Rabu, 27 November 2013

Keresahan di Media Sosial

Media sosial sekarang ini membuat seseorang memiliki pertemanan yang luas. Salah satu media sosial yang paling besar di gunakan oleh orang Indonesia adalah Facebook. Namun tidak semua orang Indonesia suka dengan media sosial itu, kawan saya memilih untuk mendeaktifasi akun FB-nya bebrapa tahun lalu dan tidak mengaktifkannya sampai sekarang. Ia beralasan karena FB cenderung membuatnya iri dan tidak bersukur.

Mendeaktifasi FB tentu saja pilihan pribadinya. Pilihan tersebut didasarkan atas keresahannya ketika bergaul di sana, namun keresahan yang ia hadapi bisa jadi merupakan keresahan kita juga.

Dalam sebuah tulisan, kawan saya menulis bahwa ia sudah merasa cukup membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia merasa sudah cukup mendefinisikan dirinya berdasarkan berapa banyak yang me-like atau berkomentar pada status yang ia buat. Ia merasa sudah cukup percaya bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau.

Ia berpendapat bahwa hubungan di sana tidak punya makna yang mendalam. Hubungan yang berkisar tentang apa yang ia punya, apa yang kawan-kawannya punya, apa yang dilakukan dan segala pencapaian hidup. Intinya, semakin lama ia bergaul di sana, semakin besar rasa frustasinya.

Ia sadar dengan memutuskan hubungannya, ia tidak akan mendapatkan ucapan selamat ulang tahun sebanyak ketika ia aktif di sana. Namun ia juga bersukur bahwa ada kawan-kawannya yang lain yang benar-benar tulus, tanpa perlu diingatkan FB. Tanpa FB ia juga merasa hidupnya bebasa dari drama yang tidak perlu. Ia merasa bahwa dengan melihat satu posting, bisa memunculkan rasa negatif, penasaran dan kemudian memicu gosip.

Dan inti dari intinya adalah, FB terkadang membuatnya lupa bersyukur. Karena tiap kali melihat posting orang lain (ada yang sedang keliling Eropa, beli rumah baru, bayi-bayi lucu, lulus sekolah di luar negeri, reuni yang seru, dan lain-lain yang menerangkan bahwa mereka punya hidup yang luar biasa), ia sering merasa iri dan cemburu.

Itulah keresahannya, atau bisa jadi merupakan keresahan kita juga. Bukankah media sosial pada umumnya adalah sarana yang sangat potensial seseorang untuk pamer?

Membaca keresahannya, saya jadi teringat sebuah kisah sahabat pada zaman nabi. Pada suatu hari tatkala Nabi Muhammad SAW sedang duduk dan berbincang – bincang bersama para sahabatnya di masjid, tiba – tiba Nabi SAW bersabda, “Sebentar lagi seorang penghuni surga akan datang kemari”

Mendengar ucapan Rasullulah SAW tersebut, semua pandangan para sahabat tertuju ke pintu masjid. Mereka menduga penghuni surga itu tentu seorang yang luar biasa.

Tidak lama kemudian masuklah ke dalam masjid seseorang yang wajahnya masih basah dengan air wudu, sambil menjinjing alas kaki. Apa gerangan keistimewaan orang itu, sehingga Rasullulah SAW menjamin masuk surga? Anehnya tidak seorang pun dari sahabat Nabi SAW yang mau bertanya, walaupun sebenarnya mereka ingin mengetahui jawabannya.

Keesokan harinya, yaitu hari kedua dan ketiga, kejadian seperti di atas berulang kembali. Pada hari kedua dan ketiga Nabi SAW tetap bersabda bahwa orang itu calon penghuni surga. Abdullah ibnu Umar (sahabat Nabi SAW) penasaran. Beliau ingin melihat langsung apa yang dilakukan oleh calon penghuni surga itu sehari-harinya. Abdullah ibnu Umar mendatangi rumah calon penghuni surga itu, dan beliau minta izin utnuk tinggal di rumah orang itu selama tiga hari tiga malam.

Selama tiga hari tiga malam Abdullah ibnu Umar memerhatikan, mengamati bahkan mengintip apa saja yang diperbuat oleh calon penghuni surga itu. Memang ibadah wajib selalu dikerjakan oleh penghuni surga itu, tetapi ibadah khusus seperti malam dan puasa sunah tampaknya penghuni surga itu tidak mengerjakannya. Hanya saja kalau terbangun dari tidurnya ia menyebut nama Allah (zikir) di tempat tidurnya, tetapi itu hanya sejenak saja, dan tidurnya pun berlanjut.

Pada siang hari si penghuni surga itu bekerja dengan tekun. Ia ke pasar, sebagaimana halnya orang lainnya yang pergi ke pasar. “Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau aku tidak sempat melihatnya apa yang dilakukan penghuni surga itu. Aku harus berterus terang kepadanya” demikian ucapab Abdullah ibnu Umar dalam hatinya.

“Apakah yang Anda perbuat sehingga Anda mendapat jaminan surga?” tanya Abdullah.

“Apa yang Anda lihat itulah” jawab penghuni surga.

Dengan kecewa Abdullah ibnu Umar bermaksud kembali saja ke rumahnya, tetapi tiba – tiba tangannya dipegang oleh si penghuni surga seraya berkata, “Apa yang Anda lihat itulah yang saya lakukan, ditambah sedikit lagi yaitu saya tidak pernah iri hati terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Tidak pernah pula saya melakukan penipuan dalam segala kegiatan saya” [i]

----------------------------------------------------------------------

[i] Kisah dikutip dari buku Lentera Hati - M. Quraish Shihab