Halaman

Minggu, 18 Mei 2025

Rasa adalah Satu-Satunya Cendera Mata yang Layak Dibawa Pulang

Saya terbangun dengan kepala lebih ringan, tidak lagi serasa ditimpa batu seperti saat pertama merebahkan diri, meski punggung masih menyimpan jejak kursi Elf semalam yang keras dan sempit. Paracetamol yang saya telan sebelum tidur sudah bekerja diam-diam, menyusup ke urat-urat kepala seperti hujan ringan yang membasahi atap-atap tenda siang itu.

Suara gaduh di luar tenda memecah sisa keheningan sore. Bukan jeritan panik, lebih seperti rengekan setengah geli. Suara Anita bercampur dengan tawa Veony, disambung bentakan kecil dari Anza dan nada tinggi Chika, “Aaa! Glad! Syam! Cepetan dong, ini ulatnya nempel di tenda!”

Saya keluar dari tenda dengan tergesa, bukan karena panik, tapi karena cemas mereka akan membunuh ulat itu. Tenda-tenda kami berdiri di rumah si ulat, bukan sebaliknya. Kami tamu yang terlalu sering lupa sopan santun. Di gunung, manusialah yang jadi penyusup ke rumah hewan-hewan.

Tanpa ragu, saya ambil si ulat dengan tangan kosong. Kaki-kaki kecilnya menempel menyentuh telapak tangan seperti cubitan kecil, hampir tak terasa. Saya letakkan ia di daun panjang di dekat rerumputan agar ia punya jalan pulang. Ada aturan tidak tertulis di alam bebas ini: kill nothing but time.



Saya berdiri sejenak, mengamati sekitar tenda. Kabut turun pelan, seperti selimut besar yang mengambang dari langit, menutupi segala yang ada. Kelelahan telah berpindah bentuk jadi semacam tenang yang asing. Taman edelwis yang siang tadi ramai kini lenyap, tertelan putih pucat yang menelan batas pandang. Seolah-olah dunia sedang berubah menjadi ruang mistis yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.

Jam di pergelangan tangan menunjuk angka empat sore. Ditemani rintik kecil, saya melangkah menuju Mushola, pelan, tanpa terburu. Masih ada dua jam sebelum masuk waktu Maghrib, jadi waktu Jamak Takhir Dzuhur ke Asar masih panjang. So I have a lot of time to kill.

Pagi itu, kami tiba di gerbang TWA pukul empat dini hari. Langit di atas Papandayan terbentang cerah seperti lembar UTS yang belum diisi; belum ada jawaban yang salah, tapi ada potensi akan kacau. Angin menggigit pelan, dan kabut tipis menyelinap di antara pohon cantigi. Di antara tas carrier yang tergeletak dan bau abab mulut, saya berdiri, menghela napas. Sudah lama saya tidak memimpin rombongan. Kali ini bukan sekadar staycation atau berburu footage sunrise untuk stok reels. Ini kemping, pendakian dan ekspedisi ke gunung. Diam-diam saya menghitung kepala, 19 orang yang setengahnya mungkin baru tahu bahwa “trekking” itu bukan nama sub-unit K-Pop.



Sebagai Tim Inti, Muhid dan Ipin langsung melesat. Langkah mereka ringan, seperti belum kenal nyeri lutut. Tugas mereka jelas: jadi Tim Advance, mendirikan tenda sebelum peserta datang sambil menghindari godaan selfie di batu-batu instagramable. Tenda dan logistik diserahkan ke porter, supaya lebih efisien, lebih sedikit drama, dan karena juga kami bukan tim pengangkut dosa.

Tim dibagi tiga. Saya pemimpin Tim Satu: istri saya (jimat keberuntungan yang saya percaya bisa menjaga cuaca tetap cerah), lalu Gitt, Yash, Glad (mahasiswa senior yang bisa diandalkan), dan Safa, anak tengah yang punya perfect pitch dan label kecerdasan naturalis sejak TK, yang senang bereksperimen dengan segala hal yang baru ia temui, bahkan ia pernah memelihara cacing dalam air di gelas. Ini kali pertama Safa saya ajak naik gunung, untuk memenuhi janji saya ketika ia lulus SD. Papandayan, meski baru pertama kali saya datangi, dikenal sebagai gunung wisata landai yang cocok untuk pemula, jadi seharusnya ramah bagi anak-anak sekalipun. Maka saya bingung ketika Wi dan Yu, dua orang kawan saya, menanggapi kepergian saya dengan ledekan. Wi bertanya, “Kamu mau pesugihan?”, sementara Yu minta dibawakan batu gunung atau rekaman suara gamelan.

Tim Kedua dipimpin Syam, mahasiswa eksentrik dengan celana anti-Isbal yang masih duduk di semester paling kecil di antara rombongan, membawa carrier sebesar hutang negara. Saking besarnya, sampai-sampai ketika ditanya penumpang TransJakarta waktu berangkat, dia menjawab dengan percaya diri, “Gunung Slamet.” Papandayan terlalu jinak untuk tas sebesar itu. Syam punya empat anggota, para anak BEM: Anita, Anza, Chika, dan Veony, yang lebih mahir atur pose joget Stecu Stecu daripada atur napas.

Tim Ketiga berisi campuran antara semangat muda dan lutut renta. Aziz, yang muda dan penuh harapan, dikelilingi orang-orang yang napasnya lebih berat dari tenda Canopy Dome Dhaulagiri. Ada Bu Eny, Bu Som, Kak July, dan Bang Satibi. Dengan segala cinta dan kejujuran, saya sebut mereka: Penat —Pendaki Nafas Tua.

“Yash, lu sweeper ya. Emergency kit bawa, dan HT standby,” kata saya, sambil kasih barang dan tatapan penuh harap. Selama perjalanan ia ditemani Gladwin.

“Siap, Bang!”

“Udah bisa pake HT?” saya tanya.

“Pernah, Bang.”

“Mantap!”

Saya tidak memberikan istruksi panjang lebar soal teknis penggunaan HT, karena fokus untuk segera berangkat, agar sampai camp site sebelum siang. Ditambah lagi, bokong saya sudah nyaris meledak. Antrian toilet di parkiran waktu long weekend sudah seperti antrean bansos. Saya tancap ke Pos 4, berdoa semoga WC-nya kosong. Dan syukurlah, Tuhan mendengar doa orang kebelet. Toilet kosong. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Sedang khusyuk boker, suara HT masuk dari suara orang yang tidak saya kenal, bukan dari Yash. Tapi saya mendengar Yash menjawab.

Dari dalam bilik, saya refleks teriak, “Yash, itu bukan gua!”

Momen bonding paling absurd terjadi di tempat paling privat. Setelah itu, saya dan Yash mengkalibarasi ulang frekuensi, mencari yang lebih sepi kemudian set sandi: saya di depan menjadi Alfa, Yash paling belakang menjadi Zulu. Supaya tidak ada miskomunikasi lagi.

Di Pos Tujuh, kami ber-17 beristirahat dengan aman dan tertib. Kami menyebar ke berbagai arah: ada yang berteduh di bawah pohon, duduk di batu-batu besar, bersandar di kursi beton, sibuk mencari spot foto atau sekadar membuka perbekalan.

Syam membuka tasnya. Dari dalam kresek merah, ia mengeluarkan dua kilo salak. Dengan bangga, ia juga mengaku membawa dua buah semangka yang rencananya akan dibuka saat tiba di camping ground. Andai saja saat technical meeting tidak dilarang membawa alat dapur, mungkin Syam sudah  membawa blender dan aki mobil.

Kelakuan Syam, walaupun tidak diniatkan untuk lucu, tetap membuat tawa. Ia jadi sasaran empuk candaan. Semua menikmati momen, berfoto, dan belum ada yang mengeluh. Brigitte berdiri, menatap langit biru muda dengan sorot mata penuh visi.

“Spot ini cakep banget. Syam, tolong fotoin, ya!” katanya sambil menyerahkan ponsel, ekspresinya serius seperti sutradara muda.

“Oke, siap!” jawab Syam sigap. Jepretan pertama dilakukan sesuai arahan Brigitte.

“Ya ampun, Syam! Angle-nya bukan gitu! Naikin dikit, langitnya kurang dramatis. Ulang!” protes Brigitte. Sebagai adik angkatan, Syam menurut. Beberapa kali take, tapi Brigitte masih belum puas.

