Senin, 22 April 2013

Pembantu, Rumah dan Pulang

Sekitar tiga tahun yang lalu, gue mulai mencicil rumah KPR. Sekarang rumah itu disewakan.
Awalnya, setelah direnovasi, rumah itu akan segera diisi. Dan memang gue dan keluarga (Desy dan Nada, pada saat itu) sudah tinggal di situ untuk beberapa bulan. Tapi setelah itu kami pindah lagi ke tempat nyokap gue.
Ya, itu mesti kami lakukan ketika Safa, anak ke dua kami lahir. Pertimbangannya karena istri gue tentu butuh bantuan untuk mengurus dua orang anak. Sebenarnya sebelum Safa lahir kita telah merencanakan untuk memperoleh jasa pembantu. Dan memang kita telah dapat. Tapi satu bulan sebelum istri gue melahirkan pembantu itu kabur. Mungkin karena terlalu sering gue suruh manjat tiang listrik depan rumah.
Memang udah ada usaha untuk cari pembantu lagi, tapi ternyata cari pembantu itu nggak gampang. Nyari pembantu itu ternyata seperti nyari pasangan hidup, gampang-gampang susah. Apalagi mengingat kegemaran gue yang suka nyuruh pembantu ngepel genteng.
Pembantu itu penting bagi sebuah keluarga. Apalagi yang punya anak kecil lebih dari satu. Tapi ada beberapa keluarga yang mungkin nggak butuh —atau nggak sanggup— menyewa pembantu. Itu tentu terserah pertimbangan masing-masing.
Gue inget sebuah kisah tentang Sayidina Ali Karamalalahu Wajhah dan istrinya Fatimah Azzahra Rhadiyallahu Anha ingin meminta pembantu kepada Rasulullah. Dikisahkan oleh Sayidina Ali, suatu ketika, Fatimah mengeluhkan sakit di tangannya akibat bekas alat penggiling. Kebetulan pada saat itu nabi memperoleh seorang tawanan perang. Maka Fatimah pergi ke rumah ayahnya untuk meminta tawanan tersebut menjadi pembantu di rumahnya, namun ia tidak bertemu dengan sang nabi. Dia hanya bertemu Aisyah istri nabi. Fatimah memberitahu masksud kedatanngannya kepada Aisyah. Ketika sang nabi datang, Aisyah mengabarkan maksud kedatangan Fatimah.
Beliau mempertimbangkan permintaan Fatimah. Memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual, dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan kecuali dari apa yang diberikan Rasulullah.
Kemudian Nabi mendatangi rumah Ali dan Fatimah. Ketika itu mereka hendak tidur. Ali siap berdiri, namun nabi berkata, “Tetaplah di tempatmu”. Kemudian beliau duduk di tengah Ali dan Fatimah. Beliau berkata, “Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau minta kepadaku. Apabila engkau hendak tidur, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, maka itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.” [i]
Sekarang, setelah Safa hampir setahun, kita berniat pulang ke rumah. Tapi ternyata pulang itu bukan hanya soal berkemas dan kembali ke rumah saja. Pulang berarti menimbang-nimbang dan menata kembali keputusan. Ya, ternyata pindah rumah itu nggak mudah. Bukan karena rumah nyokap gue lebih nyaman. Tentu nyama itu relatif kan? Apalagi beberapa sisi dari rumah nyokap juga sudah seharusnya direnovasi.
Kesulitan pindah rumah itu mungkin dikarenakan akan ada banyak kebiasaan yang akan berubah. Perubahan tetangga sekitar, perubahan akses, makhluk-makhluk yang ada di rumah juga kebiasaan-kebiasaan lain. Kebiasaan sang nenek bergaul dengan cucu-cucunya, misalnya. Kita juga sudah terbiasa dengan segala hal dari rumah itu, dari barang-barang yang ada di dapur, bau kamar, sampai di bagian mana yang mesti ditaruh ember waktu hujan lebat. Meninggalkan kebiasaan yang lama dan memulai kebiasaan yang baru tentu membutuhkan adaptasi yang mungkin nggak sebentar.
Karena sejatinya, rumah bukan hanya sebuah bangunan berpintu dan lain sebagainya, ia seharusnya memberikan kedamaian, kenyamanan dan kehangatan. Dan rumah yang sebenarnya adalah tempat dimana kita bisa saling mencintai, home that our feet may leave, but not our hearts.[ii]

 


[i] Hadits Shahih, ditakhrij Al-Bukhari 4/102, Muslim 17/45, Abu Dawud hadits nomor 5062, At-Tirmidzi hadits nomor 3469, Ahmad 1/96, Al-Baihaqy 7/293. Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa orang yang banyak dzikir sebelum tidur, tidak akan merasa letih. Sebab Fatimah mengeluh letih karena bekerja. Lalu Nabi mengajarkan dzikir itu. Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Pendapat ini perlu diteliti lagi. Dzikir tidak menghilangkan letih. Tetapi hal ini bisa ditakwil bahwa orang yang banyak berdzikir, tidak akan merasa mendapat madharat karena kerjanya yang banyak dan tidak merasa sulit, meskipun rasa letih itu tetap ada”. Diambil dari sini
[ii] Wendell Holmes