Bab pertama dibuka canggung dengan janji akan konflik besar yang sayang tidak terbayar sampai akhir novel pertama, bahkan akhir novel ke dua. Alih-alih memberikan kepuasan setelah menutup halaman akhir, Rapijali meninggalkan pembaca dalam tanda tanya besar yang menyakitkan, semacam anak yang menanti janji ayah yang tidak pernah terlaksana.
Jika merupakan stategi yang akan diungkap pada buku ke 3, maka itu menjadi stategi bunuh diri. Saya khawatir Rapijali 3 akan bernasib seperti Maryamah Karpov - Andrea Hirata yang hadir hanya demi memenuhi penasaran dan kesenangan fanbase namun berakhir mengecewakan pembaca yang lebih serius.
Awalnya, ketika tahu cerita ini berdasar premis usang tentang Ping, seorang gadis prodigy musik yang berada di persimpangan jalan dalam meraih cita-cita, saya sama sekali tidak khawatir. Pengalaman Dee bisa membuat tema yang biasa saja menjadi menarik dalam sentuhan plot, setting dan dialog yang memikat. Saya tidak pernah meragukan kemampuannya dalam mengolah hal itu, namun sayang saya tidak menemukan itu paling tidak sampai paruh akhir novel pertama.
Di paruh awal, alur, adegan dan dialog tidak sepadat Perahu Kertas. Ini tentu pembanding yang sejajar daripada saya membandingkan dengan novellete Madre atau Filosofi Kopi. Saya seperti kehilangan magis dalam tulisan Dee karena ia menyajikan adegan yang boros, hambar dan tidak perlu. Tulisannya menjadi kering dengan beberapa karakter artifisial yang tidak dieksplorasi dengan baik, yang membunyikan dialog mandek dan kaku.
Mulai pada setengah akhir novel pertama dalam bab Juru Selamat, secara perlahan rangkaian kejanggalan adegan anak-anak remaja ala FTV yang memang sengaja dirancang, terbayar lunas. Walaupun setelah itu, kembali cerita menjadi minim elemen kejut dan sangat predictable. Baru pada pertengahan akhir buku ke dua saya merasa nyaman dengan para titular karakter. Karakter-karakter utama menjadi semakin believable dan hidup. Di sana kekuatan tulisan Dee seperti kembali, dengan gaya narasi serta elaborasi yang semakin padu. Memilih kosakata dan metafora untuk menggambarkan pendengaran lewat tulisan sungguh bukan perkara sederhana, bahkan mungkin lebih sulit dari deskripsi wewangian dalam Aroma Karsa. Di beberapa adegan ketika lagu-lagu dimainkan, saya membayangkan ini menjadi seperti lagu-lagu dalam Rectoverso yang bisa dinikmati di dunia nyata. Humor dan dialog yang merupakan keahlian Dee pada bagian ke dua ini juga semakin mengalir dan autentik, walaupun pada beberapa adegan masih terasa janggal dan terlalu dipaksakan.
Hal yang juga patut dipuji dalam karya ini adalah keberanian Dee untuk menggarap ceruk yang jarang dilirik oleh penulis populer Indonesia sebelumnya. Memasukan unsur politis pemilihan gubernur DKI Jakarta merupakan pertaruhan yang sangat beresiko. Walaupun tidak terlalu berhasil untuk memberi bekas yang mendalam, namun usaha melalui survey dan riset yang memadai itu patut diapresiasi.
Rapijali memang akan sangat relevan dan mudah dinikmati oleh remaja. Menulis dunia musik dan panggung yang akrab ia geluti, dengan perlahan tapi pasti Dee mampu membawa tulisannya di buku ke 2 menjadi semakin menemukan ruang yang dengan apik dirajut secara emosional, dramatis dan kompleks. Dengan konflik percintaan yang pasti mudah mengait secara personal dengan pembaca remaja. Patah hati yang pilu, cinta diam-diam yang manis, pergulatan atas penghalang cinta seperti agama, strata sosial dan ekonomi, juga jarak yang sangat relevan dengan siapapun.
Kesalahan yang tidak bisa dipungkiri adalah Rapijali terlalu ringan bahkan cenderung bertele-tele dengan konflik yang terlalu melebar. Jika dibuat lebih rapat dan ketat seperti Perahu Kertas, ini akan menjadi karya yang jauh lebih sempurna. Tereksplorasi dengan baik seperti Supernova, meninggalkan ina-inu penulisan yang tidak penting, dengan dialog yang lebih selektif yang pada akhirnya membawa pembaca pada keakraban intens. Saya percaya, jika ditulis dalam versi yang lebih ringkas, Rapijali akan semakin rapih.