Senin, 22 April 2019

Aira dan Kucing

Istri saya tidak suka kucing liar —sebagian kucing-kucing itu juga ada pemiliknya— yang ada di komplek perumahan kami, karena suka buang kotoran sembarangan.

Saya sebagai satu-satunya makhluk berjakun di rumah, yang dianggap tidak pernah mempunyai rasa takut, telah secara otomatis didaulat menjadi eksekutor pembersihan segala hewan menjijikan seperti kecoak, cicak, kelabang, tikus termasuk juga kotoran kucing.

Kucing-kucing itu beberapa kali buang kotoran di halaman, di bawah tanaman dan taman kami. Saking kesalnya, istri saya menyuruh untuk membeton semua halaman rumah sehingga tidak ada tanah, pasir atau tempat yang nyaman diberaki kucing.

“Loh jangan dong,” kata saya, “Kalau di beton semua, nanti kucing-kucing itu eek dimana?”

“Terserah!” istri saya makin kesal dengan jawaban ngawur saya, sepertinya memang ia tidak bisa diajak bercanda untuk urusan yang satu itu, “dimana aja asal jangan di rumah kita,”

Saya kira permintaan orang yang sedang emosi tidak perlu ditanggapi, sehingga sampai sekarang kucing-kucing itu tetap buang kotoran di sekitar rumah kami, bahkan beberapa waktu lalu ada yang eek di dalam rumah. Ya, di dalam rumah di dekat mesin cuci.

Memang kalau benci tidak boleh berlebihan, karena akhirnya Aira, anak bontot kami, sepertinya menjadi sangat menyukai kucing.