Halaman

Minggu, 23 Januari 2022

Memandang Orang Lain dengan Pandangan Kasih Sayang

Tercatat dalam hadits sahih, sebuah kisah tentang pendosa yang telah membunuh 100 orang. Secara ringkas, cerita itu sebagai berikut: seorang dari masa sebelum nabi Muhammad telah membunuh 99 orang, kemudian ingin bertaubat. Dia mencari tempat bertanya dan berjumpa seorang abid, ahli ibadah.

Pembunuh ini bertanya, "Aku telah membunuh 99 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima?". Sang abid menjawab, "Tidak bisa!". Lantas abid itu dibunuh, maka dia telah membunuh genap 100 orang.

Pembunuh ini mencari lagi dan berjumpa dengan seorang alim. Ia bertanya, "Aku sudah membunuh 100 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima". Orang alim itu menjawab, "Oh, tentu diterima".

Orang alim itu memberi tahu, kalau si pembunuh ingin sungguh taubat, maka ia harus pindah dari daerah ini, karena masyarakatnya berperangai sangat buruk. “Pergilah ke negeri anu, disana banyak orang beribadah, ikutilah mereka".

Si pembunuh pergi dan meninggal di tengah perjalanan. Berdebatlah antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Masing-masing mengklaim orang ini bagian dia.

Malaikat rahmat berkata, “Orang ini sudah berkeinginan untuk bertaubat". Malaikat azab menjawab, "Tapi kan belum sampai ke tujuannya".

Allah mengutus malaikat lain untuk menengahi, kemudian diminta untuk mengukur jarak mana yang lebih dekat, dari tempat berangkat ke tujuan.

Setelah diukur, ternyata mayat itu lebih dekat hanya sejengkal kearah tujuan. Maka orang itu menjadi bagian malaikat rahmat dan masuk surga.

Kurang lebih seperti itu ringkasan ceritanya.

Kebanyakan orang mengutip cerita tersebut untuk menekankan pada aspek pertaubatan. Bahwa seberapa banyak dosa yang manusia buat, ampunan Tuhan pasti lebih besar bagi mereka yang sungguh-sungguh bertaubat.

Tidak ada yang keliru dari poin tersebut, hanya saja saya punya perspektif lain. Saya membayangkan orang-orang, yang mungkin tidak tahu bahwa pembunuh yang mati itu telah bertaubat dan taubatnya diterima Tuhan, beramai-ramai mensyukuri kematiannya. Semua berbahagia dengan kematian tersebut. Mungkin ia dikuburkan di daerah terpencil dan diberi tanda penghinaan. Intinya setelah kematian, dia masih diperlakukan sebagai orang yang berdosa oleh masyarakat sekitar.

Mengapa saya membayangkan itu? Karena itu lumrah terjadi di masyarakat. Orang-orang yang merasa paling benar menganggap para pendosa, bahkan orang-orang yang tidak berkeyakinan sama dengan mereka sebagai orang yang laknat dan patut dihina setelah kematian. Mereka perpendapat bahwa para pendosa dan kafir di mata mereka sudah pasti menerima azab dan akan masuk neraka. Mereka seakan-akan mengetahui dengan pasti keimanan dan kebaikan seseorang. 

Benar memang bahwa orang-orang yang berbuat baik dan beriman akan dimasukan ke dalam surga sementara orang-orang yang berbuat buruk dan ingkar akan dimasukan neraka. Tapi pertanyaan kemudian adalah siapa yang menentukan seseorang baik dan beriman? Siapa yang tahu akhir hidup seseorang? Bukankah Tuhan semata yang mengetahui dan menentukan hal itu?

Makna dari cerita dalam hadits tersebut adalah kesadaran bahwa akhirat atau surga dan neraka mutlak ketentuan Tuhan. Bahwa Allah memberikan Hidayah dan menerima taubat kepada siapa saja yang Ia kehendaki.

