Halaman

Minggu, 10 Oktober 2021

Spiritualisme Pesantren

SUATU malam, setelah selesai pengajian, sambil makan nasi uduk, Aluy bercerita tentang mimpi bertemu Kiyai Jirin Allah Yarham.

Beberapa kali saya menginterupsi cerita Aluy dengan pertanyaan.

“Jadi Bang Sofwani pake baju apa waktu ngasih sarung ke Jamal?” saya bertanya.

Aluy agak bingung dengan pertanyaan itu. Tapi akhirnya menjawab, “Gak tau, lupa gua. Gak merhatiin. Putih kayaknya, pake sarung sama peci.”

Itu bukan pertanyaan iseng. Saya hanya sedang menguji konsistensi Aluy dalam bercerita.

“Ya udah terusin,” kata saya ke Aluy.

Ia meneruskan cerita tentang Pondok yang kebakaran, tentang hal random seperti Jamal yang tiba-tiba diberi sarung oleh Bang Sofwani (Allah yarham), dan puncaknya ia mendatangi Kiyai yang sedang duduk di depan masjid yang kemudian berpesan tentang satu hal.

“Bentar-bentar,” saya memotong lagi cerita Aluy, “Jadi Kiyai ngomong gimana tadi?”
 
“Lu pergi ke sono noh.” Aluy menirukan apa yang dikatakan Kiyai dalam mimpi.

“Lah tadi lu cerita Kiyai nyebut nama,” saya protes, “Giliran gua suruh ulang, lu gak sebut nama. Gak konsisten cerita lu.”

Aluy kemudian berkilah tentang inkonsistensi yang ia buat.

 
DARI Ilmu Hadits saya belajar bahwa ada dua hal yang perlu diselidiki tentang sebuah informasi. Pertama Sanad, yaitu orang yang menyampaikan informasi, dan yang kedua adalah Matan, atau isi dari informasi. Saya tidak punya alasan untuk meragukan kredibilitas Aluy sebagai penyampai cerita. Saya mengenalnya sejak ia mencoba jadi anak punk dengan sepatu boot tinggi, pakaian hitam dan rambut jigrag sambil membawa bulletin PutiHitam berisi pemikiran-pemikiran anti kemapanan, sampai sekarang dengan jidat yang makin lebar, rambut makin jarang dan mata makin sipit. Dalam pandangan saya, ia adalah seorang perawi yang Tsiqoh, yang bisa dipercaya.

Sementara isi informasi, lebih sederhana lagi mengukurnya, yaitu tidak bertentangan dengan sumber yang lebih Utama; Al Quran dan Al Hadits. Tidak ada pertentangan sama sekali antara cerita Aluy dengan Sumber Utama, karena ia bercerita tentang gambaran masa depan, atau yang ia tafsirkan sebagai masa depan. Dalam hal ini saya merasa perlu untuk melihat secara lebih teliti, atau meminjam istilah Ayu Utami, saya melakukan Critical Spiritualism; melihat dan menghargai yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.

Manusia cenderung menambah dan menginterpretasi cerita, itu hal yang wajar dan banyak terjadi, maka penting untuk kita membedakan antara melihat dan menafsir. Saya menguji cerita Aluy dan ia terbukti menampilkan inkonsistensi pada apa yang ia ceritakan. Pertama ia mengatakan bahwa Kiyai menyebut sebuah nama, yang ke dua ia bercerita, menirukan apa yang dikatakan Kiyai, tanpa menyebut nama. Dua informasi antara menyebut atau tidak menyebut nama ini sangat penting, maka saya menduga keras, ia menafsir. Karena boleh jadi dalam mimpi, Kiyai tidak menyebut nama, tapi kemudian Aluy menafsirkan perkataan itu dengan nama tertentu. Jadi yang diceritakan sudah tidak murni lagi apa yang ia lihat dan dengar dalam mimpi, tapi telah bercampur dengan penafsiran terhadap mimpi itu.

Kita tentu masih ingat bagaimana UAS pada saat Pilpres 2019 lalu bercerita mengenai pengelihatan dari beberapa ulama yang ia sebut sebagai Ulama Kasyaf tentang Prabowo. Faktanya Prabowo kalah dalam Pilpres 2019 dan orang ramai berkomentar. Apakah itu berarti apa yang UAS sebut sebagai mimpi atau pengelihatan dari Ulama Kasyaf itu salah? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Jika ingin dilihat secara lebih cermat, kesalahan yang terjadi ada pada penafsiran. Silahkan lihat videonya sekali lagi dan siapapun bisa melihat mana Visi asli, mana interpretasi. Jika ditafsirkan dengan benar, maka bisa jadi itu sesuai fakta yang terjadi sekarang atau bahkan nanti.
 
Pertanyaan kritis lain yang patut diajukan terkait hal seperti itu adalah; Apakah yang dilihat adalah sebagian atau keseluruhan? Apakah ada kejelasan tempat dan waktu? Apa motif yang melatarbelakangi? Karena umumnya Visi itu penuh metafora, multi tafsir dan tidak benar-benar jelas.

Malam itu, selain cerita Aluy, Guru Yahya selaku pemimpin Mudzakaroh bercerita tentang ibu yang didatangi arwah anaknya yang berbeda agama melalui mimpi, yang minta untuk terus didoakan. Tentang kesembuhan penyakit karena wasilah sebuah kitab yang ia baca. Tentang angka 36 yang ternyata sama dengan nomor surah yang sering ia amalkan. Dan beberapa kejadian dan keajaiban individual lain yang sering disebut suprarasional atau supranatural.
 
Hal-hal seperti itu nyata ada di tengah-tengah kita. Petunjuk Tuhan bisa datang melalui mimpi, pertanda, firasat atau hal lain yang tidak bisa dibuktikan atau diverifikasi. Maka saya tidak bisa menolak, namun tidak juga lantas membenarkan dengan segera. Saya menghormati hal-hal yang spiritual, bahkan percaya pada tawassul, namun juga tidak kehilangan nalar kritis. Sebagai seorang yang beriman, saya tidak pernah meragukan ada yang gaib. Logikanya sederhana, sesuatu yang tidak bisa didengar, dirasakan dan dialami panca indra bukan berarti tidak ada. Karena jika iya, maka kita akan terperangkap pada dunia materialisme yang kering. Namun juga perlu diingat, agama ini bukan hanya tentang spiritualisme semu, tapi juga nalar dan logika yang jernih.
 
Dalam menghadapi cerita gaib yang tidak bisa diverifikasi itu tentu kita harus menerapkan logika. Bukan berarti saya mengharapkan bahwa hal yang gaib bisa masuk akal. Dunia gaib dan dunia nyata memang tidak sama, maka mengharapkan hal gaib bisa masuk akal adalah tindakan percuma. Logika yang saya maksud adalah tentang ketentuan sebab akibat, tentang silogisme, tentang premis dan konklusi, atau dengan kata lain kita tetap memerlukan ilmu yang menetapkan alat pengatur nalar yang kalau dipatuhi akan mampu menjaga kita dari kesalahan berpikir.
 
Wallahu’alam bissawab.