“Masih gak dapet feel-nya! Kenapa ya, giliran gue motoin orang bagus, giliran gue minta difotoin malah gagal terus!”

Komentar itu mulai menggoyahkan mental Syam. Pemilik akun @terkesan_pic itu mungkin mulai merasa bahwa bakat saja tidak cukup.

Saya ikut memanasi, “Sekali lagi, Syam! Jangan malu-maluin! Kalau masih jelek, hapus aja akun IG lu! Atau ganti nama jadi @tanpa_kesan.”

Tawa meledak. Brigitte juga tertawa, meski matanya tetap ke layar, mencari satu foto yang bisa menyelamatkan harinya. Syam tetap diam, entah merenung soal teknik memotret, atau mempertanyakan seluruh tujuan hidupnya di dunia digital.

Setelah setengah jam istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Goberhoet. Rencananya, kami akan melakukan pendakian lintas: dari Goberhoet ke Pondok Saladah untuk bermalam, lalu esok paginya turun lewat Hutan Mati kembali ke Pos 7 dan akhirnya ke basecamp.

Saya meminta Bu Eny untuk memimpin rombongan bersama para senior. Dari semua peserta, hanya dia yang pernah mendaki Gunung Papandayan, jadi saya percaya dia tahu jalur. Saya sendiri memilih berada di belakang, sambil mengawasi anak-anak BEM yang sibuk membuat konten joget The Lion Sleeps Tonight sambil berbaris. Lagi-lagi, Syam jadi bintang utama, the Alpha of the ducks.

Saat tiba di Tanjakan Omon, saya sempat heran, kok Penat tidak kelihatan? Saya percepat langkah, mulai curiga. Tapi sesampainya di Goberhoet, tempat itu juga kosong. Penat tak terlihat sama sekali.

“Hah? Ke mana mereka? Bablas ke Saladah? Ngegas amat…” pikir saya, mencoba tetap positif. Sepanjang jalan, kami memang tidak berpapasan dengan mereka.

Namun, diam-diam saya mulai gelisah. Apa mungkin mereka secepat itu?

Sekitar dua puluh menit kemudian, misteri itu mulai terjawab. Aziz muncul lebih dulu, memikul dua keril—satu di depan, satu di belakang—miliknya dan Bu Som. Wajahnya lelah, tapi pasrah, seperti baru selesai ujian skripsi tanpa tahu hasilnya.

Di belakangnya, para pendaki senior muncul satu per satu. Napas mereka tersengal, langkah limbung, tapi tetap berusaha tersenyum. Seperti baru turun dari roller coaster: capek tapi bangga karena tidak muntah. Mereka memilih jalur alternatif yang katanya lebih cepat. Tapi yang tidak mereka sadari, “lebih cepat” sering kali berarti “lebih curam”.




Akhirnya kami tiba di Pondok Saladah dengan selamat. Cuaca selama perjalanan cerah, semangat tim terjaga, dan masih on the track sesuai rencana. Semua mulai sibuk, ada yang membantu membereskan tenda yang belum semua terpasang, memasak, menggelar sleeping bag untuk tidur atau membuat vlog.

Benar apa yang dikatakan Muhid dengan nada setengah filosofis: karakter asli manusia akan keluar saat kemping. Di tengah alam terbuka, tanpa AC, tanpa sinyal apalagi GoFood, topeng-topeng sosial mulai terbuka. Satu per satu watak sejati muncul ke permukaan, seperti game Werewolf. Ada yang tampil sebagai Villager: yang tidak punya kemampuan khusus tapi rajin, cekatan, tahu diri. Ada Seer, si sok tahu, sibuk membaca “niat tersembunyi” orang lain. Ada pula Werewolf, menghindar tiap disuruh cuci nesting kotor, tapi selalu muncul pas mie goreng jadi. Dan tentu saja, ada Hunter: terlalu semangat, ingin jadi pahlawan, tapi sering mengacaukan strategi.

Di antara mereka semua, ada satu karakter yang dari awal tampak seperti Guardian, pelindung dan penjaga para mahasiswi —Lim, dosen muda yang wajahnya seperti oppa Korea versi Kemenag, dengan gaya bicara cepat yang terdengar seperti sedang memberikan ceramah TED Talk bertema “Menemukan Tuhan Lewat Excel”. Ia adalah figur karismatik, dosen favorit para mahasiswi. Tapi bahkan karakter sekuat itu, ternyata tidak kebal terhadap hutan dan gravitasi sosial.

Di awal perjalanan ia masih kalem. Tapi semuanya mulai terlihat saat sesi foto. Saat yang lain tersenyum sopan atau membentuk hati dengan jari, Lim mengambil gaya yang tak terduga. Ia menghadap ke arah berlawanan dari kamera. Lalu berpose di balik batang pohon seperti intel gagal. Atau foto memandang edelweis, dengan ekspresi SpongeBob yang sedang bicara serius dengan ubur-ubur. Para mahasiswi terkecoh, ia yang awalnya dikira kartu Guardian ternyata Joker.

Namun puncak dari semuanya adalah ketika ia kembali dari semak-semak dengan langkah penuh kemenangan. “Saya kencing di sana,” katanya, menunjuk ke rimbun ilalang seperti sedang menandai lokasi penemuan situs sejarah. Tak cukup dengan pengumuman, ia lalu menambahkan act out yang tidak diminta: kedua tangan terangkat ke atas, mata mendongak ke langit, pinggulnya bergoyang-goyang seperti boneka dashboard rusak. Tawa pun pecah. Geger. Kali ini tidak ada yang bisa menyelamatkan kehormatannya, bahkan ijazah S2 pun terasa tidak akan menolong.

Sebagai ketua alumni yang menggagas acara kemping lintas generasi ini, saya menyaksikan semuanya dengan hati campur aduk: setengah bahagia, setengah ingin pura-pura tak kenal. Tapi saya tahu, inilah inti dari semuanya. Sejak awal saya menekankan pentingnya kolaborasi—bukan hanya soal membagi tugas masak dan mendirikan tenda, tapi berbagi ruang untuk menjadi manusia seutuhnya: absurd, janggal, lucu, dan tak sempurna.

Di sinilah keberhasilan itu terasa nyata. Tak ada lagi sekat antara dosen dan mahasiswa, alumni dan junior, antara yang dulu dikenal kaku dan yang sekarang tau cara memasang gas di kompor portabel. Di sinilah kita menjadi manusia tanpa CV, tanpa reputasi, tanpa zoom filter. Hanya kita, dalam tawa, dalam betis pegal, dalam nasi yang terlalu lembek atau kerak yang menempel di panci liwet, dan dalam cerita yang akan kita ulangi berkali-kali. Dan sejujurnya, itulah capaian paling berharga.



Petualangan ini dimulai di pagi yang cerah, bahkan nyaris terlalu cerah untuk awal petualangan. Langit tak menyisakan sedikit pun keraguan. Tapi siang menumpahkan gerimis seperti keraguan kecil yang datang terlambat. Sore tiba dengan kabut yang turun perlahan, seperti tirai menutup panggung, menenggelamkan bayangan tubuh di jalur setapak. Lalu dini hari membuka langitnya, seolah ingin menebus semua —sunrise muncul seperti jawaban yang tak diminta, begitu indah sampai suara ngorok semalam lenyap dari ingatan.

Siangnya kembali terang, jalan setapak menuju basecamp terbentang cerah. Tapi di turunan dari Hutan Mati ke pos 7, jalur berubah wajah. Ratusan pendaki datang dengan semangat yang gaduh —FOMO, tek-tok, dan libur panjang menjelma hingar-bingar, ramai seperti pasar di hari-hari terakhir Ramadan.

“Zulu, Zulu! Di sini Alfa! Masuk!” suara saya memanggil Yash dari HT.

“Zulu, Zulu di sini! Alfa, masuk!” jawab Yash, cepat tanpa basa-basi.

“Posisi terakhir. Ganti.”

“Sudah di jalan aspal, lima menit lagi tiba di Mang Asep Basecamp.”

“Copy.”

Hujan turun saat tim terakhir tiba. Langit menutup perjalanan dengan caranya sendiri. Di dalam Elf, saat roda melindas jalan licin melewati plang-plang Burayot yang kuyup, musik karaoke mulai mengalun. Suara fals orang-orang yang berhasil kembali pulang memenuhi kendaraan.

