Sabtu, 19 Oktober 2013

Sebuah Cerita untuk Kakak

Seperti biasa, bersama senja yang hampir padam, anak itu pulang. Pada trotoar, ia manghitung langkah yang tak ingin sudah. Seperti tidak ingin sampai di rumah.

Dalam kepalanya masih bergelayut teori-teori kehidupan dari para dosen, tentang hidup dan bagaimana seorang seharusnya hidup. Tentang moral dan bagaimana seharusnya orang bermoral. Juga tentang filsafat hidup yang absurd. Anak itu mencoba menghitung, sudah berapa semester ia kuliah; lima semester.

Ia jenuh dengan rutinitas ini. Ia ingin bebas seperti angin. Adakah orang yang mengerti aku, teriaknya dalam hati. Setiap kali menapaki jalan yang dilaluinya setiap sore selama beberapa tahun itu, ia merasa seperti musafir. Bukan, bukan merasa, tapi itulah keinginannya. Ia ingin berjalan pada jalan itu, pada senja itu, pada kesendirian itu selama-lamanya bak musafir —kesendirian kadang membuat orang berpikir macam-macam.

Setelah kematian ayahnya tepat dua tahun tiga belas hari yang lalu, ia selalu ingat pesannya.

“Azalea!” ujar ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit, beberapa hari sebelum kanker membunuhnya, “Kamulah satu-satunya anak yang paling dekat dengan ayah. Maukah kau memenuhi permintaan terakhir ayah. Ayah merasa umur ayah tidak akan lama lagi. Maukah kau?”

Anak itu mengangguk. Dalam keadaan seperti itu ia selalu ingin memenuhi permintaan apapun. Sambil dalam hati ia masih terus berharap, berdoa agar tuhan masih mau memanjangkan umur ayahnya.

Dengan suara yang lemah ia melanjutkan, “Jika memang tuhan mencabut nyawaku, aku ingin kamu dan kakak-kakakmu rukun. Kerena pertengkaran dengan saudara tidak ada gunanya sama sekali…”

Kata-kata itu mengiang, melengking halus dalam relung telinganya. Bersamaan dengan itu ia teringat saudara-saudara kandungnya; empat orang kakak dan satu orang adik. Dua orang kakak yang jauh umurnya telah menikah dan tinggal jauh di luar kota, adik satu-satunya masih duduk di bangku SD. Sementara dua kakak yang lain yang lebih dekat umur dengnanya tidak bisa banyak diharapkan. Dia semakin terpukul karena kakak yang paling dekat umur dengannya, saat ini jarang sekali pulang ke rumah. Memang begitu sikapnya, bahkan semenjak ayahnya masih hidup. Entah apa yang dilakukan penganguran itu di luar sana bersama teman-temannya.

Semilir angin membawa debu jalanan dan meniupkannya pada rambut si anak. Sesekali ia mengusap peluh pada dahinya dengan sapu tangan. Terkadang ia memiringkan badan berbagi jalan pada trotoar dengan pedagang kaki lima dan pejalan kaki yang berbeda arus dengannya. Suara bising kendaraan yang lalu-lalang menyadarkan dirinya akan keegoisan Jakarta.

Dalam hiruk pikuk itu ia meneruskan pikirannya sendiri.

Ia teringat ibu; wanita tua dan sakit-sakitan. Semenjak kematian sang ayah, ibunya menjadi sosok yang pemurung, tak banyak bicara. Biaya hidup dari uang pensiun suami dan anak tertua cukup untuk menghidupinya. Itu membuat ia semakin berat melakukan aktifitas.

Sekali lagi dalam renungan itu ia ingin marah. Ia ingin mencaci dan teriak dengan suara paling keras yang ia miliki. Tapi juga di tengah kemarahan itu, ia selalu merindukan masa kecilnya. Masa ketika ia masih dimanja, masih senang ditemani. Masa-masa terindah dengan ayah dan kakak-kakaknya. Ia merindukan masa-masa itu. Ia kangen kakak dengan umur paling dekat, ketika ia mengajaknya ke taman, selalu setiap hari Minggu. Tetapi itu dulu, ketika ia masih dianggap menggemaskan. Masa-masa yang tidak mungkin terulang kembali. Sekarang, ia merasa masa-masa itu telah jauh sekali berlalu.

Senja di barat hampir di telan gelap. Waktu bergulir tanpa peduli pada pikiran dan nasib orang-orang di dalamnya. Zaman berganti terus menerus, selalu memaksa orang untuk beradaptasi. Terkadang menghancurkan setiap harapan.

Pada trotoar yang panjang itu, ia masih mengulum desah. Terus berharap trotoar itu makin panjang dan panjang.

Satu kelokan lagi ia sudah sampai rumah.


Bekasi, 19 Oktober tujuh tahun yang lalu