Cabangbungin memang bukan seperti Rengasdengklok yang terkenal dengan tempat penculikan proklamator. Ia lebih dikenal dengan istilah tempat penculikan anak dedemit.
"Lah banget jauh!" Tuan rumah berkomentar dengan bahasa yang lucu ketika kami masih di jalan, sekitar 35 kilo dari pusat peradaban terdekat. Lokasi yang ia share tidak membantu, karena ia memberi live location yang berubah-ubah. Memang aneh.
"Lurus aja, sampe ketemu desa, trus patokannya depot isi ulang," ia memberi arahan. Awalnya saya pikir, masih jauh dan lurus aja itu kalimat yang membingungkan. Karena bisa saja kami salah berbelok di jalan persimpangan entah dimana. Tapi instruksi itu benar. Di jalanan desa, kita tidak akan salah berbelok. Pilihannya adalah antara mengikuti jalan yang ada atau berbelok ke galangan sawah.
Saya tidak bertemu Robet sejak lulus Aliyah. Tentu Robet bukan nama sebenarnya, di kampung tidak ada orang tua yang mengambil resiko menamai anak dengan nama yang berpotensi menjadi penghuni neraka. Nama sebenarnya mengingatkan kita pada tokoh sufi wanita termasyhur; Rabi'ah al-Adawiyyah.
Itu kali pertama saya main ke rumahnya. Sehari sebelum kunjungan, grup WA kelas ramai karena Njay mengusulkan untuk berlebaran ke Kiyai Fachruddin dan mampir ke rumah Biah. Seperti biasa, beberapa orang menyetujui. Beberapa kawan memohon maaf karena tidak bisa ikut. Sisanya tidak berkomentar.
"Kita tunggu aja sampai jm 10. Kalo ga datang, ya kita tinggal." Kata saya ke Njay, ketika menunggu beberapa kawan lain yang bilang akan ikut.
Njay sepertinya selalu berpikir positif. Ia masih yakin Edo dan Erte akan datang. Ia tidak sadar sedang berhadapan dengan politisi tingkat akar rumput yang hobi ngerjain orang.
Pernah suatu hari, Deni Bagong si Erte mengerjai kawan kami Ihsan Sempak. Ketika Edo yang saat itu masih duda, akan melangsungkan pernikahan, Sempak berencana ikut. Kami berkumpul di rumah Edo dan berencana ikut rombongan besan.
"Lu bilang apa ke Sempak, Gong?" Tanya saya ke RT super sibuk itu.
"Gua suruh ke sini. Gua bilang kita tungguin."
"Lah kita bentar lagi mau berangkat, Lih!" Kata saya bingung.
"Biarin! Kita tinggal aja." Bagong nyengir, "kalo beneran dia sampe sini, baru kita share loc lokasi acara."
Memang niat Erte mau ngerjain. Karena bisa saja dia langsung share loc sehingga bisa langsung ke lokasi tanpa berjalan memutar. Benar saja. Sempak tiba di rumah Edo dan bersungut-sungut karena mendapati rumah telah sepi.
Kendaraan melewati depot isi ulang air minum yang menjadi patokan rumah Biah karena memang tidak terlihat di pinggir jalan. Biah menelpon meminta kami memutar balik. Entah bagaimana dia tau kendaraan sudah kebablasan? Apakah kendaraan kami satu-satunya yang lewat jalan itu, karena masyarakat masih menggunakan kuda dan pedati sebagai alat transportasi?
Kentung, sopir kami, memutar balik kendaraan di jalan yang saya pikir tidak akan ada ujungnya, akhirnya kami tiba di lokasi.
“Edo pernah kesini, Bi?” saya bertanya pada tuan rumah tidak beberapa lama setelah duduk di sofa.
“Pernah. Naek sepeda malah. Kirain mah sekarang mikut!”
“Mmm, tau gua sekarang kenapa dia gak mau ikut,” saya nyengir.
“Kenapa?” Biah penasaran.
“Kapok!” saya terbahak.
Setelah banyak cerita dan tertawa. Tuan rumah mempersilahkan kami makan. Hidangan dikeluarkan, dan saya menduga ia akan mengadakan acara syukuran panen raya. Banyak sekali makanan yang disajikan; bekakak ayam, sayur asem, telur asin, lalapan, dua macam sambel belum lagi kue lebaran yang tidak sanggup kami cicipi semua.
“Iya, kirain banyak yang ikut, jadi dimasakin banyak.” Biah berdalih, “Abisin pokoknya!”
Saya tidak menyalahkan kawan-kawan yang bilang akan ikut, tapi ternyata tidak bisa hadir. Semakin dewasa saya semakin bisa memaklumi. Kami bukan lagi anak 17 tahun yang hanya bangga pada komunalitas semu. Niat silaturahim dan kesenangan mengobrol dengan tuan rumah yang lama tidak bertemu merupakan kesyukuran yang tidak boleh dirusak dengan hal sepele. Begitulah seharusnya persahabatan yang tulus, memahami kondisi yang mungkin tidak lagi sama. Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.
“Ayo Tung jamaah!” Saya mengajak Kentung Salat Asar setelah kenyang makan.
“Ntar dulu napa, masih bega ini perut,” Kentung bersandar di sofa.
Saya, Njay dan Fawwaz tidak menghiraukan Kentung dan memulai salat.
“Kiblatnya ke arah sini, Bi?” tanya saya ke tuan rumah.
“Iya, itu kan udah digelarin sejadah,” Biah menjawab sambil lewat.
Saya melantunkan Iqomah, Njay berdiri menjadi imam. Tidak lama setelah itu, dalam keadaan salat, belum selesai rakaat pertama, Biah setengah berteriak mengingatkan, “Eehh, kiblatnya salah!”
Dalam hati saya mengumpat, “Tadikan gua udah tanya, Markonah! Lu bilang iya!”
Saya menahan tawa dan menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Tawa saya pecah, begitu melihat Njay membatalkan salat sambil misuh, “Lah gimana sih?!”
Di ruang tengah Kentung terbahak, “Kualat lu, solat ninggalin gua sih!”