Ini—kalau boleh jujur—adalah salah satu trip paling solid yang pernah saya ikuti. Tapi juga perjalanan yang menyisakan begitu banyak kekhawatiran, terutama untuk saya. Kekhawatiran itu menyelinap seperti hawa dingin —tanpa rupa, tapi menyusup sampai ke sum-sum tulang.

Saya sempat khawatir pada mereka yang belum sempat warming up sebelum trekking. Kram bisa saja datang tiba-tiba. Dalam kepala saya, satu kalimat berulang seperti mantra buruk: bagaimana jika satu orang saja tak bisa naik? Atau tak bisa turun? Satu orang saja. Maka seluruh rencana bisa berantakan. Dan tim, yang tadinya solid bisa berada dalam pertaruhan. Akan kami tinggalkan ia naik atau turun sendiri? Atau bertahan, menyesuaikan langkah, menangguhkan waktu pulang?

Saya khawatir hujan, bukan hanya air dari langit, tapi segala yang dibawanya: tanah licin, tubuh lembap, semangat yang melemah. Cuaca tak pernah benar-benar setia pada rencana.

Saya khawatir pada Bang Satibi yang jatuh di toilet rest area 88. Yash menyerahkan trekking pole-nya dengan cepat, dan saya merasa dua hal sekaligus: lega dan pasrah. Saya khawatir pada Bu Som yang memanggul tas terlalu besar untuk bahunya, langkahnya berat, napasnya tercekat tiap tanjakan. Saya khawatir pada Veo, lehernya terkilir di kursi Elf yang tanpa bantal leher. Saya khawatir pada Bu Eny yang mungkin diam-diam masih menahan sakit lutut seperti di Prau dulu. Tak berkata bukan berarti tak terasa. Saya khawatir pada Anita, sol sepatunya terkelupas, mungkin sepele, tapi cukup untuk membuat perjalanan panjang menjadi menjengkelkan. Saya khawatir pada Glad, jari tangannya luka kecil tapi sakitnya bisa menandakan ia mulai terinfeksi.

Di jalan pulang, saya khawatir saat kendaraan berhenti di rest area 88B. Lokasi parkir gelap, dan terlalu dekat dengan arus lalu lintas. Saya berdiri di pintu, memperhatikan satu persatu agar tidak ada yang terserempet mobil dari belakang. Tapi karena itu saya nyaris kehilangan Safa, ia tidak ada. Dalam hitungan detik, seluruh isi kepala saya dilanda kepanikan. Saya mencari ke segala arah. Sampai akhirnya saya menemukannya di antrean toilet, tenang, tak tahu bahwa saya hampir ambruk oleh cemas.

Saya khawatir kami tiba terlalu malam. Saya membayangkan mereka berdiri di trotoar kampus, tak ada ojek tersisa, tak ada kendaraan, malam terlalu larut untuk pulang, dan sebagian harus tidur di lantai ruang kelas.

Dan setelah semuanya, setelah jalanan, tanjakan, dan pulang yang panjang, saya sadar satu hal yang seharusnya sederhana: hidup itu seperti kemping. Yang bijak adalah yang membawa hal yang paling penting. Terlalu banyak logistik justru membuat langkah berat. Begitu pula pikiran, tak bisa menampung seluruh kemungkinan buruk, tak bisa dijejali semua kekhawatiran. Overthinking hanyalah cara lain menaruh batu di dalam ransel yang sudah berat.

Dan saya—saya khawatir terlalu banyak hal, sampai-sampai nyaris lupa pada satu hal yang tak bisa diulang: saya tak menghabiskan cukup waktu bersama istri dan anak saya. Mereka ada di sepanjang perjalanan, tapi kami hanya muncul dalam dua spot foto. Dua. Sisanya, saya terlalu sibuk menjadi kompas, menjadi peta, menjadi khawatir.

Lucunya, saya tak pernah terlalu peduli pada momen yang tidak diabadikan lewat kamera. Saya tak punya IG, Facebook atau TikTok. Bukan karena ingin tampil puritan, tapi karena saya sudah sampai di satu titik di mana saya melihat orang terlalu sibuk mengabadikan momen, sampai lupa merasakannya. Saya tidak ingin jadi salah satu dari mereka. Maka saya menulis. Bukan hanya untuk mengingat apa yang terjadi, tapi juga untuk menyimpan apa yang tak bisa ditangkap lensa.

Saya masih ingat sore itu, di Pondok Saladah, kabut turun seperti jubah. Dunia perlahan terhapus, menyisakan hanya langkah, niat, dan udara dingin yang masuk ke sela-sela sweater.

Saya biarkan diri diam di situ, tak tergoda mengambil hand warmer atau kamera. Lagipula, foto secanggih apa pun takkan pernah bisa menangkap utuh momen seperti ini. Gambar tak bisa menampilkan rasa dingin yang meremangkan bulu-bulu tipis di pipi, atau hembusan angin lembap yang menyelusup ke leher dengan pelan, atau basah gerimis yang menelusup ke sela-sela rambut kepala.

Video pun akan gagal menangkap harum samar tanah basah yang bercampur daun gugur dan sisa kabut yang belum turun. Aroma yang hanya bisa dihirup ketika sunyi sudah cukup dalam, ketika suara alam mendominasi lanskap.

Apa yang saya lihat, dengar, dan hirup saat itu tak satu pun bisa dipindahkan ke layar. Dan mungkin memang seharusnya begitu. Beberapa momen hanya hadir untuk ditinggali, bukan dimiliki. Karena mungkin, pada akhirnya, rasa adalah satu-satunya cendera mata yang layak dibawa pulang. Bukan pesugihan, batu, apalagi suara gamelan.



Kamis, 15 Mei 2025

Membaca & Menulis adalah Thoriqoh Guru Kita *

Assalamu’alaikum, generasi swipe up!

Perkenalkan, saya abang kelas kalian: Nailal Fahmi. Biasa dipanggil Nailal, atau Fahmi, atau kadang, “Bang, numpang WiFi, Bang!”.

Lulusan Annida tahun 2003, waktu gak ada satupun siswa yang punya hape. Dan kalau kalian pernah liat foto zaman dulu dan mikir, “Kok orang dulu bisa hidup tanpa kamera depan ya?”

Ya, kita emang sekuat itu.

Beberapa waktu lalu, Bang Fachri, Operator Sekolah multi talenta yang bisa ngerjain segala hal itu, tiba-tiba ngontak saya buat ngisi materi di acara Hari Buku Nasional. Saya seneng banget! Tapi apalah daya, abang kalian ini lagi kayak notifikasi yang gak bisa dibuka—ada, tapi gak bisa hadir. Jadi izinkan saya titipkan pikiran dalam bentuk tulisan ini. Baca pelan-pelan ya, ini bukan caption IG, bukan juga twitwar.

Meski abang gak bisa hadir secara fisik, semoga materi ini bisa bikin adik-adik semua makin cinta baca buku. Soalnya, Kiyai Fakhrudin pernah bilang, ”Thoriqoh-nya Syaikhuna, Kiyai Jirin, itu ya ngaji dan nulis.

Artinya, buat anak-anak Annida, membaca dan menulis bukan ritual akademik, tapi spiritual. Ini cara kita nyambung ke guru, bukan sekadar ngejar nilai. Ini jalan sunyi untuk meng-upgrade karakter dan spiritualitas.

Materi yang abang tulis ini adalah satu bentuk kesadaran bahwa Annida sangat peduli terhadap literasi siswa. Meningkatkan pemahaman terhadap literasi, terhadap buku bacaan, juga terhadap bahasa.

Literasi itu bukan cuma tentang bisa ngeja, tapi bisa menangkap makna. Bisa bedain mana opini, mana fakta. Mana kata-kata, mana manipulasi. Bisa nangkep maksud, bukan cuma makna literal.

Banyak orang bisa baca, tapi belum tentu bisa paham. Bisa ngelihat huruf, tapi otaknya loading terus. Kayak liat chat gebetan yang isinya “hehe”, dan langsung overthinking tiga hari tiga malam.

Jadi, apa sih tujuan abang nulis materi ini?

Simple aja, abang pengen kalian megang dua skill penting yang bakal bikin kalian gak kaget pas ketemu soal-soal yang mengetes kemampuan literasi atau kemampuan kognitif.
  1. Analogi (Qiyas)
  2. Penalaran Logis (Mantiq)
Kenapa Qiyas dan Mantiq, Bang?

