Saya dibesarkan ditengah-tengah paham Sunni, namun juga terbuka dengan perspektif dan pendapat golongan yang lain. Waktu kelas dua Aliyah di pesantren, saya telah membaca tentang Syiah (Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat) dan Mu’tazilah (Islam Rasional karya Harun Nasution) dan bisa menerima pemikiran-pemikiran mereka. Saya selalu ingin ber-tabayun dan ingin mengerti pemikiran-pemikiran golongan lain.
Menurut saya keyakinan itu perspektif, karena itu orang yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain itu sakit. Orang-orang bisa punya perspektif yang berbeda-beda dan bahkan berdebat, tapi pemaksaan kehendak adalah tindakan yang menciderai kemerdekaan. Dan alangkah mengerikannya tindakan orang yang memaksa orang lain untuk meyakini keyakinannya.
Lalu apakah saya tidak takut menjadi atau mendukung golongan yang sesat?
Entahlah.
Jika ditanyakan kepada orang Sunni, maka mereka akan mengatakan syiah itu sesat. Dan jika ditanyakan kepada orang Syiah, maka mereka akan mengatakan Sunni itu sesat. Begitupun jika ditanya kepada golongan-golongan lain. Lalu siapa yang benar?
Umat islam tentu sangat akrab dengan hadits yang berbunyi, “Umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.”
Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegaskan secara jelas siapa satu kelompok yang selamat itu. Hal ini menyebabkan sebagian golongan Islam tertentu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam.
Dalil tersebut yang biasanya dijadikan pembenar bagi intoleransi sesame muslim. Namun saya menemukan tulisan Akhmad Sahal dalam Koran Tempo yang memandang hal ini secara lebih santai dan cerah. Ia menulis tentang bahwa menjadi sesat itu tidak mudah. Ia menjelaskan tentang pandangan Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni itu.
Dalam bukunya Fayshal al Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, beliau membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan tersebut menyuburkan intoleransi dengan beberapa alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat.
Kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”
Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama, yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Lebih lanjut tentang Sunni dan Syiah, Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan. Mungkinkah?, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.”
Mungkin, Sunni dan Syiah sampai hari kiamat nanti tidak bisa disatukan dan akan terus ada. Tapi bisakah kita tidak saling menjelekan kemudian menghormati pandangan orang lain? “Saling” disini berarti kedua belah pihak atau pihak-pihak yang merasa benar mau meninggalkan ego-mereka untuk lebih toleran.
Kemudian saya berpikir tentang haji. Kemana hilangnya persatuan dalam haji? Ketika melaksanakan ibadah haji, tidak terlihat perbedaan itu. Mereka melaksanakan rukun yang sama, menyembah Allah yang satu, ke kiblat yang sama, juga shalat mengikuti imam yang satu tanpa repot-repot berdebat bahwa seharusnya yang menjadi imam adalah dari golongan mereka. Kemana hilangnya persatuan haji itu dalam “dunia nyata”.
Memang saya hidup, beribadah dan belajar ajaran-ajaran mazhab Sunni, namun tidak pernah sedikitpun terbersit di hati untuk menjadikan sunni sebagai agama. Agama saya tetap islam. Dan bisakah kita berpegangan pada berpedoman bangsa kita, “Bhineka Tunggal Islam”?
Ah, jangan-jangan saya yang nanti dikafirkan dan dianggap sesat.