Saya tidak sedang menyarankan untuk kita menghormati atau mengagungkan orang yang kita anggap berbuat dosa atau bahkan menganjurkan berbuat dosa. Sama sekali tidak. Saya menekankan bahwa akhirat adalah urusan Tuhan, kita sebagai manusia tidak diberikan kesanggupan untuk mengetahui akan seperti apa akhir hidup kita. Maka berhentilah menjadikan diri kita sebagai Tuhan dengan seakan-akan mengetahui keputusan di akhirat nanti. Bisa jadi karena kesombongan, kita yang selama ini dipandang orang baik, ternyata di akhir hanyat melakukan hal buruk yang dibenci Tuhan, menjadi munafik dan mati dalam keadaan berdosa. Namun masyarakat sekitar menganggap kita orang baik, dimuliakan dan dikuburkan dengan penghormatan yang tinggi. Hal itu bisa saja terjadi.

Di akhirat nanti Tuhan yang akan mengadili dengan seadil-adilnya tentang kesalahan, dosa dan perselisihan apapun, termasuk perselisihan agama. Orang-orang yang beragama percaya bahwa Tuhan Maha Adil, kita sebagai manusia hanya berharap dan terus berharap bahwa saat kita mati nanti dalam keadaan baik di mata Tuhan, sambil juga memandang orang lain dengan pandangan kasih sayang.

Masyhur apa yang dikatakan sahabat nabi, Salman Al Farisi, bahwa kehidupan di dunia ini tidak final, maka ia menolak penghormatan di dunia karena tidak ada yang bisa memastikan akan seperti apa kehidupan di akhirat nanti. Ia bilang, “Jika nanti aku masuk surga, maka aku terhormat. Namun jika aku masuk neraka maka berarti aku hina!”

Wallahu ‘alam bissawab

Minggu, 02 Januari 2022

warna langit pukul 09:05

        Untuk DS


pukul 09:05 aku menatap punggung seseorang
juga layar yang berganti-ganti warna dan
suara dari pengeras yang berharap didengar

ruangan tidak bisa memenjara pikiran
sesuatu menyergap dari segala mata angan
meruapkan aroma deretan pinus di hutan
yang pucuk-pucuknya menggapai awan

pukul 09:05 aku merindukan 
langit yang walaupun sudah 
kuduga warnanya
tetap memberi kejutan dan liburan

Tahannuts

Kawan yang sudah bertahun-tahun tidak saya temui itu mengirim pesan melalui WA dan menanyakan kenapa saya mendeaktifasi akun Facebook.

Saya menjawab dengan canda kemudian serius. Sedang Tahannuts atau Uzlah, saya bilang. Gak ngerti, dia merespon. Biarin, saya jawab sambil tertawa.

“Awas, ya,” Ia mengancam, kemudian mengirimkan definisi yang ia dapatkan sendiri entah dari mana.

“Aku dari dulu gak suka FB,” ia menjelaskan ketika saya bertanya. Sebenarnya ia juga menonaktifkan Facebook, jadi ia mengirim pesan di WA bukan karena tidak bisa mencari saya di Fb, tapi karena saya tidak bisa memberi Gift di akun WeSing. Tentang kenapa ia punya akun WeSing dan saya adalah kawan satu-satunya yang ia harapkan Gift-nya, tidak akan saya ceritakan di sini.

Ia kawan wanita yang dulu sangat dekat. Dulu kami sering berbagi cerita dan banyak hal bersama. Sampai kami tiba di suatu titik untuk berpisah. Ia terluka karena kepergian saya, sementara saya menangis karena meninggalkannya. Kami sama-sama menderita, tapi akhirnya waktu yang menyembuhkan, karena waktu memberi kami jarak dan juga kesadaran.

Tentang memberi jarak pada segala hal, itu yang sedang saya lakukan. Tahannuts atau menyendiri adalah tradisi nabi-nabi. Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertama ketika beliau ber-Tahannuts di gua Hira, setelah beliau melakukan itu secara rutin pada waktu tertentu. Tahannuts merupakan kesinambungan ajaran atau tradisi penganut ajaran Hanif yang sumbernya sampai kepada kakek beliau Nabi Ibrahim. Walau dengan praktik yang sedikit berbeda, tradisi ini sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa.

Secara prinsip Tahannuts yang saya lakukan sama. Menyendiri dari hiruk-pikuk dunia guna semacam recharge dan memikirkan ulang banyak hal. Itu adalah jalan yang seharusnya diambil manusia secara rutin berapapun usia mereka, karena rutinitas sering membuat manusia kehilangan ruh.