Karena Qiyas ngajarin kita nyambungin konsep, cara pikir perbandingan. Dan Mantiq ngajarin kita mikir lurus, bikin kesimpulan yang sahih. Dua-duanya ibarat alat survival di hutan literasi digital.

Kenapa cuma dua ini? 

Karena abang gak akan sempat ngajarin semuanya, dan otak kalian udah penuh sama tugas, reels, dan drama kehidupan remaja. Tapi dua hal ini, percaya deh, punya akar kuat banget sama dunia kalian sebagai murid MTs Annida.

Kita tuh gak asing sama Qiyas. Itu diajari waktu ngaji Ushul Fiqh. Itu lho, cara nyari hukum lewat perbandingan. Qiyas itu bukan cuma cara nyari hukum. Itu cara berpikir. Cara nyambungin satu hal ke hal lain. Kayak pas kita belajar: “Khamr haram karena memabukkan. Maka segala yang memabukkan itu haram.”

Dan di soal literasi, analogi itu ya... Qiyas versi non-fikih. Kita nyambungin konsep satu ke yang lain, bukan buat ngeluarin hukum, tapi buat nangkep makna. Nah, soal analogi di soal bacaan itu kayak Qiyas versi sekuler. Tapi tetap pakai otak dan logika yang sama. Bedanya, bukan buat nyari halal-haram, tapi nyari jawaban A, B, C, atau D. Gak ada kitab, tapi tetap butuh ijtihad.

Lalu, Mantiq.

Ah, si Mantiq ini kadang dipandang sebelah mata. Padahal tanpa dia, banyak yang nyasar dalam berpikir. Abang inget dulu, waktu belajar Qawaid Mantiqiyah, ada satu pernyataan yang bikin kita garuk-garuk kepala: “Ta’arudh al-Muqaddimat wa fasad al-Tarakkub.”, bahwa cacat logis dalam suatu argumen dikarenakan adanya kontradiksi antara premis-premisnya, bisa menyebabkan argumen tersebut tidak sah atau tidak valid.

Mantiq atau Ilmu Logika yang kadang dianggap “berat” itu sebenernya alat yang sangat berguna. Alat buat mikir jernih. Biar gak gampang kecele. Biar otak kalian gak kayak motor mogok: banyak suara, tapi gak jalan.

Jadi simpelnya, kenapa dua ini yang abang pilih adalah karena: Qiyas ngajarin kalian berpikir dengan pola. Sementara Mantiq ngajarin kalian berpikir dengan logika.

Waktunya terbatas, otak kalian mahal, jadi abang kasih dua yang paling esensial. Yang bisa dipake di kelas, di ujian, bahkan di kehidupan.

Supaya kalian…
  • Gak bengong waktu lihat soal bacaan di ujian
  • Bisa bedain antara “bisa baca” dan “bisa ngerti”
  • Naik level dari sekadar “ngebaca kata” ke “nangkep makna”
  • Biar kemampuan literasi kita meningkat dan Bang Fachri bisa tidur lebih nyenyak

Jadi ayo kita mulai...


Skill Pertama: Analogi (Qiyas)

Apa itu Analogi/Qiyas?

Analogi itu seni menemukan hubungan. Jadi Qiyas atau analogy itu bukan cuma buat fiqih. Ini cara kerja otak yang nyambungin pola. Kayak sendok dan makanan, pena dan tulisan. Alat dan fungsi.

Contoh: Ikan : Air = Manusia : …?

Jawaban: Udara

Karena manusia butuh udara seperti ikan butuh air. Simple. Tapi logis.

Nah, di soal analogi, kita disuruh cari dua kata yang hubungannya mirip dengan dua kata lainnya. Intinya: “Kalau A berhubungan dengan B, maka C berhubungan dengan apa?”

Tips Biar Gak Salah:
  • Lihat dua kata pertama. Apa hubungannya?
  • Buat kalimat. Misal: “Pisau digunakan untuk ___.”
  • Cocokin hubungan itu dengan pilihan jawaban.
  • Singkirin jawaban yang ngaco. Jangan sampai kejebak pilihan jebakan betmen!
Contoh Soal (yang kadang bikin puyeng):

Gigi : Ompong = Pakaian : …
A. Telanjang
B. Celana
C. Badan
D. Penjahit
E. Malu

✅ Jawaban: A

Kalau gak punya gigi = ompong.
Kalau gak punya pakaian = telanjang (jangan dicoba di jalan pulang sekolah, ya!)

Retina : Mata = Pori-pori : …
A. Lubang
B. Bulu
C. Udara
D. Keringat
E. Kulit

✅ Jawaban: E

Retina itu bagian dari mata.
Pori-pori itu bagian dari kulit.

Skill Kedua: Penalaran Logis (Logika/Mantiq)

Apa Itu Penalaran Logis?


Ini kemampuan buat narik kesimpulan dari pernyataan, atau kemampuan buat narik kesimpulan sah (Natijah/Conclusion) dari dua premis (Mukodimah Sugro dan Mukodimah Kubro).

Ini bukan soal perasaan. Ini soal logika! Kalian dikasih beberapa pernyataan. Lalu disuruh narik kesimpulan yang paling masuk akal.

Contoh:

Semua siswa suka bakso.
Si Zaid adalah siswa.


Kesimpulan?

Si Zaid suka bakso.

Gak perlu feeling. Gak perlu tebak-tebakan. Ini logika, bukan horoskop.

Contoh lagi:

Semua kucing suka ikan.
Si Buntel adalah kucing.


Kesimpulan logis?

Si Buntel suka ikan.

Kalau kamu jawab: “Si Buntel suka rebahan sambil maen hape sampe jam 2 pagi” itu bukan logika, itu pengalaman pribadi 😅

Tips Mengerjakan:
  • Pahami isi tiap pernyataan. Baca pernyataan dengan hati yang tenang
  • Jangan ngarang! Semua kesimpulan harus sesuai isi teks. Hanya gunakan informasi yang diberikan
  • Hati-hati sama jawaban yang “hampir benar tapi bukan.”
  • Jangan bawa perasaan, bawa logika
  • Hindari asumsi “kayaknya” atau “feeling gue sih…”

Contoh Soal:


Tidak ada aktivis kampus yang lulus cepat.
Beberapa mahasiswi bukanlah aktivis kampus.


Berdasarkan dua pernyataan di atas, kesimpulan yang paling benar adalah …

A. Beberapa aktivis kampus tidak bisa lulus cepat.
B. Beberapa mahasiswi bisa lulus cepat.
C. Tidak ada mahasiswi yang lulus cepat.
D. Beberapa aktivis kampus bukan mahasiswi.
E. Tidak ada mahasiswi aktivis kampus yang lulus cepat.

Pembahasan Pilihan Jawaban:

A. Salah.
Ini hanya mengulang sebagian dari pernyataan pertama, tapi nggak menghubungkan dengan pernyataan kedua. Soal minta kita menghubungkan dua informasi.

B. Salah.
Ini kesimpulan di luar konteks. Pernyataan tadi bilang beberapa mahasiswi bukan aktivis, tapi nggak ada info apa-apa soal apakah mereka lulus cepat atau tidak.

C. Salah.
Lagi-lagi, ini asumsi sendiri, karena soal tidak menyebut semua mahasiswi dan tidak menyebut soal kelulusan mereka.

D. Salah.
Ini juga nggak ada hubungan langsung dari kedua pernyataan. Kita nggak tahu dari mana asal info ini.

E. Benar!
Kita tahu bahwa:
  • Semua aktivis kampus tidak lulus cepat (pernyataan pertama).
  • Beberapa mahasiswi bukan aktivis kampus → berarti ada sisanya yang aktivis kampus.
  • Nah, yang jadi aktivis kampus (mahasiswi atau mahasiswa), otomatis tidak lulus cepat.
Jadi, benar: tidak ada mahasiswi aktivis kampus yang lulus cepat.

Kesimpulan:

Untuk soal logika kayak gini, kita harus nyambungin dua pernyataan, kayak kabel charger. Kalau cuma satu ujung yang dicolok tapi yang satu nggak, HP-nya gak akan ngisi. 😆


Pesan Terakhir dari Abang
  • Baca dan nulis bukan cuma buat dapet nilai. Ini buat paham hidup. Buat ngerti dunia. Buat bisa nulis caption yang gak cringe.
  • Membaca adalah cara kita ngobrol sama orang yang udah wafat. Sementara menulis adalah cara kita bicara pada generasi yang belum lahir.
  • Kalau kalian baca buku, kalian minum dari mata air ilmu. Kalau kalian nulis, kalian ninggalin jejak.
  • Membaca itu ibadah, bagian dari thoriqoh Kiyai kita. Kayak Syaikhuna, yang tulisan-tulisannya masih jadi pelita sampai sekarang.

