Beberapa Minggu terakhir ini banyak orang ribut tentang pulsa yang dicuri. Awalnya, saya pikir pencurian pulsa macam itu hanya terjadi pada mereka yang punya pulsa ratusan ribu. Jadi awalnya saya menganggap hal semacam itu nggak akan terjadi ke saya, karena saya paling banyak punya pulsa sekitar 10 atau 20 ribu. Sehingga, saya merasa sangat kesal ketika dengan pulsa yang sedikit itupun, operator itu tiba-tiba mengambilnya. Ini sangat menjengkelkan!
Ini bukan kekesalan karena SMS ‘mama minta pulsa’ yang jika dijawab akan menyedot pulsa yang bersangkutan. Bukan, bukan itu! Karena sejak pertama kali SMS itu muncul, saya nggak pernah merasa tertarik untuk membalas SMS model gituan. Butuh hal yang lebih provokatif lagi untuk bisa membuat saya menjawab SMS dari nomer yang nggak saya kenal. Ini tentang kekesalan karena saya nggak pernah tertipu SMS, juga nggak pernah ikutan program-program yang diberikan oleh operator, nggak juga punya pulsa yang jutaan, tapi kenapa beberapa minggu terakhir ini pulsa saya terpotong dengan sendirinya?
Saya pelanggan M3-Indosat, dan sekarang ini —seperti sebagian pelanggan yang lain, sedang sangat kecewa. Saya nggak mempermasalahkan jumlah pulsa yang mereka ambil, karena jujur saja seperti yang saya katakan di atas, saya bukan termasuk orang yang banyak menggunakan pulsa telepon dalam keseharian. Yang saya masalahkan di sini adalah cara mereka mengambil pulsa saya, uang saya, itu adalah termasuk tindak pidana pencurian yang jika di dunia nyata sudah pasti babak belur dihajar masa.
Saya menulis kekesalan saya di sini supaya lebih efektif dan nggak hanya sekedar caci maki sampah, berharap mudah-mudahan ada pihak Indosat yang membaca. Untuk memulai makian ini, terlebih dahulu saya akan berika beberapa fakta.
• Fakta pertama, pelanggan operator telekomunikasi di Indonesia secara umum mencapai hampir 200 juta. Maka jika rata-rata pelanggan memberikan 10 ribu rupiah seminggu, maka totalnya mencapai hampir 2 triliyun. Artinya, operator mendapatkan rata-rata 8 triliyun perbulannya.
• Fakta kedua, 90 persen lebih pelanggan adalah pelanggan pra bayar. Artinya, pelanggan membayar terlebih dahulu baru kemudian menerima fasilitas. Dengan kata lain juga, pelanggan menitipkan uang mereka yang telah berubah menjadi bentuk pulsa ke para operator.
• Fakta ketiga, Indonesia yang memiliki 240 juta penduduk mempunyai minimal 12 perusahaan telekomunikasi. Padahal, China yang penduduknya 1,3 miliar hanya memiliki tiga operator, sedangkan India dengan 1,1 miliar penduduk mempunyai tujuh operator seluler. Artinya, negara kita punya terlalu banyak operator telekomunikasi yang mengakibatkan persaingan nggak sehat. Bisa dilihat dari iklan yang saling memojokan satu sama lain. Nggak elegan sama sekali!
Masih banyak lagi fakta yang silahkan bisa ditemukan dari mesin pencari. Jujur saja, pencurian pulsa ini sungguh lebih rumit dari pencurian-pencurian model lain yang biasanya dilakukan oleh para kriminal kelas teri. Tukang ngamen contohnya, mungkin sebagian kita menganggap beberapa orang pengamen menjengkelkan dan termasuk para kriminal kelas teri ini. Kita menganggap begitu mungkin karena mereka sering mencaci jika tidak diberi uang. Tapi, semiskin atau sesusah apa pun hidup mereka, mereka nggak cukup gila untuk tiba-tiba merogoh dompet kita kemudian mengambil recehan sambil bilang, “Gue udah nyanyi dan elo semua udah nikmatin lagu gue, jadi gue ambil bayarannya!”
Seandainya ada yang nekad melakukan itu, seperti kebanyakan kriminal kelas teri lainnya, mereka akan mengalami pembengkakan di wajah secara sporadis karena bogem mentah masa. Tapi dengan pencuri pulsa yang bahkan tanpa melantunkan lagu sedikitpun ini, kita nggak bisa walau hanya menjotos hidung mereka sampai patah.
Tentang masalah ini sebenarnya Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring telah melakukan tindakan yang cepat. Yaitu dengan memanggil operator terkait kemudian diberikan peringatan. Bahkan dia mengatakan konsumen bisa mendapatkan kembali pulsa yang 'disedot' oleh operator nakal. Hal itu diatur dalam Peraturan Menkominfo No 1 tahun 2009 tentang Pelayanan Jasa Pesan Premium.
Yang kemudian menjadi masalah saya adalah saya tidak pernah mengikuti layanan Jasa Pesan Premium tapi pulsa saya habis begitu saja tanpa tahu rimbanya. Pertanyaan yang terus menggelantung di kepala saya adalah bisakah pulsa itu dikembalikan? Kalaupun bisa, bagaimana caranya?
Jika pulsamu tersedot, kemudian kamu mendatangi gerai operator telekomunikasi terdekat dan mengatakan, “Mbak, saya mau pulsa saya balik.”
“Berapa yang hilang memang?”
“Lima ribu.”
“Oke. Tunggu sebentar ya.”
Setelah menunggu beberapa lama si mbaknya ngomong, “Mana buktinya?”
Dan percakapan selanjutnya adalah caci maki kembali.
Dan ini makian saya kepada Indosat dan para operator maling lainnya, “Aturan mainnya gampang, Idiot! Kau kecewakan pelangganmu, maka mereka akan meneriakimu.”
-:(الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالي/ ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء):-
Minggu, 30 Oktober 2011
Jumat, 28 Oktober 2011
Semuanya Basah di Matanya
Dari sebuah jendela, pada sebuah rumah yang belum jadi, ada sepasang mata menatap keluar. Mata yang dulu bisa menaklukan setiap tatap lelaki yang berani menyelaminya. Tapi sekarang mata itu redup, menyimpan jutaan kenangan redup, pada sisa waktu yang juga makin meredup.
