Halaman

Jumat, 16 Maret 2018

Percakapan di Depan Telinga

Awan gemawan kelabu di atas langit menggantung rendah. Belum ada tanda-tanda akan turun hujan. Saya menyebrang jalan dan duduk di bawah rindang pohon sambil memesan semangkuk mie ayam. Alun-alun Bekasi siang itu riuh rendah oleh latihan baris berbaris di ujung lapangan.

Mangkuk yang masih mengepul disajikan. Aroma mie ayam memenuhi penciuman. Belum sempat saya menelan suapan pertama ketika wanita itu bercerita tentang mantan suaminya. Saya tidak kenal wanita paruh baya itu. Ia berbicara kepada seorang laki-laki di sampingnya, tapi suaranya terdengar seperti ia bebicara di telinga saya.

“Jadi tujuannya apa ya?” laki-laki itu bertanya.

“Nggak tau. tapi setelah gue pikir-pikir lagi. Mungkin mau numpang hidup.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk. Wanita itu meneruskan, “Bahkan di hari-hari pertama pernikahan aja dia udah dingin gitu sikapnya. Ya namanya penganten baru kan ya, maunya deket-deketan terus ya. Dia mah nggak mau. Padahal gue udah pancing-pancing. Malah dia bilang, tujuan nikah tuh bukan hanya untuk gituan. Ah bohong banget.”

Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Wanita itu terus bicara, “Mungkin dia tau gue jualan onlen kali. Tapi kalo dia mau nipu, dia salah orang. Karena gue juga gak punya apa-apa. Barang-barang yang gue jual kan dari orang lain. Aslinya ya gue gak punya apa-apa.”

“Kemungkinannya memang dia mau numpang hidup dan manfaatin.” Akhirnya laki-laki itu merespon, “Tapi dia menipu orang yang salah.”

Wanita itu terus bicara. Bercerita tentang ia yang ingin dijodohkan dengan tukang parkir yang punya kontrakan. “Bodoh banget lu kalo nggak mau.” Wanita itu mencontohkan apa yang dikatakan orang yang ingin menjodohkan.

“Gue bilang, ya lu liat aja anaknya. Udah gede-gede gitu. Umur anak-anaknya juga seumuran kali sama gue.”

Wanita itu masih bercerita sementara mangkuk di tangan saya sudah tandas. Saya memberikan uang sepuluh ribu dan mengucapkan terimakasih kepada penjual. Kemudian saya menyebrangi lapangan alun-alun menuju rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin saya ambil.

Selasa, 13 Maret 2018

Drama Musikal, Homeschooling dan Kemalangan

Hujan deras mengguyur ketika kereta tiba di stasiun Bekasi. Nada yang awalanya tertidur di pangkuan, saya gendong ke luar gerbong, cipratan air yang tampias dari atap peron membangunkannya. Jam di HP menunjukan pukul 22:45.

“Sudah dimana, Pak?” kata saya kepada sopir taksi online melalui telpon.

“Ini dengan Nabila?” Ia tidak menjawab. Saya ingin mengiyakan dan menambahkan bahwa saya mantan JKT48.

“Ini Nailal, Pak.”

“Oh iya, maksud saya Nailal.”

“Sudah dimana, Pak?”

Saya memutuskan menerobos guyuran hujan dan menunggu di pinggir jalan. Dua detik menunggu, taksi datang. Pintu dibuka dan dari balik kemudi, sopir memastikan, “Dengan Pak Nailal?”

“Bukan. Saya Nabila. Mau handshake, Wota?” tentu saya tidak sejahil itu.

Beberapa kali saya bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru. Hal menarik dari bertemu dengan orang baru adalah kita bisa menilai mereka dari pertanyaan atau cara mereka bertanya dan menjawab.

Beberapa jam sebelumnya, dalam gerbong kereta, saya memberikan tempat duduk kepada seorang wanita muda yang berdiri dekat pintu kereta. Setelah duduk di samping, sambil melihat Nada ia menyapa, “Nggak sama ibunya?”

Beruntung yang ditanya saya, kalau Ahok akan panjang ceritanya. Setelah saya jawab pertanyaan mudah itu, ia kembali pada posisi antara bertanya atau menyatakan, “Iya, anak perempuan emang lebih deket dengan ayahnya ya?”