Tentu ini berbeda dengan budaya asketisme ekstrim yang sama sekali tidak ingin berhubungan dengan kesenangan dunia. Meninggalkan hal-hal duniawi selama-lamanya menurut saya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Agama tidak mendorong hal itu, tapi menganjurkan untuk menjauh sejenak untuk merenung kemudian kembali mengingat dan memberi arti yang pantas untuk setiap hal. Manusia membutuhkan jeda untuk bisa kembali menentukan mana yang sejati, dan mana yang permainan serta senda gurau.

Wallahu a’lam bissawab.

Kamis, 30 Desember 2021

Menemanimu Menunggu Hujan Reda

1

Di dalam kepalaku ada pikiran-pikiran yang menabrak norma, seperti kehidupan yang merampas tidur siang, atau TV yang menampilkan wajah orang-orang yang berpura-pura senang, atau anak-anak yang diajari memaki orang tua mereka sendiri.

Aku ingin mengasihi setiap wajah yang ada di sana sebagaimana oksigen yang merelakan dirinya berubah menjadi energi lain. Kasih dan kepedulian padaku adalah langit yang tidak bisa kupilih sendiri warnanya.

2

Pukul dua dini hari. Hujan dan keheningan membangunkan dengan hantaman kesadaran. Jarum jam berdetak pelan. Lampu sengaja tidak kuhidupkan. Rumah menjadi ruangan yang sangat kuhapal lekuknya, bahkan dengan mata terpejam.

Ia menjadi hal yang paling nyaman, dengan atap yang bocor, tembok yang retak dan kusam, aroma serta anak-anak yang berselimut mimpi sebelum subuh merekah. Hatiku tidak akan pernah utuh. Rumah dan kesunyian yang membuatnya penuh.

3

Sepagi itu aku menjelma air dalam gemericik runcing hujan di halaman. Kamu adalah tanah dan atap yang menerima dengan tangan terbuka, mengalirkan ke setiap liku selokan sungai hingga sampai ke samudra tempat segala melenyapkan diriku yang lama.

Dan aku mengerti mengapa cinta dan samudra membuat semuanya tampak kecil—

Katakan pada siapa saja bahwa cinta adalah ruh, tidak butuh jasad yang purna, cukup kumpulan dari ketidaksempurnaan kita, juga kata.

4

Kita duduk bersisian pada sebuah bahtera. Biru memenuhi angkasa dan segara. Perasaan adalah bayu kemayu yang bertiup menggerakan aku dan kamu. Menerjang dari segala penjuru dan dikendalikan layar yang terkembang dan layu.

Langit mengirim angin dan kita menikmatinya tanpa harus merasa bersalah. Kadang ia menjadi badai, kadang membunyikan gemerisik suara daun, kadang membawa aroma rempah dari negeri jauh yang kita baca dalam buku-buku sejarah.

5

Aku akan mengajakmu menjadi anak kecil yang bersekongkol untuk berlama-lama di kamar mandi, membuat gelembung dari sabun dan shampo, berlarian tertawa di bawah hujan di taman bermain bernama dunia, sambil menggenggam tanganmu melintasi pematang dan tidak takut akan dosa.

Kita adalah dua anak kecil yang sedang berlindung dari kepungan hujan dalam saung di tengah sawah. Petir menggelegar, tubuh kita makin gemetar. Kamu rebahan dalam pelukanku, aku berselimut di balik kelopak matamu. Matamu adalah puisi dan memahaminya adalah kemewahan, berisi metafora sederhana dan pembaca yang malas berpikir.

Kita masuk ke dalam badai. Di ujung sana ada cahaya tempat segalanya berakhir. Suatu hari nanti mungkin kita tidak akan ingat bagaimana bisa bertahan. Badai mengubah setiap yang datang dan pergi, menyisakan diri kita yang sejati.

6

Suatu siang di pinggir jalan aku menepi menonton kendaraan berkejaran dengan hujan sambil sekali lagi mendengarkanmu berbicara tentang kesedihan. Ditemani mendung, duka menjadi kaldera yang tidak sanggup kupijak dasarnya.

Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?

