Minggu, 08 Januari 2012

Muhammad

Rindu kami padamu ya rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya rasul
Serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
-Bimbo


Mungkin iman memang sesuatu yang absurd untuk dipetakan. Perjalanan keimanan bukanlah perjalanan yang linier, ia begitu fluktuatif. Kadang-kadang menurun seperti palung yang dalam, kadang-kadang melesat seperti sebuah lompatan kuantum. Hari ini bisa jadi kau membenci sesuatu, tetapi mungkin lain di hari yang lain.

Hinaan terhadap Nabi Muhammad kembali muncul. Seseorang boleh jadi sangat membenci Muhammad Rasulullah, seperti yang kita lihat belakangan di halaman-halaman web, tentang komik-komik yang menggambarkan Muhammad sebagai seorang amoral yang berusaha bersembunyi di balik firman Tuhan. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, seseorang yang belum kita kenal itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Muhammad, lalu kebencian mengusai hatinya.

Kebencian bukanlah akhir dari segalanya, setidaknya itulah yang saya yakini ketika mengingat kembali kisah Umar Bin Khattab, juga Saint Paul dari Tarsus. Keduanya adalah contoh yang sempurna untuk menunjukkan bahwa kebencian hanyalah bagian dari absurditas iman yang kadang-kadang justru mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.

Umar bin Khattab semula adalah penentang Islam dan pembenci Muhammad yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang menambatkan imannya pada keponakan Abu Thalib itu. Tetapi iman memang absurd, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ia mengalami lompatan iman (leap of faith, meminjam istilah Kierkegaard) yang luar biasa. Pada gilirannya, dialah pembela Islam dan pelindung Muhammad yang paling keras. Umar Sang Pemberani, Singa Padang Pasir, begitulah Muhammad Rasulullah menjulukinya untuk keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul dari segala marabahaya.

Contoh lain juga mengabarkan hal serupa. Saul dari Tarsus, Silisia, seorang keturunan Yahudi pembenci Yesus dan penentang ajaran Kristiani. Pada gilirannya ia menjadi seorang apostle, seorang saint, yang sangat berpengaruh dalam sejarah persebaran iman Kristiani dan pembela Yesus nomor satu. Lalu ia dikenal kemudian sebagai Saint Paul atau Paulus, sosok penting dalam penyebaran iman Kristiani. Dalam kasus ini, lompatan iman kembali terjadi dengan absurditas yang sulit dimengerti.

Untuk menyebut nama lain, kita mengenal Mariam Jamila, Dr. Jenkins, dan lainnya yang mengalami hal serupa. Bahwa kebencian bukanlah akhir dari segalanya, kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan.

Lagi-lagi, penghinaan terhadap Muhammad Rasulullah muncul. Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang berteriak geram, saya hanya diam, sambil membayangkan Rasulullah yang agung itu sedang bertanya sendu: benarkan kalian mencintaiku? Ketika sampai pada pertanyaan itu, saya menimbang: haruskan saya marah dan turun ke jalan, membakar ban dan melempari apa saja—menuduh siapa saja? Ataukah saya harus memberitahu mereka, mengabarkan sosok Muhammad, yang di mata Goethe, adalah cahaya di atas cahaya. “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” kata Karen Armstrong.

Bila Muhammad masih di sekitar kita, melihat penghinaan itu, ia mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti saat ia dilempari batu dan dihinakan orang-orang di Thaif, dan Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “Bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.”

Mereka hanya belum tahu, maka kebencian merambati hatinya dan meledakkan komik-komik itu di mana-mana. Andai saja mereka tahu, batin saya berbisik.

Maka, saya memutuskan untuk tidak meledakkan kemarahan di jalan-jalan, yang saya ingin lakukan hanyalah satu: saya ingin mengabarkan tentang siapa Muhammad Rasulullah pada sebanyak mungkin orang, pada siapa saja. Sebab, kejadian ini seperti menyentakkan kesadaran saya, seperti Rasulullah yang bertanya sendu: benarkah kalian mencintaiku?

No Religion is an Island. Tak ada agama yang menjadi pulau bagi dirinya sendiri, kata Abraham Heschel, seorang Rabi Yahudi. Mustahil bila agama-agama di dunia ini mengisolasi diri dari yang lain dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan. Selama ini cara beragama kita seperti saling mengasingkan bahkan penuh persaingan. Kita masih terjebak pada logika kami dan mereka, aku dan kamu, seraya menjerembabkan mereka ke dalam penghinaan. Padahal sebuah agama tidak bisa hanya menjadi pulau yang bersendiri, tak bisa hanya mengandalkan kami, sebab mereka bisa jadi merupakan orang-orang yang menyempurnakan iman kita.

Jadi, lihatlah sisi lainnya. Mungkin komik-komik itu justru mengingatkan kita, benarkah kita sudah cukup mencintai Muhammad Rasulullah? Juga bisa jadi, komik-komik itulah yang menyadarkan kita bahwa selama ini betapa abai kita pada sosok Muhammad. "Saatnya menyebarkan cinta," itulah yang akan dikatakan Jalaluddin Rumi bila mengetahui semua ini. Bila mereka begitu rajin menghina dan mengolok-olok Muhammad Rasulullah, seberapa rajinkah kita memuji dan mengagungkannya?

Iman adalah sesuatu yang absurd dan tak bisa disimpulkan begitu saja. Bila kita mengabarkan cinta pada semua manusia, bila kita mengabarkan keagungan Muhammad pada semua manusia, orang-orang yang selama ini membencinya bisa jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi, seperti Saul pada Yesus. Seperti Umar pada Muhammad.

Dikutip dari Fahd Djibran