Halaman

Senin, 15 April 2013

Sebuah Percakapan dengan Pak Tua

Pemuda itu mulai mencari kesibukan lain untuk membunuh kebosanannya. Ia mencoba jalan-jalan sendiri. Bersepeda.

Ia mengayuh sepeda sambil terus membiarkan segala hal memasuki pikirannya. Ia memikirkan novelnya yang tak pernah selesai, acara tadi malam, kenangan bersama seorang gadis dan banyak lagi. Pikirannya melompat-lompat.

Sampai ia tiba pada sebuah gang dimana ia tahu ada seorang tua yang dulu sering ia ajak bicara. Kakek itu salah seorang pengurus gereja. Gereja yang sepertinya lebih tua dari umur si kakek.

“Apa kabar, Kek!” pemuda itu memulai.

“Baik!”

“Itu mobil punya siapa ya?” tiba-tiba si kakek bertanya. Pemuda itu melihat mobil yang dipandangi si kakek.

 “Yang mana, Kek?” si pemuda mencoba mencari penjelasan lebih.

“Yang di depan rumah itu.”

“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”

“Oh, bagaimana kabarmu anak muda?”

“Baik, Kek! Gak pernah sebaik ini.”

“Bagaimana sekolahmu?”

“Ah?” pemuda itu ragu si kakek masih ingat tentang dia. Ia mulai menyelidik “Apa kakek masih ingat siapa saya?”.

“Sebenarnya aku lupa siapa kamu. Aku hanya menebak-nebak saja. Kalau begitu ceritakan tentangmu supaya aku bisa ingat lagi.” Pemuda itu kemudian menceritakan kenangan-kenangannya dengan si kakek. Tentang percakapan-percakapan yang pernah mereka bicarakan. Tentang kesukaan si kakek yang masih diingat pemuda itu, dan tentang apapun. Sampai akhirnya pemuda itu diam. Mereka diam.

“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek bertanya di sela-sela diamnya.

“Mobil yang mana, Kek?”

“Yang di depan rumah itu.”

“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”

“Oh, mungkin!” jawab kakek. Ia diam beberapa saat kemudian tiba-tiba bicara, “Anak muda! Kamu tahu apa itu bahasa cinta?”

Pemuda itu memandang heran wajah si kakek, mencoba menerka arah pembicaraan. Kakek itu acuh menerima pandangan mengherankan itu. Namun akhirnya si pemuda tidak bisa menerka arah pertanyaan itu dan menggeleng sekenanya.

“Bahasa cinta adalah bahasa yang lebih tua daripada manusia,” kata si kakek kemudian, “sesuatu yang meletupkan daya yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang.”

Pemuda itu mencoba memahami bahasa filsafatis dan puitis yang dilontarkan si kakek, namun gagal. Ia tetap tidak mengerti maksud si kakek. Pemuda itu diam. Si kakek yang sepertinya tahu makna kediamannya  melanjutkan, “Cinta adalah bahasa dunia yang murni. Bahasa yang tidak membutuhkan penjelasan, seperti halnya jagad raya ini yang tidak memiliki penjelasan dalam perputarannya dalam ruang waktu yang tak berujung.”

Anak itu masih terus berusaha berpikir.

“Kamu paham?”

“Belum, Kek! Tapi akan coba kupikirkan.”

“Orang-orang yang saling bertengkar sampai akhirnya saling membunuh karena masalah agama adalah salah satu golongan yang belum mengerti arti bahasa cinta yang universal itu, Nak!” kata-katanya terputus. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Kakek tua itu memandang jauh ke lanskap. Dari matanya ada keraguan yang menggantung. Ia terdiam. Anak itu menunggu apa lagi yang akan dikatakan kakek tua itu.

“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek tiba-tiba bertanya lagi. Si pemuda melihat sekelilingnya dan menemukan mobil yang sama yang beberapa waktu lalu ditanyakan si kakek tua.

“Mobil yang di depan rumah itu, Kek?”

“Ya,”

Mungkin punya Haji Muhsin.”

“Oh, mungkin!”

“Memang kenapa?” pemuda itu makin penasaran.

“Ah, aku hanya iseng bertanya.”

Percakapan dengan seseorang, apalagi orang yang telah sepuh memang membutuhkan teknik tersendiri. Salah-salah ia tersinggung dan marah. Makin tua seseorang terkadang ia kembali lagi seperti anak-anak, egois, keras dan lucu. Ditambah lagi penyakit khas orang tua; pikun.

Setengah jam pemuda itu berbicara dengan pak tua, percakapannya selalu berakhir dengan pertanyaan yang sama; itu mobil punya siapa ya? Sudah delapan kali pak tua itu menanyakannya, dan delapan kali juga pemuda itu menjawabnya dengan sabar.

Pemuda itu merasa percakapan itu sudah cukup dan berkeinginan untuk pulang. Ia berpamitan. Si kakek mempersilahkan. Tapi sebelum mereka berpisah si kakek menyanyakan pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh si pemuda, “Tadi sudah berapa kali aku bertanya tentang mobil itu?”