Aku bersedia menerobos hujan itu demi menjadi gigil tubuhmu. Sampai aromamu mengisi ruangan tempat kenangan, kehilangan dan cinta yang tidak pernah datang tepat waktu.

7

Kamu mencoba memahami perasaan ini dengan sebuah tangisan panjang dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak bisa dibendung di dada akan meluap lewat mata. Padahal ketika tidak bicara dan cukup lama setia, perjalanan akan mengajakmu memahami makna.

Kamu berdoa semoga ingatan dan rindu menusuk jantungku kemudian membunuh dengan perlahan. Aku ingin cinta juga mengalir dalam nadi seperti ketika kamu menyebut namaku dalam hening dan rindu yang akan selalu sendu. Dan kita akan terluka bersama.

8

Jalan-jalan makin sepi. Langit masih gelap dan hujan seperti tidak punya usaha untuk sunyi.

Pada hal-hal yang tidak sempat terucap, nadi kita bermuara ke tempat yang satu jantung kita bersama berdetak. Setelah itu kita tetaplah sepasang anak kecil yang tertawa bersama derai gerimis. Tangan kita bergandengan dan air hujan menghapus jejak lumpur di belakang.



Rabu, 22 Desember 2021

Kematian yang Datang Tiba-tiba

Kawan saya, perempuan yang murah senyum, duduk dan terdiam. Saya bertanya, tapi pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban. Saya tahu ia diam bukan karena tidak mendengar, tapi karena menahan tangis. Saya melihat wajah yang selalu tersenyum itu murung. Tidak lama tangisnya pecah. Ia berusaha tegar tapi di ruangan kecil itu tangisnya semakin menyayat. Sekuat tenaga saya juga menahan tangis sendiri.

Ayahnya meninggal beberapa minggu lalu. Ia bercerita setiap kali memejamkan mata, selalu wajah ayah yang terbayang. Saya memahami itu. Bagi orang yang pernah ditinggal orang yang disayangi, tidak sulit untuk memahami perasaan itu.

“Gak papa. Nangis aja,” itu kalimat yang keluar dari saya.

Saya menunggu tangisnya reda. Dan itu jenis tangis yang tidak mudah reda sehingga saya menunggu agak lama. Belum reda tangisnya, ia terbata-bata bercerita. Ia bercerita tentang kematian ayahnya yang sangat tiba-tiba. Tanpa sakit, tanpa pertanda. Ia terjatuh di kamar mandi dan tidak beberapa lama kemudian menghembuskan nafas terakhir di pelukan kawan saya.

Saya tahu rasanya ditinggalkan tiba-tiba. Saya mengerti sakitnya. Bapak dan dua orang paman dan bibi saya mati cepat dan tiba-tiba. Mungkin serangan jantung. Mungkin saya akan mati seperti mereka. Mungkin juga tidak.

Banyak hal yang ditangisi kawan saya. Penyesalan atas beberapa hal yang belum dilakukan. Kemarahan yang menggumpal di dada seperti sesak nafas tapi tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Betapa ia teringat kasih sayang ayah begitu banyak dan mengingatnya lagi saat ia tidak ada membuat nelangsa. Karena ia tahu, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas.

Sebagai seorang ayah dari anak perempuan, saya ingin mengatakan bahwa seorang ayah tidak pernah mengharap cinta dan pengorbanannya dibalas. Melihat anak-anaknya bahagia merupakan balasan yang sudah lebih dari cukup. Tapi saya tidak mengucapkan itu, saya tahu bagi seorang anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka, sehingga mencintainya bukanlah balasan, tapi naluri.

Saya teringat apa yang pernah ditulis Hoeda Manis, “Kehidupan ini telah membuat kita yakin bahwa kebahagiaan kita tergantung pada orang-orang lain yang mencintai kita. Namun ini sebenarnya cara berpikir yang terbalik, yang telah menimbulkan begitu banyak masalah bagi kita. Yang benar adalah bahwa kebahagiaan itu tergantung pada usaha kita untuk memberikan cinta. Ini bukan tentang apa yang masuk ke dalam; ini adalah tentang apa yang mengalir ke luar.”