Sambil tersenyum saya jawab, “Kebetulan tiga anak saya perempuan semua.”

Tipe sopir taxi bermacam-macam. Ada yang suka bicara dan bertanya, ada yang pendiam, atau laki-laki berumur 40an dengan kecenderungan bicara seperti perempuan ABG yang sedang PMS. Percayalah, saya pernah bertemu semua makhluk itu. Sopir saya kali itu santai. Saya perkirakan umurnya tidak jauh dengan saya.

Ia mulai bicara tentang kereta. Jadwal kereta, penumpang kereta, perbedaan kereta jaman dulu dan sekarang. Seketika kami mengenang masa-masa lalu dan menjelma menjadi dua orang Dilan. Berbincang tentang atap kereta, tawuran, dan telpon umum.

“Dari Taman Ismail Marzuki.” Kata saya menjawab pertanyaan.

“Nonton teater?”

“Iya.”

“Oh, saya juga sering ngajak anak saya nonton teater di sana.”

“Oya?” saya takjub, “Kirain cuma kenal teater FX Sudirman lantai 4?” tentu saya tidak seiseng itu juga. Kecuali kalau dia mengatakan sebagai ketua Wota Garis Keras JKT48 cabang Babelan.

Sejujurnya, jarang saya bertemu orang yang masih mau nonton teater, apalagi bersama anaknya. Saya sendiri baru pertama kali nonton Drama Musikal. Beberapa kali berperan dalam drama sekolah, baik waktu Aliyah atau kuliah, pernah juga membuat naskah drama, namun menonton drama di sebuah gedung teater adalah hal yang baru untuk saya, apalagi Nada.

Seminggu sebelumnya, kepada Nada saya memberi gambaran tentang apa itu seni teater dan beberapa triler Mimpi-mimpi Pelangi, drama yang akan ditonton. Ia bercerita kepada hampir seluruh teman-temannya dan pada hari keberangkatan tidak bisa tidur siang. Padahal tidur siang adalah salah satu sarat yang saya ajukan, karena acara berlangsung malam.

Isi dari drama tersebut sederhana, cerita tentang kemalangan. Anak-anak di lintasan rel kereta yang tidak bersekolah. Mereka tidak bersekolah bukan hanya karena pemerintah tidak bisa menjamin sekolah dan keperluan sekolah mereka, tapi karena orang tua mereka butuh bantuan anak-anak untuk bertahan hidup. Klise.

“Luna nggak sekolah, Pak?” Nada bertanya di tengah-tengah pertunjukan.

“Iya.”

“Sekolah di rumah?”

“Bisa juga.”

“Luna Homeschooling?”

“Well, gak seperti itu juga.”

Pertanyaan anak adalah teaching moment yang tidak selalu mudah. Sebuah sarana untuk menerapkan Learn to know, salah satu 4 pilar pendidikan UNESCO. Saya berpikir sebentar apakah perlu menjelaskan tentang Unschooling-nya John Holt yang mungkin bisa dikaitkan dengan apa yang dijalani Luna, Albi dan kawan-kawannya di Kampung Kuning, atau menjelaskan metode Homescooling yang sedang kami lakukan. Saya akhirnya berkata, “Luna dan orang tuanya mungkin tidak paham Homeschooling, walaupun apa yang mereka lakukan bisa juga dikatakan Homeschooling. Tapi intinya, baik Luna di Kampung Kuning yang tidak pergi ke sekolah ataupun Damar dari Kampung Biru yang pergi ke sekolah, mereka sama-sama mau belajar. Itulah intinya. Karena jaman sekarang, buta huruf bukanlah orang yang tidak bisa baca tulis, tapi mereka yang tidak bisa belajar, berkembang dan memperbaiki diri.”

Nada diam, mungkin dalam pikirannya, “Ngomong apa sih, Pak?”

Panitia mengumumkan bahwa acara rehat 15 menit. Saya membuka HP, ada sebuah pesan di Facebook yang masuk dari Haris, seorang juru kamera, kawan kuliah.

Haris: Woiii sehat…

Saya: Sehaaat. Lg dimana, Ris?

Haris: Sini di Cakung, di rumah. Lo dimane?

Saya: Lagi di TIM Cikini. Nemenin bocah nonton.

Haris: Oh. Lah tadi gue di sono liputan.

