Minggu, 05 Januari 2020

Kawan yang Sulit Ditemui

Kita tentu punya kawan yang jika ada kumpul-kumpul, tidak pernah datang. Bukan karena ada halangan atau rumah jauh, tapi memang tidak mau hadir. Tidak membalas pesan, seluruh social media tidak aktif, dan nomor telpon berganti-ganti. Dalam kasus saya, kawan itu bernama Tato Sumarto.

Saya lupa kapan terakhir ketemu Tato. Saking lamanya saya membayangkan bertahun-tahun yang akan datang, suatu malam, di atas kasur sebelum tidur, sambil mengecek HP masing-masing, saya dan istri akan bercakap-cakap.

“Bang, inget Tato gak?” mungkin istri saya bilang.

“Tato yang mana ya?”

“Itu, Tato dulu temen di 10.”

“Ooohh,” saya mulai ingat, “Kenapa dia? Meninggal?”

“Engaaak.” Istri saya menjawab cepat.

“Eh, kirain.” Saya menjelaskan, “Biasanya kan pertanyaan ‘inget si anu gak?’ atau ‘kenal si anu gak?’, itu pertanyaan standar buat membuka kabar duka cita.”

“Enggak. Dia katanya mau pergi haji naik rakit gedebong pisang.”

Beberapa waktu lalu, tanpa diduga Tato datang ke acara kumpul-kumpul dadakan. Ternyata ia masih sama. Kami masih sama. Dengan sense of humor yang sama. Beberapa kawan mengenang nostalgia ketika kita masih sama-sama kerja bareng. Saya tidak punya kenangan-kenangan melancholy penuh tangis tawa seperti itu. Oh, selain kenangan bergantian menyediakan buka puasa bersama waktu Ramadhan. Oh, juga kenangan menginap karena kerja terlalu larut. Oh, juga acara-acara bersama, jalan-jalan bersama, asmara dan. Sial. Banyak juga ya.

Sekarang kami telah berpisan tempat kerja, tempat kerja lama yang dulu menyatukan kami sudah tidak ada. Saya ingat di tempat itu Tato pernah bertanya pertanyaan yang saya belum jawab sampai sekarang. Beberapa waktu setelah saya menikah, dia tanya, “Bang, apa bedanya waktu lu masih singgel sama sekarang udah nikah?”

Sengaja saya tidak menjawab dengan jelas waktu itu. Supaya ia penasaran, terjebak dan ingin menikah. Sekarang ia sudah terjebak pada pernikahan. Pada ketakutan-ketakutan dan tantangan yang kadang absurd. Memang kesengsaraan perlu dibagi-bagi bukan?

Saya mendukung Tato untuk mengedepankan mental masa bodo terhadap pandangan-pandangan orang lain tentang dirinya. Paling tidak sampai lumba-lumba dalam perutnya berubah jadi naga.