Diluar rumah, cucu-cucu kesayangannya sedang bermain, menggelar sebuah sandiwara realis tentang pedagang dan pembeli, beberapa cucunya yang lain berkejaran saling memukul. Teriakan dan tawa mereka adalah nyanyian kehidupan, begitu ceria dan jernih. Angin sore berlarian disela-sela batang sengon yang berjajar di depan rumah kemudian mengoyang-goyang dedaunannya. Jajaran sengon yang setia itu seperti mencoba meraih dan menggapai-gapai sinar senja keemasan dari arah barat; rumah itu menghadap timur. Senja kala itu, seperti senja-senja yang kemarin, masih menyisakan beberapa sesal.
Sore itu ia kembali menangis, teringat peristiwa-peristiwa lampau yang pernah ia alami. Ia teringat suami keduanya yang hilang dibawa penjajah Belanda, ketika ia masih mengandung anak ketiga. Tentang suami terakhirnya yang kini telah berpulang mendahului. Tentang anak-anaknya yang jauh merantau dan hampir melupakannya. Juga tentang beberapa kenangan suram yang masih tersimpan dalam memorinya yang sederhana. Disaat sendiri seperti itu, merenung adalah satu-satunya hal yang sangat mungkin dilakukan; memandangi dunia dimana ia tak lagi menjadi bagian darinya.
Ia masih menatap keluar, lelehan air mata sengaja tidak dihapus karena akan percuma, ia masih ingin menangis —menangisi. Hal itu membuatnya puas, tenang. Ia masih mampu mengerjakan segala hal. Segala indra yang ada padanya masih berfungsi. Ia masih mendengar, melihat, mengecap, membaui dengan normal seperti orang-orang sehat lainnya, juga yang terpenting ia masih bisa berpikir dengan baik dan benar juga baku, seperti Bahasa Indonesia –hal yang mencirikannya sebagai makhluk Tuhan yang bernama manusia. Satu hal yang tidak bisa ia kerjakan; berjalan keluar rumah. Ia lumpuh.
Ada yang ia tunggu sore itu.
“Kapan anak itu datang?” ia bertanya pada anak perempuannya yang mengurusinya di rumah itu, yang tiba-tiba masuk kamar untuk mengambil piring-piring kotor sisa makan siangnya.
“Entah, mungkin sore ini.” Jawab anak perempuan itu singkat, sambil segera keluar kamar.
Dalam kamar itu ia duduk pada sebuah dipan, bersandar pada bantal-bantal yang susah payah ia susun dengan satu tangan. Tujuh tahun lalu strook membuat sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Sekarang ia hanya bisa melakukan segalanya dari atas ranjang yang semakin riuh oleh waktu.
Sore itu, seperti yang dikatakan anak perempuannya, cucunya dari Jakarta akan datang. Dan akhirnya, anak yang ditunggu-tunggu itu datang.
“Apa kabar, mBah?!” anak itu menyapa sambil mencium telapak tangan kiri neneknya yang masih bisa digerakkan.
“Baik!” jawab nenek itu singkat dan spontan. Seketika mata mereka beradu, ada kerinduan yang tak terucap dari mata keduanya. Ia kembali menangis. Entah karena apa.
Anak itu meletakan barang-barang bawaannya ke dalam lemari kosong yang ada di kamar itu. Pakaian untuk satu minggu juga beberapa buku yang sengaja ia siapkan untuk menemani perjalanannya, ia tata sekenanya. Dipan yang besebrangan dengan dipan neneknya yang disiapkan untuknya, juga ia tata sekenanya. Setelah selesai dengan ritual rapi-merapikan itu, ia duduk pada dipannya, kemudian kembali menatap neneknya. Sekali lagi, mereka bersitatap.
“Kabar bapakmu, gimana? Ibumu? Adik-adikmu?” dengan suara patah-patah, si nenek mencoba membuka percakapan lagi, “kenapa tidak ikut kemari?”
Anak itu diam. Masih menatap mata si nenek, sambil menata nafas ia mencoba menjawab, berpikir untuk menjawab lebih tepatnya, karena ia tahu jawaban hanya akan menambah kesedihan neneknya. Bukan kali itu saja pertanyaan itu ditanyakan, dan bukan kali itu saja anak itu mencoba untuk diam atau mengalihkan pembicaraan. Si nenekpun sepertinya tahu, ia tidak memaksa.
Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum krisis ekonomi menerpa negerinya, anak itu dan keluarganya sering berkunjung ke tempat si nenek. Paling tidak setiap libur lebaran atau libur sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring perputaran nasib yang tidak menentu, mereka tidak bisa terlalu sering berkunjung. Keadaan yang memaksa ayahnya untuk kehilangan pekerjaan. Keadaan pula yang memaksa dirinya untuk menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Karena ia adalah anak tertua maka dialah yang bertanggungjawab untuk mengurusi adik-adiknya yang lain.
Senja kini berganti malam, mengubur siang-siang yang lelah. Percakapan-percakapan malam hari berganti pada percakapan hal-hal praktis, tentang perjalanan, keadaan, makanan juga tujuan kedatangan si anak.
“Aku cuma seminggu disini, mBah!” si anak menjelaskan, “hanya ingin menengok keadaan simbah.” Si nenek hanya menatap si anak dan tidak berkomentar, ia tahu sebentar lagi akan keluar penjelasan lain dari mulut cucunya itu.
“Sekarang memang aku belum dapat pekerjaan. Tapi aku sudah beberapa kali memasukan lamaran di beberapa perusahaan. Jadi tinggal menunggu panggilan. Kalaupun tidak ada panggilan sampai bulan depan, temanku juga ada yang menawariku pekerjaan, jadi simbah tidak usah khawatir.” Anak itu seakan-akan tahu kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan neneknya. Walaupun ia sendiri tidak yakin dengan penjelasannya sendiri. Kegagalan terkadang membuat seseorang menjadi pesimistis.
Si nenek tidak banyak komentar malam itu. Dari suaranya ia tahu cucunya lelah dan ingin istirahat. Anak lelaki dari anak lelakinya yang sangat ia sayangi, karena cuma dia yang tidak ragu-ragu memeluknya jika ia butuh untuk dipeluk. Tidak peduli dengan bau yang tidak karuan yang keluar dari tubuh kakunya.
