Waktu lebaran kemarin Nada, anak perempuan saya, punya kaus baru berwanrna jingga bertuliskan ‘Mom’s Little Champion’. Nggak ada yang terlalu istimewa atau aneh dengan tulisan itu. Hanya saja, apakah setiap anak harus jadi juara?
Ah, untuk anak umur tiga belas bulan seperti Nada, mungkin belum ngerti apa maksud tulisan di kausnya. Beruntunglah dia karena nggak terbebani dengan predikat sebagai ‘Sang Juara’, entah juara apa. Lagipula, bagi istri saya, segala kelakuan Nada, apapun itu, adalah juara. Waktu ia menangis keras, dia menjadi ‘juara menangis’. Waktu ia menggigit ketika digendong, dia menjadi ‘juara menggigit’. Waktu ia menghabiskan bubur dalam mangkok, ia juara. Waktu ia bisa menunjuk dimana letak hidungnya, ia juara. Waktu ia baru bisa berjalan, ia juara. Bahkan waktu ia pup setiap hari, ia juara. Dan jika ingin diteruskan masih akan ada banyak lagi juara-juara aneh lainnya. Juara-juara yang nggak akan diberikan untuk orang dewasa seperti kita.
Masa anak-anak adalah masa dimana orang tua bisa memakaikan pakaian berjenis apapun atau bertuliskan apapun. Sekonyol apa pun, senorak apa pun, sengejreng apapun, si anak nggak akan merasa keberatan. Jelas saja, mereka kan memang belum bisa menilai. Biasanya para orang tua hanya punya satu acuan teknis untuk menilai; lucu. Saya pun sering memakaikan celana dalam sebagai topi untuk anak saya. Sekali lagi, si anak nggak akan merasa keberatan. Bahkan mungkin ia akan senang, karena ia banyak melihat senyuman, banyak mendengar pujian, banyak merasakan ciuman.
Saya berharap dia benar-benar menjadi juara. Saya ingin slogan itu dibawa sampai dewasa. Dia akan selalu menjadi anak manis yang penurut. Rajin belajar. Pintar. Itu harapan saya, namun keinginan terkadang nggak sesuai dengan kenyataan. Mungkin saja seiring berjalannya waktu, seiring bertambahnya usia, akan ada banyak perubahan pada anak saya. Mungkin ia akan mulai bisa menilai warna apa yang cocok untuknya, model apa yang sedang trend, jenis musik apa yang ia sukai. Mungkin ia mulai nggak belajar dengan serius. Mendapatkan bebrapa nilai jelek di sekolah.
Dan, ayo lah… kita tentu sudah tahu bahwa menjadi juara itu nggak mudah. Juara itu hanya satu, sementara yang menjadi peserta ada puluhan bahkan ratusan orang. Bukankah itu berat. Bayangkan jika semua orang menginginkan untuk jadi juara. Bayangkan jika seluruh orang tua menginginkan anaknya juara, menargetkan mereka untuk jadi juara. Mendorong mereka untuk jadi juara kelas, untuk jadi juara Matematika, juara piano, balet, Bahasa Inggris dan lain-lain seperti idealnya banyak orang tua inginkan. Bayangkan jika semua orang tua menginginkan anak mereka menjadi juara, sementara yang berhak menjadi juara hanya satu.
Dan mari kita jujur. Berapa banyak diantara kita yang menyontek ketika ujian karena takut nilai jelek. Berapa banyak diantara kita yang rela mengeluarkan uang banyak hanya karena ingin masuk sekolah favorit. Berapa banyak yang ingin menjadi juara dengan cara curang. Bukankah itu hanya menjadikan kita sebagai manusia yang culas. Semua itu penyebabnya hanya semata-mata karena tekanan sosial yang meletakan prestasi belajar di sekolah di atas segala-galanya. (Maklumi saja ya, saya menjadi sinis begini karena pengalaman nggak pernah jadi juara. Hahahaha…)
Bisakah kita, ketika mereka telah dewasa nanti, menanamkan di diri kita sendiri –bukan pada mereka— slogan ‘Mom’s Little Champion’ tanpa ada tendensi untuk membebani mereka dengan predikat itu. Bisakah kita secara sederhana menyematkan juara pada setiap tindakan baik mereka seperti yang biasa kita lakukan ketika mereka kecil?
Aduh, kenapa saya ini? Kenapa berpikir terlalu jauh? Untuk memahami ucapan saja anak saya belum bisa, kenapa perlu berpikir sejauh itu. Maaf, maafkan penulis iseng yang mengajak berpikir terlalu jauh ini.
Mungkin kaus-kaus itu dicetak hanya untuk lucu-lucuan saja, tanpa punya tendensi apapun. Tanpa usaha mendoktrin. Seperti slogan: Mom’s Little Angel atau When I Grow Up I Want to be Just Like Dad. Ya, mungkin saja slogan-slogan itu nggak bermasud terlalu jauh. Nggak bermaksud menjejalkan pemikiran-pemikiran normatif yang seharusnya mereka miliki ketika dewasa. Mungkin saja. Kaus hanyalah kaus.
Karena bagaimanapun, kita nggak bias memaksa anak kita untuk bilang bahwa orang tua mereka adalah yang terbaik di dunia, jika memang mereka nggak merasakannya?