Ia bangun pukul empat tiga puluh dan segera bergegas memenuhi panggilan muadzin dari masjid terdekat. Walaupun begitu, tetap saja ia selalu menajdi orang yang terakhir tiba di sana. Dia selalu takjub dengan pemandangan langit subuh. Alangkah ruginya orang yang tidak bisa menikmati keagungan ini, pikirnya ketika melihat rasi bintang yang beraneka ragam pada langit yang cerah itu. Pemandangan itu membuatnya memperlambat jalannya menuju masjid. Setiap hari ia melakukannya, tapi tidak pernah sekalipun ia merasa bosan. Beginilah indahnya langit pedesaan, pikirnya lagi.
Sepulang menikmati jalan-jalan subuh, ia kembali menikmati pekerjaan yang seharusnya dikerjakan anak perempuan; menyiram dan menyapu lantai tanah yang telah menjadi keras seperti gerabah, mencuci piring-piring kotor bekas makan malam, dan juga mencuci pakaian. Sesekali ia merasa bosan dengan aktifitas itu, tapi kebosanan itu meredup bahkan hilang ketika ia mengingat bahwa pagi itu ia akan pergi kuliah, dan di kampus ia akan bertemu dengan teman-temannya. Sambil menimba air dari dalam sumur yang mungkin sudah seumur dengan ayahnya, ia bersenandung riang.
Kecuali ban sepeda made in Japan, yang memang dari kemarin minta di tambah angin, pagi itu segalanya berjalan wajar seperti semestinya. Dengan rasa sukur dan senyum yang mengembang di bibirnya ia memulai hari. Pagi yang indah dan penuh syukur. Walaupun banyak yang mengatakan hidupnya begitu prihatin, tapi ia masih bisa tersenyum karena masih banyak yang bisa ia syukuri.
Dua ribu lima puluh kali kayuhan sepeda atau sekitar 6.150 meter ia sampai di depan perbatasan desa itu dan menitipkan sepedanya di tempat penitipan sepeda. Setelah itu, ia naik dua kali kendaraan umum dan sampailah ia di kampusnya yang dekat dengan laut.