Burung dandang berbunyi getir dan jauh mengingatkan pada kematian yang terkadang juga getir dan jauh. Tangan-tangan dingin angin malam menggesekkan daun-daun, menimbulkan bunyi gemerisik. Sesaat sepi berkelebat.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, kembali terulang rutinitas memejamkan mata. Biasanya, kegiatan itu diiringi dengan menghitungi dan mengingati jumlah anaknya yang delapan, cucunya yang tiga puluh dan cicitnya yang lima. Dalam bayangan si nenek, suatu pagi nanti, ketika ia bangun dari tidurnya yang sebentar, ia ingin berada pada sebuah taman; taman hijau yang luas dimana ia bisa melihat mega senja jingga dengan puas. Di taman itu ia ingin menari. Ia ingin berlarian-bahagia seperti anak kecil. Semilir angin mengibarkan rambutnya yang terurai. Dalam balutan gaun putih yang terjuntai, ia menarikan tarian jiwa yang paling rumit. Menarikan angin, api, bumi dan air. Bunga-bunga beraneka warna meruapkan beraneka aroma pada setiap inchi udara, menejukan rongga paru-parunya. Ia melompat, bersijingkat, meliuk, menari mengikuti kata hati. Berputar dan terus berputar seperti Darwis yang mabuk tuhan dalam lantunan dzikir. Cericit burung dan reriak sungai semakin menyempurnakan irama yang mengiringi tariannya. Tarian hanya dia yang tahu.
Itu yang ada dalam bayangannya.
Kenyataannya, setiap membuka mata dalam tidur yang sebentar, ia selalu menemukan dirinya masih berada di tempat yang sama. Pada dipan yang sangat ia kenal dan mengenalnya, menciumi bau tubuhnya sendiri juga kotoran-kotoran yang keluar dari dalamnya. Berpendar remang lampu yang sering membuatnya sulit memejamkan mata. Mendengarkan cicak, cericit tikus dan terkadang bunyi burung dandang yang getir dan jauh. Ditemani hal-hal itu, juga nyamuk-nyamuk nakal dan udara dingin malam yang menusuk-nusuk, ia terus bertahan. Bertahan untuk menahan tangis-tangisnya sendiri, sampai batas akhir hidupnya yang entah.
>>> In memoriam Simbah Aliyah binti Nawawi Allahu yarhamha wa 'afiha wa'fu'anha
Diluar rumah, cucu-cucu kesayangannya sedang bermain, menggelar sebuah sandiwara realis tentang pedagang dan pembeli, beberapa cucunya yang lain berkejaran saling memukul. Teriakan dan tawa mereka adalah nyanyian kehidupan, begitu ceria dan jernih. Angin sore berlarian disela-sela batang sengon yang berjajar di depan rumah kemudian mengoyang-goyang dedaunannya. Jajaran sengon yang setia itu seperti mencoba meraih dan menggapai-gapai sinar senja keemasan dari arah barat; rumah itu menghadap timur. Senja kala itu, seperti senja-senja yang kemarin, masih menyisakan beberapa sesal.
Sore itu ia kembali menangis, teringat peristiwa-peristiwa lampau yang pernah ia alami. Ia teringat suami keduanya yang hilang dibawa penjajah Belanda, ketika ia masih mengandung anak ketiga. Tentang suami terakhirnya yang kini telah berpulang mendahului. Tentang anak-anaknya yang jauh merantau dan hampir melupakannya. Juga tentang beberapa kenangan suram yang masih tersimpan dalam memorinya yang sederhana. Disaat sendiri seperti itu, merenung adalah satu-satunya hal yang sangat mungkin dilakukan; memandangi dunia dimana ia tak lagi menjadi bagian darinya.
Ia masih menatap keluar, lelehan air mata sengaja tidak dihapus karena akan percuma, ia masih ingin menangis —menangisi. Hal itu membuatnya puas, tenang. Ia masih mampu mengerjakan segala hal. Segala indra yang ada padanya masih berfungsi. Ia masih mendengar, melihat, mengecap, membaui dengan normal seperti orang-orang sehat lainnya, juga yang terpenting ia masih bisa berpikir dengan baik dan benar juga baku, seperti Bahasa Indonesia –hal yang mencirikannya sebagai makhluk Tuhan yang bernama manusia. Satu hal yang tidak bisa ia kerjakan; berjalan keluar rumah. Ia lumpuh.
Ada yang ia tunggu sore itu.
“Kapan anak itu datang?” ia bertanya pada anak perempuannya yang mengurusinya di rumah itu, yang tiba-tiba masuk kamar untuk mengambil piring-piring kotor sisa makan siangnya.
“Entah, mungkin sore ini.” Jawab anak perempuan itu singkat, sambil segera keluar kamar.
Dalam kamar itu ia duduk pada sebuah dipan, bersandar pada bantal-bantal yang susah payah ia susun dengan satu tangan. Tujuh tahun lalu strook membuat sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Sekarang ia hanya bisa melakukan segalanya dari atas ranjang yang semakin riuh oleh waktu.
Sore itu, seperti yang dikatakan anak perempuannya, cucunya dari Jakarta akan datang. Dan akhirnya, anak yang ditunggu-tunggu itu datang.
“Apa kabar, mBah?!” anak itu menyapa sambil mencium telapak tangan kiri neneknya yang masih bisa digerakkan.
“Baik!” jawab nenek itu singkat dan spontan. Seketika mata mereka beradu, ada kerinduan yang tak terucap dari mata keduanya. Ia kembali menangis. Entah karena apa.
Anak itu meletakan barang-barang bawaannya ke dalam lemari kosong yang ada di kamar itu. Pakaian untuk satu minggu juga beberapa buku yang sengaja ia siapkan untuk menemani perjalanannya, ia tata sekenanya. Dipan yang besebrangan dengan dipan neneknya yang disiapkan untuknya, juga ia tata sekenanya. Setelah selesai dengan ritual rapi-merapikan itu, ia duduk pada dipannya, kemudian kembali menatap neneknya. Sekali lagi, mereka bersitatap.
“Kabar bapakmu, gimana? Ibumu? Adik-adikmu?” dengan suara patah-patah, si nenek mencoba membuka percakapan lagi, “kenapa tidak ikut kemari?”
Anak itu diam. Masih menatap mata si nenek, sambil menata nafas ia mencoba menjawab, berpikir untuk menjawab lebih tepatnya, karena ia tahu jawaban hanya akan menambah kesedihan neneknya. Bukan kali itu saja pertanyaan itu ditanyakan, dan bukan kali itu saja anak itu mencoba untuk diam atau mengalihkan pembicaraan. Si nenekpun sepertinya tahu, ia tidak memaksa.
Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum krisis ekonomi menerpa negerinya, anak itu dan keluarganya sering berkunjung ke tempat si nenek. Paling tidak setiap libur lebaran atau libur sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring perputaran nasib yang tidak menentu, mereka tidak bisa terlalu sering berkunjung. Keadaan yang memaksa ayahnya untuk kehilangan pekerjaan. Keadaan pula yang memaksa dirinya untuk menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Karena ia adalah anak tertua maka dialah yang bertanggungjawab untuk mengurusi adik-adiknya yang lain.