Jadi yuk:

  • Mulai dari 15 menit baca per hari
  • Gak harus buku berat, mulai dari bacaan ringan: komik, artikel, bahkan thread TikTok yang isinya beneran ilmu
  • Sering diskusiin isi bacaan bareng temen
  • Tulis apa yang kalian pahami, bukan apa yang kalian hafal

Kalau kalian rajin baca dan nulis, abang doain:

  • Otak makin encer
  • Ujian makin lancar
  • Hidup makin mudah
  • Bang Fachri bisa mikirin kerjaan lain yang masih banyak

Kalau kalian suka materi ini, jangan lupa baca lagi. Kalau gak suka, baca dua kali. Mungkin otaknya belum nyambung di percobaan pertama.






Materi ini ditulis untuk memperingati Hari Buku Nasional, 15 Mei 2025 di MTs Annida Al Islamy Bekasi

Rabu, 26 Maret 2025

Pada Akhirnya, Kehilangan Bukan Tentang Menghapus atau Menggantikan

Saya baru saja mengunggah status foto senja ketika notifikasi itu muncul. Langit dalam gambar itu seperti terbakar perlahan—jingga dan ungu saling beradu sebelum akhirnya memudar menjadi gelap. Indah seperti jatuh cinta, tapi juga cepat berlalu meninggalkan rasa kehilangan.

Notifikasi itu berasal dari komentar Cey, gadis gempal yang selalu gelisah: "Bang Nelal, bikin novel lagi dongggg. Sekarang temanya cinta tapi nggak happy ending wkwk."

Jari saya berhenti di atas layar. Mata saya membaca ulang kata-kata itu, mencari sesuatu di balik candanya. Dalam pikiran saya: ada yang tidak beres, ia seperti berusaha menutupi sesuatu dengan canda.

Menulis tentang cinta yang berakhir tidak bahagia?

Saya mengetik balasan. "U abis putus, Cey?"

Tidak ada respons seketika. Tanda baca tiga titik muncul, menghilang, muncul lagi—seperti seseorang yang ragu-ragu sebelum berbicara.

Akhirnya:

"Iya, lagi huft."

Saya menghela napas pelan. Huft. Sebuah kata yang mewakili banyak hal.

"Serius?" saya meyakinkan.

"Seriussss."

Saya mencoba menelepon. Tidak diangkat. Lalu pesannya masuk lagi: "Batreku 6 persen, lagi hemat-hemat."

Sebuah screenshot menyusul, ikon persentase baterai dan wallpaper karakter chibi berambut hitam diikat, dengan beberapa helai mencuat. Matanya terpejam, mulut mengerucut, ekspresi cemberut dan kesal namun tetap imut. Gabungan antara humor dan ironi.

"U lagi di mana sekarang? Coba cerita dulu."

Jeda panjang. Saya bisa membayangkan Cey membaca pesan itu, menimbang apakah harus membiarkan saya masuk ke dalam ceritanya atau tetap menjaga jarak.

Akhirnya:

"Well, I don't really share such things huft. It's just (again) my unfortunate love story. Gitu deh, udah males ceritainnya aku wkwkwk."

Saya menghela napas.

Manusia punya kebiasaan aneh: menyederhanakan luka mereka sendiri.

"It's okay. It takes time. And maybe one day you just wake up, and it doesn’t feel as heavy anymore."

Kali ini balasannya cepat.

"Didn't hurt as much as I thought, actually. Sedih di hari H aja. Karena unfortunately, I didn't have time and chance buat mengasihani diri. I shared a bed with mom that day, the day after I had classes to teach. Gabisa sedih yang gimana-gimana since I gamau mata I ilang karena sembap wkwk."

Saya membaca ulang pesannya. Ada sesuatu yang janggal. Kesedihan itu tidak benar-benar hilang, hanya ditunda. Kehilangan memang kadang membebani dada dengan kepedihan yang nyaris tak tertanggungkan, kadang ia hanya menyisakan keheningan yang perlahan berubah menjadi kebiasaan.

"Udah berapa hari sekarang?"

"Belum seminggu wkwk. Kamis malam."

Saya tersenyum kecil, meskipun tahu Cey mungkin tidak benar-benar tertawa.

"Iya, the world won’t stop for your sadness, and it never will haha. But if you keep running without facing it, one day it’ll hit harder when you least expect it."

Tidak ada balasan langsung. Saya bisa membayangkan Cey mendesah, membiarkan kata-kata saya tenggelam dalam pikirannya.

Lalu akhirnya:

"I know. Tapi yaudah begini dulu aja wkwkwk."

Saya berpikir sebentar kemudian membalas, "Plan: nggak ada plan. Eksekusi: yaudah begini dulu aja wkwk."

Tawa digital muncul di layar. Saya menghela napas. Bukan karena lega, tapi karena tahu ada sesuatu yang masih tersisa di sana, sesuatu yang tak bisa dihapus dengan candaan.

"Hope things fall into place for you, even if it’s ‘begini dulu aja’ for now."

Cey membalas lebih cepat kali ini.

"Ahahaha udah cukup menginspirasi belum buat bikin novel?"

Saya terkekeh.

"Bisa aja sih. Cuma akan jadi cerita yang paling sulit gw tulis. Karena nyeritain orang yang nggak mau cerita 🤣🤣."

Tawa panjang memenuhi layar. Sejenak, terasa seperti percakapan biasa, seperti tidak ada apa-apa yang berubah.

Lalu, seperti sebuah Kesimpulan, Cey menulis, "I mean, everything's fine. Was fine. Lalu semua berubah semenjak negara api menyerang."

Saya kembali menatap kata-katanya.

Semua berubah tiba-tiba? Tidak ada yang berubah tiba-tiba, Cey. Kadang kita hanya tidak memperhatikan retakan-retakan kecil sampai akhirnya sesuatu runtuh. Atau kita menyalahkan sesuatu yang datang dari luar tanpa melihat ke dalam. Apakah semua baik-baik saja, lalu mendadak hancur? Atau ia telah lama rapuh, hanya menunggu waktu untuk jatuh?

Tapi berpikir seperti itu mungkin melelahkan, sehingga humor bisa jadi lebih mudah dan menjadi benteng terakhir orang-orang yang menolak terlihat rapuh.

Lama setelah percakapan itu berlalu, setelah layar ponsel kembali gelap, saya masih berpikir tentang kata-kata terakhirnya.

"U udah cerita ke Mimi?" tanya saya akhirnya, mengetik dalam keheningan yang terlalu panjang.

"Udah. Tapi aku juga nggak cerita yang detilnya. Cuma bilang udahan."

Ada jeda sebelum pesan berikutnya muncul.

"Jumat pagi pas lagi siap-siap tiba-tiba Mimi nanya hari Minggu aku dan cowo ini pelayanan nggak. Aku bilang engga. Gitu kan, terus Mimi bilang Mimi mau panggil. Terus aku kayak Aigoooo. Yaudah akhirnya aku bilang nggak usah, Mi. Udahan. Kapan? Semalem. Terus kurang lebihnya aku ceritain tapi nggak yang secerita itu juga. Terus Mimi, as expected, mau nanya-nanya terus kan. Tapi akunya udah males ngomongin orang itu lagi. Jadi aku bilang udah, Mi, I nggak mau bahas cowo itu lagi. Fin. Gitu akhir ceritanya."

Ibu memang sering bisa membaca apa yang terjadi pada anak-anaknya.

Saya membaca pesannya perlahan. Ketika seseorang memilih kata "Fin," itu berarti mereka sedang meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya benar-benar selesai.

Lalu, seolah ada sesuatu yang baru saja diputuskan di dalam dirinya, Cey mengetik lagi: "Yang sekarang sepertinya aku lebih tegar karena banyak yang konfirmasi buat udahan saja. Sampai stranger. Like totally stranger."

Saya mengangkat alis kemudian bertanya ragu, "Jadi yakin nggak akan balikan? Udah berapa tahun pacaran?"

Ada jeda sebentar sebelum jawabannya muncul.

"Pretty sure wkwk. Like forever. Been with him like for 29 years."