Saya: Lu liputan di Cikini tadi?

Haris: Deket situ. Di Warung Daun. Kalo gue tahu ketemu kite.

Saya: Ya elah. Gue padahal makan di depan TIM tadi sore. Sayang banget yak.

Haris: Gampang nanti ketemu. Gue main ke rumah lo, atau lo main ke mari.

Saya: Mo ngundang-ngundang kayaknya nih? Qiqiqi

Haris: Kagak. Belom dapet gue calon bini. Masih jomblo aja neh. Lo ada gak? Kenalin gue donk.

Saya tidak menjawab permintaan itu, karena saya tahu itu hanya basa-basi. Haris adalah single parent dengan seorang anak perempuan yang sudah remaja.

Masalah hidup berbeda-beda, dan tidak ada yang benar-benar tahu kemalangan masing-masing orang. Dari luar semua orang akan terlihat sama, tanpa ada yang tahu masalah apa yang sedang mereka hadapi. Maksud saya begini, seperti dalam Wonder atau 50/50 --dimana setiap karakter dalam film-film itu punya kemalangan masing-masing-- setiap orang ingin dimengerti, tapi sayangnya tidak ada orang yang benar-benar bisa merasakan kegelisahan hidup orang lain.

“Abis nganter orang, Pak?” saya bertanya ke sopir. Nada meneruskan tidur di pangkuan.

“Nggak. Dari nganter anak ke rumah sakit.”

“Oh, sakit apa?”

“Leukimia.”

“Inalillahi.” Jawab saya spontan.

Kemudian ia bercerita tentang obat, perawatan dan ketelatenan, “Gak kuat saya kalau bawa anak ke rumah sakit. Apalagi kalau mau disuntik. Mending saya keluar aja.”

Saya tidak menduga, orang yang saya kira Wota paruh baya dengan krisis identitas adalah seorang ayah dengan anak perempuan dua setengah tahun yang mengidap Leukimia yang sering ia ajak nonton teater.

Saya membayangkan, jika anak itu adalah Nada. Yang harus memangkas seluruh rambutnya karena kemo. Beberapa kali tusukan jarum untuk mencari pembuluh vena yang tipis. Mengaduh kesakitan tanpa punya bahasa lain selain menangis, dan keinginan terbesar dalam doa orang tuanya sepanjang malam adalah agar seluruh penyakit dan derita sang anak pindah ke tubuh mereka.

Mungkin setiap malam, sepulang dari kerja yang sudah sangat larut, Pak Julius menangis lirih dalam tiap doa dan ibadahnya. Dalam keadaan seperti itu, bahkan kesatria yang paling tangguh sekalipun berhak menangis.

Setiap orang ingin dimengerti, tapi tidak ada orang yang bisa benar-benar merasa kegelisahan hidup orang lain.

Kamis, 11 Januari 2018

Nasehat Pernikahan

Menasehati; itu bagian yang membuat saya gentar. Nasihat apa yang bisa diambil dari saya yang baru menikah 7 tahun? Kalaupun ada, nasehat itu seharusnya cocok untuk diri sendiri. Daripada menasehati, lebih baik saya bercerita.

Jadi, suatu hari, ketika naik motor memboncengi ibu, saya lewat sebuah TPU baru.

“Tuh liat bu, TPU-nya masih luas gitu ya.” Kata saya menunjuk plang bertuliskan TPU Padurenan.

“Iya,” Ibu merespon, “Jalan masuknya juga udah dibeton bagus.”

Di kanan-kiri jalan itu tanah luas menghampar, ditumbuhi semak, pohon pisang dan alang-alang yang tidak terlalu tinggi. Tidak lama setelah melewati TPU, kami melewati beberapa spanduk perumahan, ibu cerita tentang adik perempuan saya, “Titis lagi cari rumah tuh.”

“Di daerah sini juga banyak perumahan yang baru mau dibangun.” Saya jawab.

“Iya, yang tadi aja tuh ya, yang jalanannya udah dibeton bagus.”

“Yang mana?” saya mengingat-ingat.

“Yang tadi kita lewat!” ibu yakin.

“TPU Padurenan?”

“Iya.”

“Itu Kober, bu!” kata saya sambil ngakak.

Saya nggak ngebayangin ada ibu yang mau anaknya bikin rumah di Tempat Pemakaman Umum.
Selamat menempuh hidup baru, Tis. Jangan lupa dengerin nasehat ibu.