Senja kini berganti malam, mengubur siang-siang yang lelah. Percakapan-percakapan malam hari berganti pada percakapan hal-hal praktis, tentang perjalanan, keadaan, makanan juga tujuan kedatangan si anak.
“Aku cuma seminggu disini, mBah!” si anak menjelaskan, “hanya ingin menengok keadaan simbah.” Si nenek hanya menatap si anak dan tidak berkomentar, ia tahu sebentar lagi akan keluar penjelasan lain dari mulut cucunya itu.
“Sekarang memang aku belum dapat pekerjaan. Tapi aku sudah beberapa kali memasukan lamaran di beberapa perusahaan. Jadi tinggal menunggu panggilan. Kalaupun tidak ada panggilan sampai bulan depan, temanku juga ada yang menawariku pekerjaan, jadi simbah tidak usah khawatir.” Anak itu seakan-akan tahu kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan neneknya. Walaupun ia sendiri tidak yakin dengan penjelasannya sendiri. Kegagalan terkadang membuat seseorang menjadi pesimistis.
Si nenek tidak banyak komentar malam itu. Dari suaranya ia tahu cucunya lelah dan ingin istirahat. Anak lelaki dari anak lelakinya yang sangat ia sayangi, karena cuma dia yang tidak ragu-ragu memeluknya jika ia butuh untuk dipeluk. Tidak peduli dengan bau yang tidak karuan yang keluar dari tubuh kakunya.
Burung dandang berbunyi getir dan jauh mengingatkan pada kematian yang terkadang juga getir dan jauh. Tangan-tangan dingin angin malam menggesekkan daun-daun, menimbulkan bunyi gemerisik. Sesaat sepi berkelebat.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, kembali terulang rutinitas memejamkan mata. Biasanya, kegiatan itu diiringi dengan menghitungi dan mengingati jumlah anaknya yang delapan, cucunya yang tiga puluh dan cicitnya yang lima. Dalam bayangan si nenek, suatu pagi nanti, ketika ia bangun dari tidurnya yang sebentar, ia ingin berada pada sebuah taman; taman hijau yang luas dimana ia bisa melihat mega senja jingga dengan puas. Di taman itu ia ingin menari. Ia ingin berlarian-bahagia seperti anak kecil. Semilir angin mengibarkan rambutnya yang terurai. Dalam balutan gaun putih yang terjuntai, ia menarikan tarian jiwa yang paling rumit. Menarikan angin, api, bumi dan air. Bunga-bunga beraneka warna meruapkan beraneka aroma pada setiap inchi udara, menejukan rongga paru-parunya. Ia melompat, bersijingkat, meliuk, menari mengikuti kata hati. Berputar dan terus berputar seperti Darwis yang mabuk tuhan dalam lantunan dzikir. Cericit burung dan reriak sungai semakin menyempurnakan irama yang mengiringi tariannya. Tarian hanya dia yang tahu.
Itu yang ada dalam bayangannya.
Kenyataannya, setiap membuka mata dalam tidur yang sebentar, ia selalu menemukan dirinya masih berada di tempat yang sama. Pada dipan yang sangat ia kenal dan mengenalnya, menciumi bau tubuhnya sendiri juga kotoran-kotoran yang keluar dari dalamnya. Berpendar remang lampu yang sering membuatnya sulit memejamkan mata. Mendengarkan cicak, cericit tikus dan terkadang bunyi burung dandang yang getir dan jauh. Ditemani hal-hal itu, juga nyamuk-nyamuk nakal dan udara dingin malam yang menusuk-nusuk, ia terus bertahan. Bertahan untuk menahan tangis-tangisnya sendiri, sampai batas akhir hidupnya yang entah.
>>> In memoriam Simbah Aliyah binti Nawawi Allahu yarhamha wa 'afiha wa'fu'anha
Kamis, 27 Oktober 2011
It is easier to believe in God than denying Him
I just watched this movie yesterday. One quote left in my mind, "Be careful, Michael. Choosing not to believe in devil won’t protect you from it!”
Michael Kovak (Colin O'Donoghue) passes four years in a seminary school and abdicates his vows upon completion. However, after ordination, he writes a letter of resignation to his superior, Father Matthew, due to a lack of faith. But Father Matthew (Toby Jones) believes that Michael is called to be a priest. He later approaches Michael with an invitation to travel to Rome in order to attend a class on exorcism. Michael reluctantly accepts after being told by Father Matthew that he will be levied a $100,000 student loan if he leaves immediately, but that if he still desires to resign from his position after taking the class, then they will discuss it then (hinting that he may be free to leave).
During classes, he finds his self is skeptic and very tentative in his faith. Father Xavier (Ciarán Hinds) later asks Michael to see a friend of his, Father Lucas (Anthony Hopkins), who is a renowned Welsh Jesuit exorcist. However, Michael remains skeptical, even after witnessing several preternatural events.
The conflict had climax when Father Lucas begins behaving strangely, exhibiting signs of demonic possession. Finally, due to the condition of no one can perform the exorcism except him; Michael decides to perform the exorcism on his own. After constant rebuking by the demon and a long, drawn out fight, Michael regains his once lost faith and is able to force the demon. In the fight, the demon asks Michael to believe in him. Michael says, “Yes, I believe in you. So, I believe in God, too.” He completes the exorcism, and the powerful demon leaves Father Lucas.
Minggu, 16 Oktober 2011
SMS: Short Message Sialan
Menurut gue, bonus yang diberikan setiap operator telepon terlalu absurd. Dalam sehari ada operator telepon yang memberikan bonus seribu SMS. Gue ulangin, seribu SMS! Seribu SMS sehari? Siapa orang kurang kerjaan yang mau mengirim seribu SMS dalam sehari? Kecuali jaringan SMS ‘mama minta pulsa’ tentunya!
Ya, memang hape adalah sebuah pendewaan baru yang kadang-kadang kita gak sadari. Dan gue punya cerita konyol tentang itu.
***
“Bang, Gue punya pulsa SMS banyak!” suatu hari adik perempuan gue berkata tiba-tiba, “Iya kemaren gue nemu simkard di jalan. Kalo mau pake, pake aja!”
“Berapa pulsanya, Dek?” gue nanya kalem.
“Kemaren sih waktu gue nemu masih seratus, sekarang tinggal 80-an gitu deh. Abisin aja, masa berlakunya cuma sampe hari ini doang, Bang! Gue aje dari kemaren ngerjain temen-temen.”
“Oh gitu.”
Ketiban duren. Menurut gue, berita ini jauh lebih baik daripada SMS: ‘Anda mendapat pesan dari +085378910112 silahkan hubungi 007 untuk mendengarkan pesan.’