Saya mendengus kecil. Orang-orang suka melebih-lebihkan waktu, seolah angka yang lebih besar bisa membuat segalanya terasa lebih dramatis.

Padahal di tengah waktu yang terus bergerak, ada kemungkinan di suatu titik, entah direncanakan atau tidak, langkah dua orang yang terpisah bisa saja bertaut kembali. Pertemuan itu mungkin canggung di awal, dipenuhi pertanyaan yang enggan terucap. Atau justru terlalu akrab, seakan keakraban yang dulu tak pernah benar-benar hilang.

Namun pertemuan kembali bukan selalu membawa jawaban, sebagaimana perpisahan bukan selalu tentang kehilangan. Cepat atau lambat, waktu akan memberi bentuk baru pada yang tersisa. Bisa jadi luka yang sudah mengering, atau kenangan yang tak ingin diulang.

"U mau pindah gereja?"

"Wish I could. Tapi kayaknya susah."

Saya berpikir sejenak sebelum mengetik.

"Iya sih. Pindah agama lebih gampang, Cey. Nanti gw ajarin bahasa Arab 🤣."

Balasan cepat.

Tawa.

Dan sejenak, semuanya terasa ringan.

Pada akhirnya, kehilangan bukan tentang menghapus atau menggantikan. Ia tentang refleksi dan mengambil pelajaran hidup dari katastrofe yang menyertainya. Ia tentang memahami diri sendiri, memahami orang lain dan menjadi lebih bijaksana. Untuk mencapainya, kita hanya perlu menunggu, bergerak, dan menerima bahwa segala sesuatu punya musimnya sendiri.

Saya menyudahi percakapan itu walaupun tahu, di balik layar, sesuatu masih tersisa. Sesuatu yang tidak bisa dihapus dengan candaan. Sesuatu yang akan tetap ada, bahkan setelah baterai ponsel mati.







Senin, 24 Februari 2025

Lelaki yang Kalah oleh Sesuatu yang Tak Pernah Ia Tahu Bagaimana Menghadapinya

Suara Hana di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan ombak yang mendesak keluar tapi dipaksa surut. "Hana boleh main ke rumah?" tanyanya dengan nada yang hati-hati. Ada sesuatu di balik suaranya, beban yang mungkin tidak bisa ia bagi lewat telepon.

Saya menyambutnya di depan rumah dengan riang. Ia berusaha meniru keriangan itu, tapi gagal menyembunyikan bayangan gelap di wajahnya. Mata Hana berbicara lain—ada mendung yang menggantung.

"Ayo masuk!" kata saya, membuka gerbang selebar mungkin.

Di dalam, ia duduk dengan punggung yang tertunduk, tangan menggenggam lutut seakan takut terhempas oleh kenyataan yang semakin tidak ia kuasai. Lima belas menit berlalu, suaranya mulai gemetar.

Lalu tangis itu pecah.

"Seto menceraikan Hana. Pake... surat yang dikirim gosend."

Saya terdiam. Ia bercerita tentang talak tiga. Dalam kepala saya; itu bukan keputusan yang bisa diralat dengan permintaan maaf. Itu adalah vonis yang tidak menyisakan ruang untuk penyesalan.

Pagi itu, Seto pergi bekerja seperti biasa, Hana bercerita. Namun, sore harinya bukan dia yang pulang, melainkan sepucuk surat. Keputusan yang datang tanpa peringatan, menyisakan keheningan yang lebih tajam dari kemarahan.

Sejak malam itu, Hana mencari ke mana-mana. Kantor, rumah orang tua Seto, teman-teman yang mungkin tahu sesuatu. Setiap telepon tak berjawab, setiap pintu yang diketuk hanya membawa kepastian bahwa Seto menghilang.

Lima malam berlalu sebelum akhirnya Seto kembali. Tapi ia tidak datang sendiri. Bersamanya, keluarga dan Pak RT menemani sebagai saksi. Di tangannya, surat cerai dengan tanda tangannya di atas materai—tidak lagi sekadar ancaman, melainkan kepastian.

Malam itu, Hana berulang kali meminta maaf, memohon dengan suara yang pecah di antara isakan. Tangannya mencengkeram lengan Seto, seolah masih ada cara untuk menahan yang sudah lepas. Tapi Seto tak bergeming. Tak ada suara keras amarah, tak ada dendam—hanya keputusan yang tak bisa diubah.

Di depan semua orang yang hadir, Seto meminta maaf pada keluarga Hana. Ia bilang bahwa dalam delapan tahun hubungan rumah tangga mereka, ia merasa telah gagal menjadi imam yang baik, ia merasa gagal mendidik Hana.

Hana terus memeluknya, berharap kehangatan bisa mengubah segalanya. Namun, benang layang-layang yang sedang terbang tinggi sudah digunting, ada keputusan yang, sekali diucapkan, tak bisa ada jalan kembali.

Saya dan istri mengenal Seto cukup baik. Kami pernah berbagi kantor, berbagi cerita tentang hidup. Saya tahu dia orang yang logis, tapi logika manusia sering tersandung oleh kelemahan yang tak pernah kita akui.

Hana mulai bercerita lebih jauh—tentang delapan tahun tanpa anak, mertua yang tak pernah puas, pertengkaran yang kian menumpuk menjadi bom waktu. Semua luka kecil itu akhirnya meledak bersama surat yang ia pegang sore itu.

Saya dan istri hanya bisa mendengarkan. Menjadi saksi bagi rasa sakit yang tak bisa kami perbaiki, atau mungkin juga ia perbaiki.

"Jadi, Hana maunya apa?" tanya saya pelan.

"Hana mau balikan," katanya, suaranya masih bergetar. "Hana akan berubah. Hana akan minta maaf."

Saya menarik napas panjang, berusaha memilih kata yang tidak menyayat harapannya. "Talak tiga itu... gak main-main, Han. Kalau rujuk, syaratnya rumit. Kadang yang paling baik itu biarin waktu yang nyembuhin."

Hana menunduk, menyadari bahwa kenyataan tak semudah harapan. Tangisnya sudah mereda, tapi matanya tetap basah oleh kerinduan yang tidak tahu ke mana harus berlabuh.

"Seto udah tiga bulan gak pulang," bisiknya pelan. "Hana kangen..." Tangis itu kembali pecah, lebih lirih.

"Gak papa nangis," kata saya menenangkan. "Gak papa kangen. Nangis dan kangen aja sepuasnya. Tapi jangan nyerah, apalagi membenci diri sendiri. Hidup harus terus berjalan."

Kata-kata itu mungkin terasa hampa di telinganya, karena saya tahu tidak ada yang bisa benar-benar menenangkan seseorang yang hatinya hancur.

Setelah benar-benar tenang, ia kembali bertanya, "Kok cowok bisa gitu ya?"

Saya ingin tertawa, bukan karena itu lucu, tapi karena seringnya saya mendengar pertanyaan itu. Seolah semua laki-laki punya cara yang sama untuk mengatasi masalah —pergi tiba-tiba, keputusan yang tidak bisa dibantah, ketidakpedulian yang menyamar sebagai pengakuan kegagalan.

Tapi saya juga tahu, ini bukan cuma tentang Seto. Ini tentang luka yang lebih dalam, luka yang tak pernah benar-benar punya satu wajah.

Seto mungkin bukan lelaki jahat. Ia hanya lelaki yang kalah oleh sesuatu yang tak pernah ia tahu bagaimana menghadapinya: kegagalan. Dan saya tahu, tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang lelaki selain perasaan bahwa ia telah gagal—gagal sebagai suami, gagal memenuhi harapan keluarga, gagal menjadi sesuatu yang ia janjikan dulu.

Saya menarik napas. "Han, bukan cuma cowok yang bisa gitu. Semua manusia bisa gitu."

Ia diam, menunggu penjelasan lebih panjang.

"Kita semua punya cara bertahan masing-masing. Ada yang bertahan dengan menghadapi, ada yang bertahan dengan lari. Ada yang memilih diam karena takut menyakiti, tapi justru akhirnya lebih menyakiti."

Hana diam, matanya kosong tapi saya tahu pikirannya penuh. Mungkin mencoba memahami. Mungkin ingin membantah.

Sejujurnya, saya tidak tahu mana yang lebih menyakitkan: ditinggalkan karena seseorang tidak lagi mencintai kita, atau ditinggalkan karena seseorang terlalu pengecut untuk mengakui bahwa ia tidak bisa memperjuangkan kita?