Rabu, 03 Januari 2018

Father of Daughters

Dalam Islam, salah satu kewajiban orang tua terahadap anak perempuan adalah menikahkan. Saya punya 3 anak perempuan dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mewakilkan wali nikah kepada siapapun selagi mampu. Tapi belakangan saya sadar bahwa ternyata saya bukan hanya akan menikahkan 3 anak perempuan, tapi 5.

Saya juga merupakan Wali Nasab dua adik perempuan setelah bapak wafat. Tanggal 7 Januari 2018 yang akan datang, Titis, salah satu adik perempuan saya akan menikah. Ini akan menjadi kali pertama saya menjadi wali nikah, kalaupun bapak masih hidup ini akan menjadi kali pertama untuk beliau.

Mohon doa semoga acara berlangsung lancar, dan semoga pernikahan Titis dan Adi diberkahi Allah.









Sabtu, 30 Desember 2017

menunggu langit berwarna jingga

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia menyusun rindu di tepi pantai itu,dilepasnya sepatu,
dibenamkan kaki pada pasir yang masih hangat

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia melukis janji ungu yang masih terlipat rapih dalam saku baju
--dekat dengan jantungnya

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia biarkan ombak menghapus jejak langkahnya yang ragu,
dirahasiakan setianya menanti sampai matahari berwarna darah

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
digengamnya yang tak terucap pada akad jiwa



Senin, 25 Desember 2017

Seorang yang Memilih Bersepeda

Sepeninggal istrinya, Edogawa seperti kehilangan kemampuanya menggaet wanita. Satu hal yang saya prediksi menjadi alasan kenapa jodoh sang Playboy Cap Gayung itu seret; terlalu banyak bersenggama dengan sepeda.

Saya mengenal Edo dan Mira, mendiang istrinya, sejak MTs dan sampai bulan-bulan terakhir sebelum istrinya wafat, saya masih sering main ke tempat Edo. Waktu itu dia baru mulai gandrung dengan komunitas Sepeda Federal Bekasi. Sementara saat itu —atas hasutan istri, saya baru mulai mengenal Food Combining; sebuah sekte yang mempercayai bahwa manusia semestinya memilah-milih makanan juga waktu-waktu tertentu untuk memakan makanan agar semakin sehat.

Istri saya mempengaruhi Mira dengan ajaran itu. Suatu siang, Edo menghubungi saya lewat BBM, “Bini gua diracunin apa ama bini lu? Pagi-pagi gua disuguhin sarapan buah doang. Udah kayak burung betet gua.”

Saya membalas pesan itu dengan emoticon tawa. Kesengsaraan memang perlu dibagi-bagi. Pengalaman saya dengan agama Food Combining lebih mengenaskan. Pernah suatu malam sepulang kerja, saya disuguhi makan malam berupa nasi putih dan lalapan. Tanpa sambel. Sambil makan, dalam hati saya terus menerus meyakinkan diri sendiri bahwa saya manusia, “Saya manusia. Saya manusia. Bukan kambing.”

Kembali ke sepeda. Suatu sore, saya dan Deni main ke tempat Edo untuk membicarakan bola, jodoh dan banyak hal. Termasuk rencana untuk manjat Gede yang beberapa hari sebelumnya telah kami bahas di grup WA.

“Udah kita bertiga aja, Do. Akhir tahun. Gimana?” Saran saya ke tuan rumah.

“Aduh. Berat gua ninggalin anak-anak, Mi.” Edo menolak.

“Het, duda. Kagak ada yang laen alesannya.” Deni berkomentar, “Udah lu bawa aja anak lu sekalian.”

Keputusan dari pertemuan itu akhirnya kami batal hiking. Diam-diam saya bertanya ke Edo, “Jadi rencana lu ngisi liburan akhir tahun apa?”

“Gua niat mau ke Dieng. Ngegowes.”

“Serius?”

“Iya.”

“Sendiri?”

“Iya.”

Sampai akhir percakapan, dan sampai sekarang, saya nggak ngerti apakah kepala Edo masih berisi gumpalan otak. Saya menduga, karena kebanyakan mengayuh sepeda, perlahan-lahan otaknya turun dan pindah ke pedal. Dengan begitu, konon ia bisa bercakap-cakap dengan sepedanya sehabis Tahajud.

