karena naskah gue dianggap belum layak diterbitkan dengan alasan A B C D. Kalaupun ada penerbit yang blak-blakan bilang naskah itu jelek dan berkualitas sampah, gue masih bisa terima itu. Sekali lagi gue rela dan ikhlas kalau penerbit menolak naskah karena alasan-alasan yang berkaitan dengan naskah. Yang gue nggak bisa terima adalah naskah itu ditolak karena tidak adanya cukup banyak follower di twiter. Itu adalah hal yang menurut gue sakit.

Dan yang lebih mengenaskan adalah penerbit tersebut bilang bahwa naskah itu belum dibaca. Oh, my God! Naskah yang paling lama gue tulis itu ditolak bahkan sebelum dibaca. Suram sekali.

Di akhir penolakan itu sang editor bilang, “Hal yang utama kami deteksi di awal adalah aktivitas sang penulis di dunia maya. Itu cukup. Jadi, saran saya, perbaiki aktivitas dunia maya untuk menaikkan grade dan porsi tawarmu.”

Mau gimana lagi?

Gue pun pasrah dan mencoba menghargai cara penilaian penerbit terhadap sebuah naskah. Menolak naskah, apapun alasannya adalah hak penerbit. Tentu mereka punya pertimbangan sendiri. Penerbit mana yang tidak mau untung? Penerbit mana yang nggak memikirkan keterbelian naskah yang mereka cetak? Penerbit mana yang mau rugi karena naskah yang mereka cetak nggak laku?

Ya, gue mencoba mengerti dasar-dasar penilain mereka. Gue mencoba menganalisa apa yang ada di kepala penerbit-penerbit tersebut. Mereka ingin supaya buku terbitan mereka laris dipasaran. Mereka berpikir bahwa banyaknya follower berbanding lurus dengan jumlah buku yang akan terjual. Semakin banyak follower, semakin mudah menjualnya. Itu mungkin salah satu cara untuk bisa menjual buku lebih banyak. Dan sah-sah saja.

Ya, mereka mungkin punya data akan hal tersebut. Mereka punya neraca yang bisa dilihat berkaitan dengan hasil penjualan buku dengan keaktifan penulis di dunia maya. Dan gue nggak punya data lain yang bisa membantahnya. Gue nggak punya data yang bisa mengatakan bahwa penulis yang selebtwit nggak menjamin penjualan bukunya akan bagus. Atau banyak orang yang menjadi penulis sukses terlebih dahulu baru kemudian baru punya twiter. Atau ada banyak penulis-penulis besar dan terkenal yang bukan selebtwit atau jarang ngetwit. Ya, gue nggak punya data yang valid tentang hal tersebut. Namun ada satu hal yang gue tahu; rating blog itu bisa dibuat, follower itu bisa dibeli dan keaktifan di dunia maya itu bisa dengan mudah dibuat bahkan dalam semalam. Googling aja kalo nggak percaya.

Benar memang, sarat punya banyak follower di twitter, rating blog yang tinggi atau keaktifan di dunia maya atau apapun sarat yang diajukan penerbit untuk menerima atau menolak naskah adalah wewenang penerbit yang tidak bisa diganggu oleh penulis. Namun sarat ini juga harus jelas, seperti mencantumkannya dalam website mereka. Agar penulis bisa menimbang-nimbang dan mempersiapkan ke mana mereka akan mengirim naskah. Ini lebih fair.

Huh… Mungkin yang dikatakan Ryan Aditya Achadiat di akunnya ‏@aditryan ada benarnya, “TV penyembah rating. Penerbit penyembah selebtwit.”