Dalam kesadaran yang mulai tumbuh, Hana bertanya realistis, "Jadi kalau ada temen-temen yang tanya, Hana jawab gimana?

Saya tahu ini bukan sekadar soal menjawab pertanyaan orang lain. Ini tentang bagaimana ia menghadapi dunia yang kini melihatnya berbeda. Tentang bagaimana menerima kenyataan bahwa, suka atau tidak, akan selalu ada tatapan iba, bisik-bisik di belakang, atau mungkin yang lebih sering; penghakiman.

Ia takut akan label yang kini melekat padanya. Janda. Kata yang bagi banyak orang masih terdengar seperti cap, bukan sekadar status.

"Sebaiknya jujur," kata saya akhirnya. "Tapi gak harus cerita semuanya. Cerita ke yang Hana percaya aja."

Ia mengangguk, meski masih tampak ragu. Seakan sedang menguji apakah kata-kata saya cukup untuk meredakan beban yang menggumpal di dadanya.

Saya tidak tahu apakah ada cara benar untuk merespons kehilangan seperti ini. Tapi mungkin, seperti luka lain dalam hidup, ia hanya perlu waktu—waktu untuk menerima, waktu untuk menyusun ulang dirinya, waktu untuk menyadari bahwa 'gagal' bukan akhir dari segalanya.

Di luar, angin bertiup pelan, membawa suara azan magrib yang mengalun bersahutan. Dunia tetap berjalan, seperti tak ada yang terjadi. Bumi tetap berputar, matahari tetap terbit dan tenggelam. Sementara di sini, di dalam rumah kecil ini, ada hati yang remuk tanpa ada yang tahu.

Satu hal yang saya tahu adalah bahwa setiap orang membawa luka masing-masing yang kadang tidak terlihat: perceraian, kehilangan anak, dipecat dari pekerjaan, atau hidup tanpa pasangan—semua adalah medan perang batin yang tak pernah bisa dibandingkan. Dari luar, orang-orang tampak baik-baik saja, tersenyum dan bercanda. Tapi di dalam, mereka berperang melawan trauma.

Sampai akhirnya setiap manusia sadar bahwa segala cobaan adalah pengingat betapa kecil dan rapuhnya mereka. Bahwa tidak ada yang benar-benar kita miliki, karena pada akhirnya semua akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kamis, 06 Februari 2025

Kembang Api Kebahagiaan

"Berapa duit habis buat petasan, ya?" gumam beberapa jamaah, pandangan mereka terpaku ke langit yang terus bergemuruh. Kembang api mekar di udara, memercikkan cahaya yang riuh, menyulap malam di atas masjid menjadi panggung meriah selepas salawat kepada Rasulullah dibacakan. Ledakan terakhir seolah menyatu dengan suara hujan yang turun perlahan, membasuh kubah masjid, lalu mengalir dari atap ke tanah yang semula kering.

Kiai mengenang kejadian di masjid beberapa saat lalu. Njay, yang tahu betul situasinya, berkomentar pelan, "Saya jadi nggak enak, Kiai. Soalnya makanan buat acara ini cuma sekadarnya."

Kiai tersenyum lembut, seolah mengendapkan setiap kata sebelum mengucapkannya. "Kesenangan orang beda-beda," ujar Kiai akhirnya, suaranya pelan tapi penuh makna. "Ada yang senang nyumbang makanan, ada yang senang nyumbang petasan. Petasan itu bukti senangnya dia sama acara ini. Itu buroqnya dia."

Kami yang mendengar jawaban itu terdiam, berusaha menangkap maksud Kiai. Buroq—kendaraan cahaya dalam kisah Isra Miraj, membawa Rasulullah melintasi langit dalam perjalanan spiritual yang agung. Kini metafora itu menjelma dalam kembang api yang tadi menyala, menjadi simbol kegembiraan manusia yang mungkin tampak sederhana, tapi punya makna dalam cara masing-masing.

Hujan semakin deras, namun dalam hati kami ada sesuatu yang menghangat—sebuah pemahaman baru bahwa setiap bentuk syukur punya caranya sendiri untuk sampai ke langit.

Allahumma shalli 'ala Muhammad



Minggu, 05 Januari 2025

Mengapa Pendidik Perlu Menulis?

Menjawab pertanyaan mengapa pendidik perlu menulis sebenarnya sangat mudah. Bahkan, jika pertanyaan ini diajukan kepada profesi lain, jawabannya juga sama mudahnya. Namun, saya ingin menunda jawaban tersebut hingga akhir tulisan. Sebab, pada awal ini, saya lebih tertarik membahas alasan-alasan yang sering saya dengar mengapa banyak pendidik tidak menulis.

Salah satu keluhan yang kerap muncul di kelas menulis adalah: “Mengapa saya tidak punya ide untuk menulis?” Sejujurnya, saya sulit menjawab pertanyaan ini karena menurut saya, pertanyaan tersebut tidak logis. Setiap orang yang mampu berpikir pasti memiliki ide, apalagi seorang pendidik yang setiap hari menghadapi berbagai situasi di kelas. Jika ide dipahami sebagai gagasan, keresahan, atau sesuatu yang ingin dibagikan, maka sulit membayangkan seorang pendidik tidak memilikinya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah: “Bagaimana cara memilih ide yang tepat untuk dituliskan?”

Cara yang sering saya lakukan adalah brainstorming. Tulis semua ide yang muncul di kepala tanpa menyaringnya. Proses ini bisa dilakukan sendiri, bersama rekan, atau bahkan dengan bantuan AI. Jangan takut jika ide tersebut terasa terlalu besar, terlalu kecil, mentah, atau belum sempurna. Kuncinya adalah membebaskan diri dari tekanan untuk menghasilkan tulisan yang sempurna sejak awal. Setelah itu, pilihlah ide yang paling menarik atau paling relevan dengan kebutuhan. Fokus pada topik yang dekat dengan pengalaman atau minat pribadi. Menulis dari hati tentang sesuatu yang kita kuasai akan membuat prosesnya lebih menyenangkan.

Sebaliknya, beberapa pendidik mengeluhkan, “Saya punya banyak ide, tapi kenapa sulit untuk menuangkan ke dalam tulisan?” Solusinya sederhana: menulis buruklah! Bukan, ini bukan sinisme. Menulis buruk berarti membebaskan diri dari rasa takut salah. Kesulitan menuangkan ide dalam tulisan sering terjadi karena ketakutan kita akan menulis buruk, typo, tidak terstruktur dan lain-lain. Jangan takut menulis buruk, karena kita masih punya waktu untuk memoles tulisan itu menjadi lebih baik. Jangan takut menulis buruk, karena penulis yang tidak pernah menulis buruk biasanya tidak pernah menghasilkan apa-apa. Menulislah buruk dan cepat, karena itu akan menyelamatkan kita pada dua hal yang tidak perlu; membuang waktu dan mood yang jelek.

Beberapa guru yang sadar akan pentingnya menulis kemudian bertanya, “Sebagai pendidik, apa yang sebaiknya saya tulis?”

Sebagai pendidik, salah satu sumber tulisan terbaik adalah pengalaman di kelas. Kisah-kisah tentang menghadapi siswa yang sulit, strategi mengatasi anak pemalu, atau keberhasilan siswa yang menginspirasi adalah contoh topik yang sangat bernilai. Selain itu, pendidik dapat menulis tentang metode pengajaran yang inovatif, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, atau hasil penelitian pendidikan.

Tulisan-tulisan ini tidak hanya bermanfaat bagi guru lain, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi siswa, orang tua, dan bahkan pembuat kebijakan. Kita hidup dalam ekosistem pendidikan, di mana pengambil keputusan sering tidak memahami dinamika di dalam kelas, tulisan pendidik bisa menjadi jembatan penting untuk menjelaskan tantangan dan peluang yang nyata.

Saya mengerti bahwa pendidikan merupakan bidang yang kompleks, sehingga sulit dirangkum dalam penjelasan singkat dalam tulisan. Tidak heran jika sebagian pendidik merasa ragu atau kurang percaya diri untuk menulis. Namun, setiap guru sejatinya telah menulis, baik dalam bentuk rencana pembelajaran (lesson plan), catatan evaluasi, maupun komunikasi dengan siswa dan orang tua. Oleh karena itu, suka atau tidak, kita harus sama-sama mengakui bahwa semua pendidik adalah penulis.

"Tapi sebagai guru yang sibuk dengan kegiatan mengajar, bagaimana cara efektif mengatur waktu agar tetap bisa menulis?"

Ya, secara pribadi saya mengenal beberapa kawan guru yang sangat sibuk. Saya juga mengerti bahwa mendidik adalah profesi yang menuntut banyak waktu, sehingga menemukan waktu untuk menulis bisa menjadi tantangan, tetapi bukan hal yang mustahil. Kata kuncinya adalah menjadikan menulis menjadi prioritas. Kita sering menjadikan menulis sebagai iseng-iseng atau hobi waktu senggang, sehingga mengerjakannya tidak menjadi prioritas. Anggap saja menulis itu sebagai hal yang wajib seperti salat. Sehingga ketika ada hal yang kita pikirkan, ide mengajar, keresahan dan lain sebagainya, kita akan lebih fokus dan merasa wajib untuk menulisnya.

Menjadikan menulis sebagai kebiasaan harian, seperti menyisihkan 10 menit untuk membuat jurnal, bisa menjadi langkah awal yang sederhana. Kesibukan setiap orang berbeda-beda, sehingga waktu yang sesuai untuk menulis pada setiap orang juga berbeda-beda. Bereksperimenlah dengan waktu-waktu berbeda untuk melihat saat paling produktif dan kreatif. Teknik seperti Pomodoro, di mana kita menulis selama 25 menit lalu beristirahat selama 5 menit, juga bisa membantu meningkatkan fokus dan produktivitas. Hal yang utama adalah menemukan waktu yang paling cocok dan membuatnya menjadi bagian dari rutinitas harian.

"Ya, saya mulai terpacu untuk menulis dan sejujurnya saya ingin menjadi penulis buku, tapi saya merasa tidak berbakat dalam menulis."

Bagaimana seseorang bisa tahu bahwa ia tidak berbakat dalam menulis? Karena sejak kecil ia tidak suka menulis? Atau karena baginya menulis itu membosankan dan sama sekali tidak menyenangkan? Atau karena ia penah mencoba beberapa kali membuat tulisan tapi ternyata tidak bagus atau gagal? 

Karena alasan-alasan itu kemudian seseorang menyimpulkan bahwa ia tidak berbakat menulis.

Oke, sekarang bayangkan jika logika yang sama diterapkan pada membaca. Apakah sebagai guru, ketika kita melihat anak yang kesulitan membaca, yang mengatakan bahwa membaca tidak menyenangkan, bahwa ia pernah mencoba beberapa kali membaca dan tidak menyukainya, kita akan menyerah? Kemudian kita katakan kepadanya ia bukan anak yang berbakat membaca. Kemudian kita tidak memotivasinya, tidak pernah mencoba mencari cara agar membaca lebih menyenangkan, menyingkirkan semua buku serta tugas membaca yang menantang selama-lamanya karena kita telah melabeli bahwa ia tidak berbakat membaca. Sebagai orang tua atau guru, tentu kita tidak akan melakukan itu kan? Lalu mengapa terkadang kita melabeli bahkan pada diri kita sendiri hal yang sama dalam hal menulis?

Menulis sering dianggap sebagai bakat langka yang diwariskan, padahal tidak demikian. Merasa tidak berbakat menulis adalah hal yang biasa, tetapi keterampilan ini dapat diasah. Beberapa waktu lalu saya kembali membaca tulisan-tulisan dalam diary yang saya tulis bertahun-tahun yang lalu, dan saya menyimpulkan bahawa tulisan saya buruk dan saya tidak berbakat menulis. Untungnya, dulu guru saya tidak pernah bilang itu, melainkan ia bilang kalau saya adalah pencerita yang baik, sehingga saya percaya saja bahwa saya pandai bercerita, bahwa saya pandai menulis. Sekarang saya sudah menulis belasan buku, dan saya selalu ingat apa yang pernah dikatakan Ernest Hemingway, “It's none of their business that you have to learn how to write. Let them think you were born that way.”

"Lalu bagaimana cara menulis dengan baik?"

Ada empat langkah untuk memandu proses menulis dengan baik: percaya, memahami, membuatnya menyenangkan, dan berlatih dengan efektif.

Percayalah menulis itu keterampilan yang bisa dipelajari sebagaimana keterampilan lain seperti membaca dan bicara. Keyakinan seorang bahwa ia bisa menulis dapat mengubah mentalnya. Keyakinan menciptakan reaksi berantai: keberanian, usaha ekstra, dan kesuksesan. Semua kita mungkin pernah dan akan menghadapi kesulitan menulis pada suatu saat, tetapi keyakinan membantu kita bertahan.

Pahami bahwa menulis bukanlah beban. Menulis adalah sarana untuk membantu pendidik mengasah kemampuan refleksi, meningkatkan pemahaman diri, serta memperkuat keterampilan kognitif dan sosial-emosional. Aktivitas ini juga meningkatkan empati, karena pendidik dapat lebih memahami tantangan yang dihadapi oleh siswa.

Pahami topik yang akan ditulis dengan baik, pahami juga struktur tulisan, lakukan penelitian mendalam, dan buat kerangka tulisan yang sesuai. Setelah menyelesaikan draf pertama, baca kembali tulisan itu kemudian perbaiki kesalahan tata bahasa, ejaan, dan struktur kalimat. Pastikan argumen jelas dan didukung dengan fakta. Jangan ragu untuk merevisi dan mengedit tulisan agar lebih baik.

Menulis adalah aktivitas yang menenangkan di tengah kesibukan dan ketidakteraturan dalam pekerjaan serta kehidupan. Bagi saya, waktu menulis adalah saat yang paling menyenangkan dan tenang di hari yang penuh dengan berbagai tugas. Sayangnya, banyak dari kita yang sejak kecil mengalami menulis sebagai sesuatu yang menegangkan, akibat proses pendidikan yang memaksa dan tidak membebaskan. Ubahlah mindset dari menulis adalah beban tugas yang harus diselesaikan, menjadi menulis sebagai sarana untuk berekspresi dan mengendalikan diri.

Latihan yang menarik dan menyenangkan sangat penting untuk menjaga motivasi. Latihan dan ketekunan adalah kunci untuk menulis dengan baik, bukan bakat yang tinggi. Menulis adalah keterampilan yang bisa dipelajari dan ditingkatkan dengan latihan.

Mulailah dari hal kecil seperti menulis catatan harian atau refleksi singkat. Baca lebih banyak buku untuk memperkaya kosa kata dan gaya menulis. Minta umpan balik dari teman sejawat atau bergabung dengan komunitas menulis. Yang terpenting, nikmati prosesnya dan jangan takut melakukan kesalahan—kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Percayalah! Dengan tekad dan latihan, siapapun bisa mengembangkan keterampilan menulis dan mencapai impian menjadi penulis buku.

Jadi kembali ke pertanyaan awal, “Mengapa pendidik perlu menulis?”

Karena menulis adalah salah satu keterampilan utama yang dibutuhkan di masa depan, dan karena itu semua siswa didik perlu menguasainya. Cara yang paling efisien untuk menekankan keterampilan ini adalah pendidik meneladankan pentingnya menulis kepada siswa didik. Guru yang menulis bersama muridnya mengajarkan bahwa menulis adalah bagian penting dari pembelajaran dan kehidupan.

Karena tulisan pendidik, baik berupa refleksi, laporan, atau rencana aksi, dapat menjadi rujukan berharga dalam kolaborasi dengan rekan guru, orang tua, dan pihak lain. Kritik, diskusi, dan inkuiri yang muncul dari tulisan guru membuka peluang untuk merancang langkah bersama yang lebih efektif.

Ayo jadikan menulis sebagai bagian dari identitas pendidik. Adagium arab menyatakan bahwa konsistensi lebih berharga dari seribu karomah, sementara guru saya pernah bilang, “Jika kamu tidak tahu, maka belajar. Jika kamu tahu, maka ajarkan.” Hal itulah yang harus dilakukan secara konsisten sepanjang hidup; belajar dan mengajar. 

Sebaik-baiknya pelajar sepanjang hayat adalah juga penulis sepanjang hayat. Dengan menulis, pendidik tidak hanya meneladankan nilai belajar tanpa henti, tetapi juga membuka pintu bagi perbaikan yang lebih luas demi kepentingan siswa dan masa depan pendidikan.

Wallahu 'Alam Bissawab