Cinta, pengorbanan dan keberanian adalah hal yang saling melekat. Mengungkapkan dan membuktikannya bukanlah hal yang mudah. Terkadang ada harga dan resiko yang harus dibayar. Namun tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan perasaan kepada orang yang kita sayangi, yang kita kasihi. Batas adalah ajal. Selama ia belum datang, menyembunyikan cinta adalah sebuah usaha untuk menumpuk-numpuk penyesalan.

Saya mendengarkan dan terus mendengarkan kawan saya bercerita. Bertanya sekedarnya dan menunggu sampai ia selesai. Karena saya tahu saat ini, itu yang ia butuhkan.

Kawan saya bercerita tentang beberapa kepedulian yang dilakukan ayahnya sebelum ia meninggal. Melepitkan jas hujan, menjemputnya dari tempat kerja, khawatir anaknya kehujanan dan perhatian sepele lain namun saat ini menjadi sangat bermakna. Mungkin itu kenangan yang akan ia ingat panjang dan akan diceritakan terus berulang-ulang. Saya kira itulah derita mengenang seseorang. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kita hidup.

Rabu, 24 November 2021

rindu senja

setiap senja datang
aku selalu rindu padamu

kamu adalah deretan pepohonan
ketika kabut mulai turun dan
tulus menerima semburat berwarna Amarilis
menyusup melalui sela-sela dahan

kamu adalah bumi yang setia
menunggu hujan jatuh
meruapkan wangi aroma tanah

kamu adalah kicau kenari
pada jalan setapak di hutan mendaki

kamu adalah cermin yang tidak
menyisakan ruangan untuk bersembunyi

magrib datang dan kita masih di jalan
menyusuri pinggir danau yang
memantulkan warna awan

malam perlahan-lahan
melenyapkan segala
kecuali warnamu dan ingatanku
warnamu rona-rupa mentari
ingatanku energi yang kekal mencari

aku mencintaimu dengan sederhana
seperti kamu mencintai langit ketika sore tiba



Minggu, 31 Oktober 2021

Belok Kanan Planet Pluto

Dulu, basa-basi dari tuan rumah "Jangan kapok maen ke sini lagi ya!" dan "Udah nginep aja!" menurut saya hanya sekedar formalitas sopan-santun biasa, sampai saya tiba di Cabangbungin. Daerah yang konon kabarnya hanya berjarak setengah jam dari planet Pluto.

Cabangbungin memang bukan seperti Rengasdengklok yang terkenal dengan tempat penculikan proklamator. Ia lebih dikenal dengan istilah tempat penculikan anak dedemit.

"Lah banget jauh!" Tuan rumah berkomentar dengan bahasa yang lucu ketika kami masih di jalan, sekitar 35 kilo dari pusat peradaban terdekat. Lokasi yang ia share tidak membantu, karena ia memberi live location yang berubah-ubah. Memang aneh.

"Lurus aja, sampe ketemu desa, trus patokannya depot isi ulang," ia memberi arahan. Awalnya saya pikir, masih jauh dan lurus aja itu kalimat yang membingungkan. Karena bisa saja kami salah berbelok di jalan persimpangan entah dimana. Tapi instruksi itu benar. Di jalanan desa, kita tidak akan salah berbelok. Pilihannya adalah antara mengikuti jalan yang ada atau berbelok ke galangan sawah.

Saya tidak bertemu Robet sejak lulus Aliyah. Tentu Robet bukan nama sebenarnya, di kampung tidak ada orang tua yang mengambil resiko menamai anak dengan nama yang berpotensi menjadi penghuni neraka. Nama sebenarnya mengingatkan kita pada tokoh sufi wanita termasyhur; Rabi'ah al-Adawiyyah.

Itu kali pertama saya main ke rumahnya. Sehari sebelum kunjungan, grup WA kelas ramai karena Njay mengusulkan untuk berlebaran ke Kiyai Fachruddin dan mampir ke rumah Biah. Seperti biasa, beberapa orang menyetujui. Beberapa kawan memohon maaf karena tidak bisa ikut. Sisanya tidak berkomentar.
 
"Kita tunggu aja sampai jm 10. Kalo ga datang, ya kita tinggal." Kata saya ke Njay, ketika menunggu beberapa kawan lain yang bilang akan ikut.
 