‘Selamat, kamu mendapat BONUS 10 SMS ke IM3, Mentari atau Matrix. Bonus berlaku di hari yang sama.’
‘Aktifkan nada I-ring anda atau anak anda akan kami bunuh!’
Di kepala gue waktu itu cuma ada satu tujuan; menggunakan pulsa itu seefisien mungkin buat ngerjain temen-temen.
Akhirnya, gue mulai petualangan itu. Dimulai dari Okta.
gue : Pagi! Oya, nama lo Okta kan?
Okta : Eh iya, emang napa? Lo dapet no gue dari sapa?
Dan, bla bla bla... gue sukses ngibulin Okta. Sampe mungkin ahirnya dia sadar lagi SMSan sama orang sarap, dan menutupnya.
Okta : Lo mah kagak nyambung kalo diajak ngobrol. Gue jadi capek ngomong ama lo.
Gue puas.
Setelah merasa cukup ngerjain orang untuk pagi itu, gue menukar simkard kembali dengan simkard gue, takut-takut ada SMS yang masuk. Dan sampai di sini kebohongan masih berjalan baik-baik saja.
Sampe akhirnya gue berangkat kerja, dan kartu mujarab itu masih gue simpan. Isinya masih sekitar 60 SMS. Sampe ditempat kerja gue mulai menemukan inspirasi buat ngisengin dan ngerjain orang lagi. Sampe di sini, gue merasa wajar-wajar aja.
Tapi kejadiannya berubah ketika gue memasukan simkardnya lagi. Ketika gue masukan simkard —yang ternyata pembawa masalah itu— ke hape lagi, ternyata ada dua SMS yang masuk dari nomer yang gak gue kenal.
No Gak Kenal 1 (NGK 1) : Nol nanti anterin gw nuker bra ya? Plis tuh bra ngak bisa gue pake masalahnya...
No Gak Kenal 2 (NGK 2) : Enol ni gw ema jadi gak kepasar nuker bh?
Mampus!
Ada dua orang yang gak gue kenal nanyain beha. Gue panik nyari sesuatu yang bisa dimakan, tapi hanya menemukan tumpukan kertas di atas meja kerja. Dan gue udah lama meninggalkan kebiasaan makan kertas.
Gue mulai menganalisa dan memutuskan apa yang akan gue lakukan selanjutnya.
1. Jujur bilang kalo simkard ini ditemuin adek gue kemaren di tengah jalan.
2. Gak gue jawab dan didiemin aja. Pura-pura pinter.
3. Pura-pura jadi Enol dan bales SMS itu dengan bilang “Oh sorry, BH lo mah urusan lo. Jangan bawa-bawa nama eike dwonk! Emang eike cewe apaan?”
Tapi… selanjutnya gue punya kecurigaan lain. Jangan-jangan ini SMS dari ibu-ibu yang biasa ngerumpiin beha. Ilfil gue balesnya. Ato malah bencong GOR yang lagi nyambi jadi tukang becak. Ato germo yang lagi ngumpulin berbagai macam, warna dan ukuran beha buat menambah kesaktiannya?
Gue bingung!
Di tengah kebingungan itu, gue sempet mikir sebaliknya, bagaimana kalo yang hilang adalah kartu gue. Kemudian ditemukan oleh mahkluk berkelamin ganda dan digunakan buat transaksi jualan beha?
Oke, walhasil, karena gue gak bisa bedain antara SMS dari cewek beneran atau cewe jadi-jadian, akhirnya gue beranikan diri buat jawab kepada dua nomer tersebut.
Gue : Gw gak tau enol. Ni no gw nemu di tengah jalan masih ada pulsanya trus gw pake. Sory bgt.
NGK 1 gak jawab. Tapi NGK 2 jawab.
NGK 2 : Cuape De....
Aduh! Cuape de…? Kecurigaan gue terbukti. Sangat khas bencong cara menjawab SMS-nya!
Tapi gue tetap positip tingking, kemudian bales.
Gue : Eh ni perlu gw balikin gak?
NGK 2 : Kayanya begitu, mendingan lu balikin aja deh. Lu pasti gak nyaman dunk di smsin ama orng yang gak lu kenal. Yakan? Btw posisi lu dimana, yang punya no ini tingalnya di daerah kranji.
Iya juga ya? Kalo nomer ini gak dibalikin, tiap hari bakal ada SMS yang nanyain beha mulu lagi?
Gue : Kranji? Dimananya? Rumah gw juga daerah situ.
NGK 2 : Lo tau wartel PUTRI AYU di belakang indomaret Inkopol? lu balikin ke situ aja. Ketemu ama gue. Tar gue balikin ke anaknya. Btw nama gw ema nama lo sapa?
Tapi tiba-tiba gue nyesel! SMS-nya masih banyak men! Dan gue masih mau ngerjain temen-temen. Sayang kan, masa berlakunya cuma sampe hari ini aja. Tanpa menjawab pertanyaannya, akhirnya gue bales.
Gue : Iya nanti gue balikin, tapi pulsanya dah gue pake coz sayang banget pulsanya berahir hari ini. Gak papa kan?
NGK 2 : Gak papa...
Gue : BTW sekarang gue ada di tempat kerja, balik sekitar jam 9 malem. Wartel lu masih buka jam segitu? lu penjaga wartel apa tukang parkirnya?
NGK 2 : Masih buka. Gue wartelnya. Puas lo?
Wah, bisa becanda juga nih bencong. Gue makin seneng. Gue makin ngeluarin pertanyaan dan pernyataan sarap.
Gue : Hahaha... bisa ngelucu juga lo. Tapi beneran ya. Gue gak tau soal bh yang tadi lu smsin.
NGK 2 : Ah sialan lo! Btw nama lo sapa? Masih manusia kan?
Tau aja dia kalo gue setengah manusia setengah kuda catur. Nama? Kasih tau gak ya? Kalo gue kasih tau, jangan-jangan dia kenal? Terus lapor polisi. Terus polisi melacak persembunyian gue. Terus besok harinya gue muncul di koran Lampu Merah.
Oh, bisa turun kredibilitas gue sebagai kuda catur! Ahirnya gue jawab.
Gue : Anjrit. Ya manusia lah. Nama gue banyak. Nyokap gue mangil gue Nak. Kayak kalo lagi nyuruh gue beli cabe:
“Nak, belikan ibu cabe!”
Trus biasanya gue jawab dg gaul “Yah ibu, gak liat anakmu ini lagi pacaran? Cabe deh!”