Hari ini 25 Desember 2017, saat orang-orang meributkan selamat natal, di sanalah ia bersama dirinya dan sepeda. Di negeri di atas awan.

Saya mengerti, ia bersepeda selain untuk kesehatan dan menjaga kewarasan, juga untuk merayakan kehidupan. Dengan bersepeda waktu tempuh menjadi lebih lambat dibanding menggunakan kendaraan bermotor. Dengan begitu ia bisa menikmati moment. Menikmati setiap kayuhan dan nyawa dengan penuh rasa syukur. Itu filosofi yang ia dapat dari bersepeda, selain juga kalimat Einstein, "Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving."

Ia pernah menulis di status Fb tentang kegundahan hatinya, “Hasrat besar dibalik semuanya. Semua yang tak terkatakan. Semua yang tak terelakkan. Semua yang tak pernah tuntas saya pahami. Semua yang membabi-buta tanpa ampun. Semua yang begitu bergemuruh. Semua yang tak mau reda. Semua yang terus menghantam relung-relung yang paling dalam. Yang memberi makna pada semua yang tak penting. Yang menyalakan lilin-lilin di malam-malam sunyi. Yang mencerahkan hari-hari syahdu. Yang membuat senja merona merah membara. Yang membuat saya merasa ada sekaligus tiada.”

Saya mendoakan kebaikan untuk kawan saya itu. Semoga selamat dalam perjalanan. Keep moving forward.

Selamat Natal ala Al-Quran

Ada tiga sisi dalam ajaran Islam yaitu akidah yang harus dipahami dan diyakini, syariah yakni ktentuan-ketentuan hukum yang diamalkan, dan akhlak yaitu norma-norma yang hendaknya menghiasi interaksi manusia.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan aikidah, menghindari redaksi-redaksi yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Kata “Allah”, misainya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika masyarakat masih memahaminya dalam pengertian yang keliru (Amatilah wahyu-wahyu awal yang diterima Rasul). Nabi sering menguji pemahama umat tentang Tuhan, misalnya beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama terdahulu enggan menggunakan kata “ada” atau “keberadaan Tuhan” tetapi menggunakan istilah “wujud Tuhan”.

Akidah diajarkan Nabi dengan jelas, tegas, tanpa penahapan dan banyak perincian. Ini berbeda dengan syariah. Pada mulanya shalat diwajibkan hanya dua kali sehari, dan ketika itu berbicara sambal shalat pun masih dibolehkan. Ada juga semacam kompromi dalam pelaksanaan syariah, namun tidak mungkin membicarakan masalah ini di sini. Tetapi yang jelas, segala cara ditempuh untuk memelihara kemurnian akidah.

Para pakar dari berbagai agama sepakat bahwa kerukunan umat beragama yang harus diciptakan, tidak boleh mengaburkan apalagi mengorbankan akidab. Sikap yang diduga dapat mengaburkan pun dicegahnya. Dalam kaitan inilah Islam melarang umatnya menghadiri upacara ritual keagamaan non-Muslim, seperti perayaan Natal. Karena betapapun Islam menjunjung tinggi Isa Almasih, namun pandangannya terhadap beliau berbeda dengan pandangan umat Kristiani.

Di sisi lain harus pula diakui bahwa ada ayat Al-Quran yang mengabadikan ucapan selamat Natal yang pernah diucapkan oleb Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut Al-Quran, demi kemurniaan akidah. Mungkin bagi seorang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Nah, di sinilah para pemimpin dan panutan umat dituntut agar bersikap arif dan bijaksana sehingga sikapnya tidak menimbulkan pengeruhan akidah dan kesalahpahaman kaum awam.

Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan oleh Isa a.s. dan diabadikan Al-Quran: Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak (QS 19:33). Namun, harus pula diingat bahwa sebelum mengucapkan salam tersebut ditegaskan oleh Al-Quran bahwa beliau adalah hamba Allah yang diperintahkan shalat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka (lihat QS 19: 30-32), dan ditutup ucapannya dengan berkata kepada umatnya: Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS 19:36).

Inilah Selamat Natal ala Al-Quran. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga perasaan dan logika itu tidak keliru, dan tidak pula disalahpahami. []


Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab