“Mas bangun mas! Sudah sampai terminal!”.
“Oh, gawat! Aku tertidur!” Kalimat itu yang pertama meloncat dari pikiran pemuda itu.
Pukul 03.15 pagi pemuda itu tiba di terminal. Di dalam bus tadi, kantuk membunuhnya perlahan-lahan. Membuatnya tak merasakan sakit sama sekali. Kematian yang begitu indah. Sejenis kematian yang hanya menghampiri jiwa-jiwa yang tenang. Membuka dialog panjang antara dirinya dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang jauh.
“Mau kemana, Mas!” beberapa tukang ojek menghampirinya setelah pemuda itu turun dari bus. Pemuda itu masih berusaha mengumpulkan ingatannya tentang kota itu. Ia ingat, semalam ia tertidur di bus. Dan sekarang telah sampai di terminal. Oh, malangnya nasibku, pikirnya. Apa yang harus kulakukan? Apa aku teruskan tidurku di terminal ini? Tidur sampai fajar menyingsing dan segala sesuatunya telah memiliki warna dengan jelas. Menunggu angkot bergeliat, berlalu lalang untuk mengantarkan para ibu ke pasar membeli sayuran.
“Naek ojek aja, Mas!” para tukang ojek itu terus mendesak. Pemuda itu membayangkan dirinya tidur di terminal seperti orang gila di pojok terminal itu. Di dekat tempat sampah. Tapi siapa yang menjamin aku akan bangun dengan selamat besok pagi? Pikirnya lagi. Bisa jadi besok pagi aku menjadi gelandangan baru di kota ini, atau lebih parah menjadi orang gila baru pengganti orang gila yang sudah sepuh di pojok sana.
“Jam segini angkot belum ada yang narik, Mas!” tukang ojek lain mulai memberi alasan.
Pemuda itu mulai berpikir lagi. Tempat ibunya yang seharusnya dituju terletak jauh dari terminal, dan ia sedang memikirkan biaya yang akan dikeluarkannya untuk naik ojek dalam jarak sejauh itu. Lagipula masih terlalu pagi, ia takut menggangu. Aku harus mampir ke tempat temanku yang dekat sini, pikir pemuda itu. Dan tidak diragukan lagi, pikirannya segera tertuju pada seorang sahabat karibnya di kota itu; Kiyai Munad. Ya, Kiyai Munad.
“Antarkan saya ke Pondok Pesantren Al-Arifiyah, Mas! Ke tempat Kiyai Munad.” Kata pemuda itu kepada seorang tukang ojek.
Ada berbagai hal yang melintas di kepalanya, dalam perjalanan bertemu kawan karibnya itu. Kenangan-kenangan waktu mereka masih sama-sama di pesantren. Ia ingat pertemuan pada suatu siang di sebuah masjid. Ketika ia disapa oleh seseorang bermuka tirus pada kali pertama menjadi santri.
***
“Wa’alaikum salam!” jawab kiyai Munad setelah pemuda itu mengucap salam. Mereka berjabatan tangan.
“Apa kabar, Kiyai!” kata pemuda itu.
“Ah jangan panggil aku kiyai, sobat! Kita seumur. Kau membuatku merasa jauh.”
“Ma’af jika kedatanganku mengganggu wirid malammu.” Kata pemuda itu sambil menurunkan ransel yang ada di punggungnya yang terasa makin berat.
“Menghormati tamu itu lebih mulia dari apapun. Tentu kamu tahu itu kawan. Baiklah sekarang mari kubawakan ranselmu. Kita istirahat dulu di kamarku.”
“Berapa murid yang ada di pesantren ini?” tanya pemuda itu sambil berjalan menuju kamar Kiyai Munad.
“Jauh berkurang. Orang–orang sekarang lebih memilih sekolah umum. Sayang sekali kamu berhenti mondok. Jika saja dulu kau meneruskan sampai Aliyah saja, mungkin saat ini aku bisa meminta bantuanmu untuk mengurusi pesantren ini.”
“Sudahlah, toh sekarang kamu sendirianpun telah berhasil, kan!?”
“Oya, berapa hari kamu di kota ini, kawan!” kata Kiyai Munad mengalihkan pembicaraan.
“Cuma lima hari. Aku akan menginap di tempat ibu. Aku kangen beliau.”
Kiyai Munad membiarkan kawannya beristirahat. Pemuda itu mulai merebahkan diri sambil mengingat-ingat kenangannya di kota kelahirannya itu, sebelum ia berkelana entah kemana. Ah, enaknya berkelana, pikirnya tiba-tiba. Aku selalu mendapat teman-teman baru tanpa perlu bersama-sama mereka sepanjang waktu.
Kalau seseorang bergaul dengan orang yang sama setiap hari, ia cenderung menjadi terlalu merasa mengerti kepada orang lain. Terkadang ia ingin supaya orang lain berubah. Kalau orang itu tidak bisa berubah seperti yang ia kehendaki, maka ia marah. Orang tampaknya selalu merasa lebih tahu, bagaimana orang lain menjalani hidup, tapi mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup sandiri.