NGK 2 : Wakakaka... Oh lo masih manusia? Kirain yang suka makan pisang. Yadah krn lo gak mao ngasih tau nama lo, it’s OK. Jangan salahin gue kalo gue mangil lo NYET. Lo gak boleh marah, itu dah takdir buat lo.
Monyet!
Dia mangil NYET? Sebagai mamalia yang lebih cerdas sedikit dari Nyet gue gak terima. Tapi walopun begitu, gue mencoba tetap kul. Gue masih bisa untuk gak marah dan menjawab.
Gue : Sapa juga yang marah. Ngak lah. Gw cukup sabar kok. Gak mungkin juga gue marah sama lumba2 laper...
NGK 2 : Ya good lah! rata2 emang gitu. Makhluk kaya lo emang mesti sabar. Lo gak tinggal di hutan masalahnya. Lo bersosialisasi dengan manusia2 beradap. Jadi lo harus nyesuain diri, gak boleh liar juga... oke NYET?
Waduh, dia makin membabi buta manggil NYET. Jangan-jangan dia itu campuran antara bencong, monyet dan tong sampah.
Walopun sebenarnya emosi, gue gak boleh tersundut emosi dan ngatain dia, ‘dasar bencong-bercula-satu gak tau terima kasih!’. Disaat seperti ini, cara yang paling aman adalah menganggap SMSnya sebagai candaan. Gue ngebales,
Gue : Hahaha... selera humor lo tinggi juga. Gue curiga jangan2 selaen jadi gagang telepon, lo juga nyambi jadi badut ancol.
Tapi, kawan-kawan sekalian.....
Belum sempat gue baca balesan dari orang gila yang pertama. Tiba-tiba ada orang gila lainnya SMS.
NGK 3 : BDW. LO NGERJAIN GUE YA.. JAWAB JUJUR, SAPA DIRI LU SEBENERNYA. GAK DIBALES SMS GUE ITU TANDANYA LU PENGECUUUUUUUUUUT... BLZ GPL
Astagfirullah!
Bencong mana lagi neh? Gue mulai menganalisa lagi, jangan-jangan ini orang yang kemaren dikerjain adik gue? Atau Okta yang hampir mati penasaran dan mau bales dendam? Ato dari Presiden yang meminta gue jadi mentri pemberdayaan wanita dan waria? (OK, yang terakhir emang gak nyambung).
Dengan kesabaran tingkat tinggi dan masih gak terpancing emosi, gue bales.
Gue : Witzt.. sabar bang pitung. Lo sendiri siapa. Gw gak ngerasa ngerjain tuh!
NGK 3 : LOH KOK LO MALAH TANYA BALIK. BUKANNYA KEMAREN LO YANG SMS. EMANG LO SAPA?
Kayaknya dia makin sewot. Untuk meredam kesewotannya, gue merasa harus berkata jujur.
Gue : Ya udah jagan sewot gitu dunk. Keep cool. Gw nemu sim card ini dijalan trus masih ada pulsanya, yadah gw pake.
NGK 3 : ITU SIH ALASAN TIDAK MASUK AKAL. YA UDE JAWAB SEKARANG LO SAPA DAN ANAK MANA?
Nah loh? Kok jadi gue gak dipercaya gini? Memang gue sedang ngerjain temen-temen, tapi SMS yang barusan kan jujur. Kenyataan. Fakta. Ini gak adil. Kemana gue harus mengadukan ketidak adilan ini! Kemana?! (Lebay)
Tapi gue masih mencoba kalem. Tanpa menghiraukan pertanyaan bencong nyasar itu, gue jawab.
Gue : Cieee ileee makin kaya reman tanah abang nyari janda lu. Eh lu cewek ya?
NGK 3 : MALES AH JAWABNYA GW YANG TANYA DULUAN, LO MALAH TANYA BALIK. JAWAB DULU LO SAPA. LENGKAP YA.
1. NAMA LO
2. SEKOLAH
3. ANAK SAPA
4. HUMS LO
GPL
Waduh, makin membabi gila neh nanyanya. Pake nanya anak siapa lagi. Gue menganalisa lagi, jangan-jangan dia duda yang kebelet kawin yang lagi ikutan pencarian jodoh lewat SMS? Ah, masa bodo! Biar dia sadar kalo ternyata dia lagi SMSan sama orang setengah koper boy, gue bales.
Gue : Hahaha.. sekarang lo mirip tukang sensus yang lagi nyensus kambing yang mao dikawinin.
Akhirnya, mungkin urat tengorokannya putus dan menyudahi SMS bloon itu.
NGK 3 : UHHHHH NYEBELIN NGOMONG SAMA LO
Bener-bener SMS yang memakan seluruh perhatian!
SMS yang memakan energi dan pikiran itu ternyata bukan hanya membuat gue sedikit mengabaikan kerjaan, tapi juga bikin hape lowbat. Gue mengambil carger dan mengecaz hape yang kelelahan itu. Setelah satu jam, gue rasa hapenya udah punya energi lagi untuk melaksanakan tugas suci (baca: ngerjain temen-temen) selanjutnya. Kemudian gue berniat nerusin ngerjain Okta ato temen-temen yang laen.
Tapi kenyataan berkata lain, begitu hape dinyalahin, ternyata ada dua SMS dari nomer yang gak gue kenal lagi.
NGK 4 : Cewe gi ngapain, dah emam lum? Jangan lupa sholat. Dah mandi lum? Lo lagi dimana? Tar malem gw gak bisa nelpon lo. Jangan marah ya. Blz gpl
NGK 5 : Lis lagi ngapain? Dah sholat magrib apa belum? Lis gimana nonya maya udah pa blum?
Mampus lagi.
Abis analisa gue buat nganalisa dua SMS ini. Tadi Enol, sekarang Lis. Siapa sebenarnya Enol dan Lis? Apa mereka satu orang? Apakah dia masih berada di dunia nyata?
Kayaknya gue sudah cukup jauh diperbudak pulsa. Dan sepertinya gue harus sudahi permainan ini. Mencopot simkard pembawa masalah ini dan memberikannya kepada yang berhak. Daripada akan berjatuhan korban jiwa yang lebih banyak.
Ya, memang hape adalah sebuah pendewaan baru yang kadang-kadang kita gak sadari. Dan gue punya cerita konyol tentang itu.
***
“Bang, Gue punya pulsa SMS banyak!” suatu hari adik perempuan gue berkata tiba-tiba, “Iya kemaren gue nemu simkard di jalan. Kalo mau pake, pake aja!”
“Berapa pulsanya, Dek?” gue nanya kalem.
“Kemaren sih waktu gue nemu masih seratus, sekarang tinggal 80-an gitu deh. Abisin aja, masa berlakunya cuma sampe hari ini doang, Bang! Gue aje dari kemaren ngerjain temen-temen.”
