“Education is what remains after
one has forgotten everything he learned in school.” - Albert Einstein
“If you want your children to be
intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent,
read them more fairy tales.” - Albert Einstein
Waktu kecil saya adalah anak yang
suka membangkang, sisa-sisanya mungkin masih terlihat sampai sekarang. Tentu
pembangkangan itu tidak selalu terkatakan, kebanyakan terpendam dalam hati. Di
dalam hati, saya bisa membangkang dengan bebas. Menurut saya waktu itu, orang
dewasa angkuh karena suka memaksakan kehendak.
Maka ketika punya anak, saya
sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pembangkangan mereka. Menurut saya,
punya anak itu perlu pemikiran sejauh 50 tahun ke depan. Karena memiliki anak
ketika seorang belum siap mental dan material adalah tindakan yang sadis. Saya
merasa sudah siap dengan segala hal tentang mereka, termasuk jika mereka suka
membangkang seperti bapaknya dulu. Like father like son, heh?
Pembangkangan yang masih saya
ingat sampai sekarang adalah ketika saya menolak untuk suka Matematika. Tidak
membangkang dengan kata-kata memang, tapi dengan perbuatan. Itu terjadi waktu
MI, waktu guru saya menyuruh menghapalkan perkalian sampai seratus. Ketika hari
pengujian datang, saya berpura-pura sakit dan membolos. Oh, sejak kecil
kemampuan numerik saya memang dangkal, bahkan sampai kelas 3 MI saya tidak bisa
berhitung sampai seratus.
Menurut saya pembelajaran lebih
butuh kesesuaian dan implementasi. Jadi jangan ajarkan anak membaca, tapi
kenalkan dan tumbuhkan kecintaan kepada buku-buku cerita yang perlu ia baca sendiri.
Jangan ajarkan mereka berhitung, tapi tunjukan kepada mereka pentingnya tahu
harga sebuah mainan. Dengan begitu mereka termotifasi. Mereka butuh motifasi
dan dorongan, bukan paksaan. Dengan mendekatkan kegunaan membaca dan berhitung,
mereka akan termotifasi, dan terbangkitkan kesenangan dan keinginannya. Apa
yang bisa mengalahkan keinginan anak-anak jika mereka ingin? Bahkan keinginan,
passion dan energi mereka sulit dibayangkan orang dewasa.
Anak kecil (terutama usia PAUD,
0-6 tahun) adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kesalahan dan
pengalaman. Mereka tidak pernah takut salah, selalu ingin tahu dan mencoba.
Bagi mereka segala hal yang baru itu menarik dan memancing keingintahuan.
Menyuruh anak-anak itu belajar
adalah dengan menyuruh mereka bermain. Dengan bermain mereka belajar olah raga,
storytelling, berhitung, mengenal warna, membaca, berbicara, drama, menyusun
tak tik, jujur dan lain-lain. Tapi mereka juga rentan intimidasi, tidak suka
direndahkan, benci dibanding-bandingkan, dan lain-lain. Mereka cenderung ingin
dihargai dan didengarkan. Mereka juga peniru yang mahir. Mereka mencontoh apa
yang ada di sekeliling mereka. Jadi menyuruh anak-anak salat adalah hal yang
sia-sia, jika mereka tidak menemukan contoh dan teladan. Begitu yang saya
pahami dulu, yang akhirnya mendapat justifikasi ketika saya kuliah dan mengenal
teknik-teknik pengajaran.
Sampai sekarang, saya masih tidak
suka Matematika. Saya tidak menyalahkan sekolah atau guru saya, tapi juga tidak
menyalahkan diri saya sendiri. Bahkan waktu kelas dua Aliyah, ketika saya
mendapat angka 5 untuk nilai Matematika di rapot, saya masih bersikap biasa
saja dan tidak marah kepada siapapun.
Pada dasarnya saya tidak benci
berhitung, selama saya merasa itu berguna untuk saya. Sewaktu Aliyah, saya
senang dengan mata pelajaran Falak (Astronomi) dan selalu mendapat nilai bagus.
Saya senang menghitung lamanya siang dan malam, menghitung awal pergantian
bulan juga kapan terjadi gerhana. Selama saya mendapat nilai bagus dalam
pelajaran-pelajaran yang saya suka, saya cenderung mengabaikan nilai-nilai
buruk pada belajaran yang tidak saya suka. Buat saya, itu adalah hal yang wajar
dan fair saja.
Hari ini saya kembali memikirkan
sikap itu, juga inti dari sikap belajar. Terimakasih untuk ibu-bapak yang sangat
terbuka dengan sikap saya waktu itu.