Njay sepertinya selalu berpikir positif. Ia masih yakin Edo dan Erte akan datang. Ia tidak sadar sedang berhadapan dengan politisi tingkat akar rumput yang hobi ngerjain orang.
 
Pernah suatu hari, Deni Bagong si Erte mengerjai kawan kami Ihsan Sempak. Ketika Edo yang saat itu masih duda, akan melangsungkan pernikahan, Sempak berencana ikut. Kami berkumpul di rumah Edo dan berencana ikut rombongan besan.

"Lu bilang apa ke Sempak, Gong?" Tanya saya ke RT super sibuk itu.

"Gua suruh ke sini. Gua bilang kita tungguin."

"Lah kita bentar lagi mau berangkat, Lih!" Kata saya bingung.

"Biarin! Kita tinggal aja." Bagong nyengir, "kalo beneran dia sampe sini, baru kita share loc lokasi acara."

Memang niat Erte mau ngerjain. Karena bisa saja dia langsung share loc sehingga bisa langsung ke lokasi tanpa berjalan memutar. Benar saja. Sempak tiba di rumah Edo dan bersungut-sungut karena mendapati rumah telah sepi.
 
Kendaraan melewati depot isi ulang air minum yang menjadi patokan rumah Biah karena memang tidak terlihat di pinggir jalan. Biah menelpon meminta kami memutar balik. Entah bagaimana dia tau kendaraan sudah kebablasan? Apakah kendaraan kami satu-satunya yang lewat jalan itu, karena masyarakat masih menggunakan kuda dan pedati sebagai alat transportasi?

Kentung, sopir kami, memutar balik kendaraan di jalan yang saya pikir tidak akan ada ujungnya, akhirnya kami tiba di lokasi.
 
“Edo pernah kesini, Bi?” saya bertanya pada tuan rumah tidak beberapa lama setelah duduk di sofa.

“Pernah. Naek sepeda malah. Kirain mah sekarang mikut!”

“Mmm, tau gua sekarang kenapa dia gak mau ikut,” saya nyengir.

“Kenapa?” Biah penasaran.

“Kapok!” saya terbahak.

Setelah banyak cerita dan tertawa. Tuan rumah mempersilahkan kami makan. Hidangan dikeluarkan, dan saya menduga ia akan mengadakan acara syukuran panen raya. Banyak sekali makanan yang disajikan; bekakak ayam, sayur asem, telur asin, lalapan, dua macam sambel belum lagi kue lebaran yang tidak sanggup kami cicipi semua.
 
“Iya, kirain banyak yang ikut, jadi dimasakin banyak.” Biah berdalih, “Abisin pokoknya!”

Saya tidak menyalahkan kawan-kawan yang bilang akan ikut, tapi ternyata tidak bisa hadir. Semakin dewasa saya semakin bisa memaklumi. Kami bukan lagi anak 17 tahun yang hanya bangga pada komunalitas semu. Niat silaturahim dan kesenangan mengobrol dengan tuan rumah yang lama tidak bertemu merupakan kesyukuran yang tidak boleh dirusak dengan hal sepele. Begitulah seharusnya persahabatan yang tulus, memahami kondisi yang mungkin tidak lagi sama. Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.

“Ayo Tung jamaah!” Saya mengajak Kentung Salat Asar setelah kenyang makan.
 
“Ntar dulu napa, masih bega ini perut,” Kentung bersandar di sofa.

Saya, Njay dan Fawwaz tidak menghiraukan Kentung dan memulai salat.

“Kiblatnya ke arah sini, Bi?” tanya saya ke tuan rumah.

“Iya, itu kan udah digelarin sejadah,” Biah menjawab sambil lewat.

Saya melantunkan Iqomah, Njay berdiri menjadi imam. Tidak lama setelah itu, dalam keadaan salat, belum selesai rakaat pertama, Biah setengah berteriak mengingatkan, “Eehh, kiblatnya salah!”

Dalam hati saya mengumpat, “Tadikan gua udah tanya, Markonah! Lu bilang iya!”
 
Saya menahan tawa dan menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Tawa saya pecah, begitu melihat Njay membatalkan salat sambil misuh, “Lah gimana sih?!”

Di ruang tengah Kentung terbahak, “Kualat lu, solat ninggalin gua sih!”