“Oh gitu.”
Ketiban duren. Menurut gue, berita ini jauh lebih baik daripada SMS: ‘Anda mendapat pesan dari +085378910112 silahkan hubungi 007 untuk mendengarkan pesan.’
‘Selamat, kamu mendapat BONUS 10 SMS ke IM3, Mentari atau Matrix. Bonus berlaku di hari yang sama.’
‘Aktifkan nada I-ring anda atau anak anda akan kami bunuh!’
Di kepala gue waktu itu cuma ada satu tujuan; menggunakan pulsa itu seefisien mungkin buat ngerjain temen-temen.
Akhirnya, gue mulai petualangan itu. Dimulai dari Okta.
gue : Pagi! Oya, nama lo Okta kan?
Okta : Eh iya, emang napa? Lo dapet no gue dari sapa?
Dan, bla bla bla... gue sukses ngibulin Okta. Sampe mungkin ahirnya dia sadar lagi SMSan sama orang sarap, dan menutupnya.
Okta : Lo mah kagak nyambung kalo diajak ngobrol. Gue jadi capek ngomong ama lo.
Gue puas.
Setelah merasa cukup ngerjain orang untuk pagi itu, gue menukar simkard kembali dengan simkard gue, takut-takut ada SMS yang masuk. Dan sampai di sini kebohongan masih berjalan baik-baik saja.
Sampe akhirnya gue berangkat kerja, dan kartu mujarab itu masih gue simpan. Isinya masih sekitar 60 SMS. Sampe ditempat kerja gue mulai menemukan inspirasi buat ngisengin dan ngerjain orang lagi. Sampe di sini, gue merasa wajar-wajar aja.
Tapi kejadiannya berubah ketika gue memasukan simkardnya lagi. Ketika gue masukan simkard —yang ternyata pembawa masalah itu— ke hape lagi, ternyata ada dua SMS yang masuk dari nomer yang gak gue kenal.
No Gak Kenal 1 (NGK 1) : Nol nanti anterin gw nuker bra ya? Plis tuh bra ngak bisa gue pake masalahnya...
No Gak Kenal 2 (NGK 2) : Enol ni gw ema jadi gak kepasar nuker bh?
Mampus!
Ada dua orang yang gak gue kenal nanyain beha. Gue panik nyari sesuatu yang bisa dimakan, tapi hanya menemukan tumpukan kertas di atas meja kerja. Dan gue udah lama meninggalkan kebiasaan makan kertas.
Gue mulai menganalisa dan memutuskan apa yang akan gue lakukan selanjutnya.
1. Jujur bilang kalo simkard ini ditemuin adek gue kemaren di tengah jalan.
2. Gak gue jawab dan didiemin aja. Pura-pura pinter.
3. Pura-pura jadi Enol dan bales SMS itu dengan bilang “Oh sorry, BH lo mah urusan lo. Jangan bawa-bawa nama eike dwonk! Emang eike cewe apaan?”
Tapi… selanjutnya gue punya kecurigaan lain. Jangan-jangan ini SMS dari ibu-ibu yang biasa ngerumpiin beha. Ilfil gue balesnya. Ato malah bencong GOR yang lagi nyambi jadi tukang becak. Ato germo yang lagi ngumpulin berbagai macam, warna dan ukuran beha buat menambah kesaktiannya?
Gue bingung!
Di tengah kebingungan itu, gue sempet mikir sebaliknya, bagaimana kalo yang hilang adalah kartu gue. Kemudian ditemukan oleh mahkluk berkelamin ganda dan digunakan buat transaksi jualan beha?
Oke, walhasil, karena gue gak bisa bedain antara SMS dari cewek beneran atau cewe jadi-jadian, akhirnya gue beranikan diri buat jawab kepada dua nomer tersebut.
Gue : Gw gak tau enol. Ni no gw nemu di tengah jalan masih ada pulsanya trus gw pake. Sory bgt.
NGK 1 gak jawab. Tapi NGK 2 jawab.
NGK 2 : Cuape De....
Aduh! Cuape de…? Kecurigaan gue terbukti. Sangat khas bencong cara menjawab SMS-nya!
Tapi gue tetap positip tingking, kemudian bales.
Gue : Eh ni perlu gw balikin gak?
NGK 2 : Kayanya begitu, mendingan lu balikin aja deh. Lu pasti gak nyaman dunk di smsin ama orng yang gak lu kenal. Yakan? Btw posisi lu dimana, yang punya no ini tingalnya di daerah kranji.
Iya juga ya? Kalo nomer ini gak dibalikin, tiap hari bakal ada SMS yang nanyain beha mulu lagi?
Gue : Kranji? Dimananya? Rumah gw juga daerah situ.
NGK 2 : Lo tau wartel PUTRI AYU di belakang indomaret Inkopol? lu balikin ke situ aja. Ketemu ama gue. Tar gue balikin ke anaknya. Btw nama gw ema nama lo sapa?
Tapi tiba-tiba gue nyesel! SMS-nya masih banyak men! Dan gue masih mau ngerjain temen-temen. Sayang kan, masa berlakunya cuma sampe hari ini aja. Tanpa menjawab pertanyaannya, akhirnya gue bales.
Gue : Iya nanti gue balikin, tapi pulsanya dah gue pake coz sayang banget pulsanya berahir hari ini. Gak papa kan?
NGK 2 : Gak papa...
Gue : BTW sekarang gue ada di tempat kerja, balik sekitar jam 9 malem. Wartel lu masih buka jam segitu? lu penjaga wartel apa tukang parkirnya?
NGK 2 : Masih buka. Gue wartelnya. Puas lo?
Wah, bisa becanda juga nih bencong. Gue makin seneng. Gue makin ngeluarin pertanyaan dan pernyataan sarap.
Gue : Hahaha... bisa ngelucu juga lo. Tapi beneran ya. Gue gak tau soal bh yang tadi lu smsin.
NGK 2 : Ah sialan lo! Btw nama lo sapa? Masih manusia kan?
Tau aja dia kalo gue setengah manusia setengah kuda catur. Nama? Kasih tau gak ya? Kalo gue kasih tau, jangan-jangan dia kenal? Terus lapor polisi. Terus polisi melacak persembunyian gue. Terus besok harinya gue muncul di koran Lampu Merah.
Oh, bisa turun kredibilitas gue sebagai kuda catur! Ahirnya gue jawab.
Gue : Anjrit. Ya manusia lah. Nama gue banyak. Nyokap gue mangil gue Nak. Kayak kalo lagi nyuruh gue beli cabe:
“Nak, belikan ibu cabe!”
