Anak kecil itu lucu, dan kamu nggak akan pernah tahu lucunya sampai menghadapinya sendiri.
Safa, berumur dua tahun,
mengucapkan BAHAYA untuk mengatakan BAHAGIA. Jadi ketika ia bernyanyi
Muhammadku-nya Hadad Alwi, saya khawatir nyanyiannya di dengar MUI.
“Siapa yang cinta pada nabinya
Pasti BAHAYA dalam hidupnya”
“Bukan bahaya, dek. Tapi bahagia.” Saya menjelaskan.
“Bahaya.” Jawab dia jelas.
“BA” kata saya.
“BA” kata Safa.
“HA” saya melanjutkan.
“HA” katanya.
“GI”
“GI”
“A”
“A”
“BA-HA-GIA”
“BAHAYA”
Ini mulai terdengar seperti Srimulat.
Akhirnya saya mengajarkan kata senang untuk mengganti bahagia.
Safa juga pernah mengganti kata
AGUNG menjadi AGUS dalam lagu Pelangi.
“Pelangi-pelangi, alangkah indahmu
Merah-kuning-hijau di langit yang biru
Pelukismu AGUS siapa gerangan…”
Sebenarnya saya nggak terlalu
peduli dia ganti kata itu menjadi AGUNG, AGUS, atau SARIMIN. Tapi dia bernyanyi
di ruang tunggu dokter yang senyap, dan suaranya terdengan jelas oleh banyak
orang.
Di hari yang lain, Safa bernyanyi
Paman Datang-nya Tasya dan mengganti kata TERNAK menjadi ANAK.
"Kemarin paman datang…
Pamanku dari desa…
Bercerita paman tentang ANAKNYA
Berkembang biak semua…”
Saya nggak bisa membayangkan
kalau kata ANAK berubah makna menjadi TERNAK dan kata TERNAK bermakna ANAK.
Jadi kalau ada kawan lama bertemu percakapannya akan seperti ini:
“Woy, Bro. Lama nggak keliatan. Gimana kabarnya? Istri sehat? TERNAK udah berapa sekarang?”
“Alhamdulillah sehat. TERNAK masih dua, satu di JIS, yang besar lagi di Singapore.”
“Oh, sama. TERNAK saya juga lagi sekolah di Singapore.”
Saya membayangkan, Prof. Yohanes
Surya berbicara, “Carikan saya TERNAK yang paling bodoh dari Papua, akan saya
latih jadi pintar.” Ia memperbaiki kacamatanya, tersenyum, dan melanjutkan,
“Jika TERNAK-TERNAK Papua bisa menjadi juara olimpiade matematika, maka semua
TERNAK-TERNAK Indonesia yang paling bodoh sekalipun diseluruh nusantara bisa.”
Luar biasa TERNAK-TERNAK
Indonesia!
Safa juga suka membuat kata yang
mungkin hanya dia sendiri yang memahaminya. “Dedek mau Pimpom.” Suatu hari dia
bilang di sela-sela bermain.
“Pimpom itu apa?” Saya penasaran.
“Pimpom itu Makil.” Kata dia. Saya membuka kamus Bahasa Zimbabwe, tapi percuma.
Saya kembali bertanya, “Makil itu apa?”
“Makil itu Baso.” Ah, ini mulai terdengar seperti Bahasa Indonesia.
Tapi saya nggak yakin dan bertanya lagi, “Emang Baso apa?”
“Baso itu Pocong.” Jawabnya yakin.
Saya mulai komat-kamit Merukyah.
Ia juga punya trauma yang
berlebihan terhadap semut, juga serangga. Iya, serangga yang hewan kecil itu,
bukan yang pergi ke Amerika dan baru ngabarin Cinta setelah 12 tahun. Bukan.
Ketakutan yang makin akut itu berawal karena ia pernah digigit semut hitam. Dan
dia bisa histeris kalau lihat kecoak, semut, Suju, Big Bang, Shinee. Oh, maksud
saya, segala macam serangga. Tipikal cewek banget dia.
"Kecewekan"-nya bahkan
sudah mulai kelihatan dari Bahasa yang ia pakai. Jadi suatu hari saya kebagian
memandikannya. Setelah ada di dalam kamar mandi, saya mengambil gayung dan
siap-siap mengguyur, tapi dia ngomong, “Dedek mandi sendiri aja!”
“Bener mau mandi sendiri?” tanya saya.
“Iya.”
Saya keluar kamar mandi.
Dari dalam kamar mandi dia teriak, “JANGAN DITINGGAAAAALL!”
LAH KATANYA MAU MANDI SENDIRI!!
See? Bahasa Venus banget kan?