Halaman

Sabtu, 30 Oktober 2021

Dunia tidak Akan Berhenti Hanya untuk Kesedihanmu

Kami bicara melalui telpon dan saya sedang di atas kendaraan ketika mendengar cerita itu. Ketika ia menceritakan hal getir tentang rumah tangganya, mata saya mulai berembun.

“Udah gak usah diterusin lagi,” kata saya akhirnya. Saya kira akan berbahaya berkendara sambil menangis.
 
Sebelum itu, saya dan istri berkunjung ke rumah yang terakhir saya kunjungi 18 tahun lalu. Belasan tahun seperti baru kemarin. Teras luas di depan rumah sudah dibangun menjadi tempat mengaji anak-anak. Pohon rindang di depan rumah juga sudah tidak ada berganti pot-pot kecil berhias tanaman-tanaman kecil.
 
Kami mengobrol banyak hal yang terlewat. Saya bertanya beberapa hal dan mengamati. Ada yang menggangu. Bukan pada apa yang ia katakan, tapi pada apa yang tidak ia ungkapkan. Usahanya untuk terlihat baik-baik saja membuat kalimat-kalimat yang keluar menjadi semacam bunyi tanpa isi. Ia bercerita bahwa saat itu ia sedang tahap berpisah dengan suaminya.

Saya tidak kenal dengan suaminya. Kami pernah sekali bertemu belasan tahun yang lalu dan itu pertemuan yang tidak berkesan. Seharusnya mudah bagi saya untuk membenci, karena ia telah sangat menyakiti kawan saya, tapi saya tidak bisa membenci orang yang sama sekali tidak saya kenal. Apalagi saya menduga bahwa suaminya mengalami gangguan jiwa.

Ketika menulis novel dengan karakter skizofrenia, saya banyak membaca reverensi tentang penyakit jiwa. Hal yang sangat sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina. Padahal gangguan jiwa bukan aib dan tidak ada hubungannya dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.

Saya percaya bahwa penyakit jiwa adalah penyakit biasa, yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau usus buntu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan jiwa. Selama pandemi, ada 67,3 persen masyarakat Indonesia mengalami depresi dan 32 persen mengalami gangguan jiwa. Bandingkan dengan stroke yang menjadi pembunuh nomor satu, dengan 29,2 persen dari total kematian di tahun 2017. Jadi gangguan jiwa adalah penyakit umum, dan kemungkinan ada lebih banyak orang dengan ganggan jiwa dari pada stroke di Indonesia.
 
INI bukan cerita yang mudah ditulis. Bagi yang mengalami, ini jenis cobaan yang mungkin tidak sanggup kamu tanggung, hingga pada suatu titik kamu mempertanyakan kembali apa yang Tuhan maksud dengan tidak memberi cobaan kecuali sesuai kemampuan. Tapi biarkan cerita ini menjadi pengingat bahwa kita masih manusia.

Suatu malam ia pulang kerja dengan membawa lelah yang mengelayuti kaki dan punggungnya. Sistem pabrik tidak pernah gagal membuatnya seperti robot. Ia masuk rumah dan mendapati seragam sekolah Dila, anaknya yang berumur 9 tahun, yang ia siapkan tadi pagi di atas meja sebelum berangkat kerja masih terlipat rapi. Itu berarti Dila tidak sekolah dan mungkin juga belum mandi sedari pagi.

Suaminya sudah tidak bekerja dan tidak bisa lagi diandalkan untuk melakukan hal yang bahkan sangat sederhana. Ia sering mendengar kata-kata yang tidak pantas dari suaminya. Dilarang beribadah. Diancam hal yang mengerikan jika pergi ke rumah orang tua. Tidak diperbolehkan bertemu siapapun, bahkan untuk bekerja.
 
Mereka sering bertengkar tentang hal yang sepele dan tidak masuk akal. Sudah berkali-kali ia disakiti sejak setahun belakangan bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik. Namun kesakitan terbesar bukan pada perlakuan buruknya, tapi pada kesadaran bahwa orang yang dulu ia kenal baik dan penyayang sekarang menjadi begitu berbeda.

Ia memikirkan Dila dan membayangkan perkembangan kejiwaan anaknya jika terus hidup di lingkungan yang depresif karena pertengkaran kedua orangtua. Suatu hari, ia memutuskan untuk membawa Dila keluar rumah dan tidak kembali lagi. Ia menggugat cerai suaminya, dan itu keputusan yang tidak mudah.

Saya bersedih dan prihatin terhadap masalah yang dihadapi kawan saya. Semua orang punya masalah hidup masing-masing, yang tidak bisa dibandingkan. Kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih menderita antara bercerai atau ditinggal mati anak, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih pahit antara menganggur tidak punya penghasilan atau bekerja tapi selalu direndahkan atasan, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih suram antara tidak mendapat pasangan hidup atau berjuang untuk menikah beda agama. Orang-orang yang jika dilihat dari luar akan sama saja, bisa tersenyum dan bercanda, tapi di dalam mereka sedang bertarung dengan trauma. Dan sementara itu, di luar mereka bumi akan terus berputar, kehidupan akan terus berjalan, dunia akan begitu-begitu saja.
 
Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu.
 
Segala masalah yang kita hadapi sebenarnya adalah peringatan bagi kesombongan manusia. Cobaan yang menimpa mengingatkan manusia sekali lagi tentang kelemahan. Bahwa segala yang kita punya tidak kekal, dan seperti yang sering kita dengar, kita berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.