Waktu kecil, waktu masih MI (Madrasah Ibtidaiyah), gue tinggal di lingkungan dimana Islam dan Kristen tumbuh berdampingan. Kawan-kawan maen gue waktu itu tiga puluh persen Kristiani. Kami saling menghormati. Tiap hari Minggu gue sering ngeliat kawan-kawan pergi ke gereja yang agak jauh dari rumah mereka sambil bawa injil dengan bangga.
Mereka juga sering mendengar suara azan, ngaji atau ceramah yang mau nggak mau masuk telinga mereka dari corong-corong pengeras suara. Di sekolah, mereka juga berdoa dan membaca Qur’an. Kawan gue yang Kristiani bahkan hafal beberapa surat di Juz Amma, karena mereka sering mendengarkannya.
Setelah MI gue ngelanjutin ke pesantren. Gue nyantri enam tahun dan punya pemahaman yang militan tentag Islam. Sewaktu mondok, gue sering mengaitkan segala hal kepada Islam; Islam itu agama yang paling benar, segala sesuatu telah ada di dalam Qur’an, hukum yang harus kita gunakan adalah hukum Islam dan lain sebagainya.
Intinya gue senang dengan Islam, giat mempelajari apapun tentang Islam. Fanatik. Bahkan karena hanya Islam saja yang gue pelajari waktu itu, gue sampai menganggap semua agama selain Islam itu salah, buruk. Gue jug baca buku tentang Dialog Ketuhanan Yesus dan makin yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Sampai akhirnya gue masuk ke 'dunia' yang lebih besar, kuliah.
Sebenarnya waktu mondok gue juga banyak baca tentang Islam yang beragam. Islam Rasional-nya Harun Nasution, Islam Aktual-nya Jalaludin Rakhmat dan beberapa buku-buku yang lain. Tapi kemudian lingkungan kuliah lebih banyak lagi membuka mata gue kepada Islam yang lebih beragam; Mu’tazilah, Syiah, Murji’ah, Ahli Sunnah wal Jamaah, Wahabi dan lain-lain. Gue mengenal keragaman pendapat, keragaman golongan.
Di situ gue mulai mengerti bahwa tiap golongan punya pendapatnya masing-masing yang diklaim paling benar. Bahkan dengan dalil yang sama, bisa menghasilkkan pemahaman yang berbeda, penafsiran yang beragam. Qur’an yang satu dipahami oleh banyak kepala dengan beragam. Perdebatan antara golongan-golongan Islam itu bahkan telah terjadi semenjak zaman sahabat sampai sekarang. Masing-masing golongan sama-sama fanatik. Berbedaan itu akhirnya menyebabkan mereka saling berdebat, saling berperang, saling membunuh.
Sampai gue bertanya pada diri sendiri, “Mengapa mereka yang sama-sama Islam nggak bisa bersatu?”
“Apakah perbedaan menyebabkan satu golongan berhak membunuh golongan lain?”
“Apakah satu golongan boleh mengklaim diri mereka yang paling benar dan akan masuk surga, sementara golongan di luar mereka akan masuk neraka?”
“Bukankah hanya Allah yang berhak memasukan hamba-Nya ke neraka atau ke surga?”
“Bukankah menganggap diri sendiri benar dan yang lain salah adalah ketakaburan, dan bukankah ketakaburan itu penyebab iblis diusir dari surga?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala.
Sampai kemudian gue mulai belajar bagaimana menyikapi perbedaan. Nggak ada yang berhak ngomong, “Golongan saya paling benar dan yang lain salah.” Seharusnya kita mengikuti apa yang dikatakan Imam Syafi’i, “Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.”
Gue mulai muak dengan perdebatan serta pertengkaran yang sering terjadi karena alasan keprcayaan, karena perbedaan pendapat, karena perbedaan agama. Gue udah nggak fanatik dengan keyakinan gue lagi.
Fanatisme memang sebuah fase yang harus dilewati orang yang meyakini satu agama. Namun fanatisme akan pudar seiring makin dewasa pemikiran, ketika kita makin menghargai perbedaan, ketika kita makin menyadari bahwa keyakinan itu nggak bisa dipaksakan dan kebenaran punya perspektif yang beragam.
Kita tentu semua percaya bahwa nggak ada satupun orang yang berhak mengatakan dirinya paling benar dan menghina kepercayaan lain apalagi sampai melakukan kekerasan. Perbedaan itu adalah sunatullah. Mari kita terima dengan lapang hati. Marilah kita sebar kedamaian. Marilah sebarkan سلام, peace, damai.
Terkadang, sering gue denger dari masjid ada penceramah yang seharusnya memberikan kedamaian malah mengejek dan menjelekan agama lain, Kristen misalnya. Padahal apakah dia sadar kalo di daerah itu nggak semua orang beragama Islam. Gue membayangkan diri gue menjadi orang Kristen. Akan tersakiti banget hati ini. Atau gue ngebayangin di sebuah Negara dimana Muslim menjadi minorotas. Islam dihina di depan banyak orang. Menyakitkan.
Dulu memang gue pernah merasa kasihan waktu kawan deket gue yang beda agama selalu mengucap puji-pujian kepada tuhannya. Karena gue merasa tahu bahwa keyakinannya salah. Bahwa dia melakukan hal yang salah. Dia akan masuk neraka. Gue berharap dia masuk agama gue. Dia membaca buku-buku yang gue baca. Dia membaca Qur’an. Gue merasa kasihan karena dia nggak satu keyakinan dengan gue.
Tapi kemudian gue merasa kerdil, naif. Gue bertanya pada diri gue sendiri. Seberapa tahu gue tentang agamanya? Pernahkah gue membaca segala sesuatu tentang agamanya secara objektif, secara proporsional? Lucu sekali jika gue mengharapkan dia mengerti agama gue sementara gue nggak mau tahu tentang keyakinannya —kalaupun gue membaca buku-buku yang gue baca adalah buku tentang kesalahan agamanya. Maksud gue, bagaimana kalau dia juga berpikir seperti apa yang gue pikirkan. Dia mengharapkan gue membaca apa yang dia baca, meyakini apa yang ia yakini, masuk agama dia, dia mengasihani gue karena gue akan masuk neraka.
Egois sekali gue ini.
Apa yang salah dengan keyakinan orang lain? Kenapa kita jadi lebih sibuk dengan keyakinan orang lain daripada keyakinan kita sendiri? Mungkin benar apa yang dikatakan @gusmusgusmu, “Orang yg sibuk dengan keyakinan orang lain, boleh jadi karena kurang yakin dengan keyakinannya sendiri.”