Trus biasanya gue jawab dg gaul “Yah ibu, gak liat anakmu ini lagi pacaran? Cabe deh!”
NGK 2 : Wakakaka... Oh lo masih manusia? Kirain yang suka makan pisang. Yadah krn lo gak mao ngasih tau nama lo, it’s OK. Jangan salahin gue kalo gue mangil lo NYET. Lo gak boleh marah, itu dah takdir buat lo.
Monyet!
Dia mangil NYET? Sebagai mamalia yang lebih cerdas sedikit dari Nyet gue gak terima. Tapi walopun begitu, gue mencoba tetap kul. Gue masih bisa untuk gak marah dan menjawab.
Gue : Sapa juga yang marah. Ngak lah. Gw cukup sabar kok. Gak mungkin juga gue marah sama lumba2 laper...
NGK 2 : Ya good lah! rata2 emang gitu. Makhluk kaya lo emang mesti sabar. Lo gak tinggal di hutan masalahnya. Lo bersosialisasi dengan manusia2 beradap. Jadi lo harus nyesuain diri, gak boleh liar juga... oke NYET?
Waduh, dia makin membabi buta manggil NYET. Jangan-jangan dia itu campuran antara bencong, monyet dan tong sampah.
Walopun sebenarnya emosi, gue gak boleh tersundut emosi dan ngatain dia, ‘dasar bencong-bercula-satu gak tau terima kasih!’. Disaat seperti ini, cara yang paling aman adalah menganggap SMSnya sebagai candaan. Gue ngebales,
Gue : Hahaha... selera humor lo tinggi juga. Gue curiga jangan2 selaen jadi gagang telepon, lo juga nyambi jadi badut ancol.
Tapi, kawan-kawan sekalian.....
Belum sempat gue baca balesan dari orang gila yang pertama. Tiba-tiba ada orang gila lainnya SMS.
NGK 3 : BDW. LO NGERJAIN GUE YA.. JAWAB JUJUR, SAPA DIRI LU SEBENERNYA. GAK DIBALES SMS GUE ITU TANDANYA LU PENGECUUUUUUUUUUT... BLZ GPL
Astagfirullah!
Bencong mana lagi neh? Gue mulai menganalisa lagi, jangan-jangan ini orang yang kemaren dikerjain adik gue? Atau Okta yang hampir mati penasaran dan mau bales dendam? Ato dari Presiden yang meminta gue jadi mentri pemberdayaan wanita dan waria? (OK, yang terakhir emang gak nyambung).
Dengan kesabaran tingkat tinggi dan masih gak terpancing emosi, gue bales.
Gue : Witzt.. sabar bang pitung. Lo sendiri siapa. Gw gak ngerasa ngerjain tuh!
NGK 3 : LOH KOK LO MALAH TANYA BALIK. BUKANNYA KEMAREN LO YANG SMS. EMANG LO SAPA?
Kayaknya dia makin sewot. Untuk meredam kesewotannya, gue merasa harus berkata jujur.
Gue : Ya udah jagan sewot gitu dunk. Keep cool. Gw nemu sim card ini dijalan trus masih ada pulsanya, yadah gw pake.
NGK 3 : ITU SIH ALASAN TIDAK MASUK AKAL. YA UDE JAWAB SEKARANG LO SAPA DAN ANAK MANA?
Nah loh? Kok jadi gue gak dipercaya gini? Memang gue sedang ngerjain temen-temen, tapi SMS yang barusan kan jujur. Kenyataan. Fakta. Ini gak adil. Kemana gue harus mengadukan ketidak adilan ini! Kemana?! (Lebay)
Tapi gue masih mencoba kalem. Tanpa menghiraukan pertanyaan bencong nyasar itu, gue jawab.
Gue : Cieee ileee makin kaya reman tanah abang nyari janda lu. Eh lu cewek ya?
NGK 3 : MALES AH JAWABNYA GW YANG TANYA DULUAN, LO MALAH TANYA BALIK. JAWAB DULU LO SAPA. LENGKAP YA.
1. NAMA LO
2. SEKOLAH
3. ANAK SAPA
4. HUMS LO
GPL
Waduh, makin membabi gila neh nanyanya. Pake nanya anak siapa lagi. Gue menganalisa lagi, jangan-jangan dia duda yang kebelet kawin yang lagi ikutan pencarian jodoh lewat SMS? Ah, masa bodo! Biar dia sadar kalo ternyata dia lagi SMSan sama orang setengah koper boy, gue bales.
Gue : Hahaha.. sekarang lo mirip tukang sensus yang lagi nyensus kambing yang mao dikawinin.
Akhirnya, mungkin urat tengorokannya putus dan menyudahi SMS bloon itu.
NGK 3 : UHHHHH NYEBELIN NGOMONG SAMA LO
Bener-bener SMS yang memakan seluruh perhatian!
SMS yang memakan energi dan pikiran itu ternyata bukan hanya membuat gue sedikit mengabaikan kerjaan, tapi juga bikin hape lowbat. Gue mengambil carger dan mengecaz hape yang kelelahan itu. Setelah satu jam, gue rasa hapenya udah punya energi lagi untuk melaksanakan tugas suci (baca: ngerjain temen-temen) selanjutnya. Kemudian gue berniat nerusin ngerjain Okta ato temen-temen yang laen.
Tapi kenyataan berkata lain, begitu hape dinyalahin, ternyata ada dua SMS dari nomer yang gak gue kenal lagi.
NGK 4 : Cewe gi ngapain, dah emam lum? Jangan lupa sholat. Dah mandi lum? Lo lagi dimana? Tar malem gw gak bisa nelpon lo. Jangan marah ya. Blz gpl
NGK 5 : Lis lagi ngapain? Dah sholat magrib apa belum? Lis gimana nonya maya udah pa blum?
Mampus lagi.
Abis analisa gue buat nganalisa dua SMS ini. Tadi Enol, sekarang Lis. Siapa sebenarnya Enol dan Lis? Apa mereka satu orang? Apakah dia masih berada di dunia nyata?
Kayaknya gue sudah cukup jauh diperbudak pulsa. Dan sepertinya gue harus sudahi permainan ini. Mencopot simkard pembawa masalah ini dan memberikannya kepada yang berhak. Daripada akan berjatuhan korban jiwa yang lebih banyak.
Lirik-lirik Lagu Cinta
Masih ingat, kawan? Ketika kamu memendam perasaan cinta kapada temanmu. Mulanya kamu merasa senang jika berada di dekatnya. Kemudian rindu jika berada jauh dengannya. Pokoknya perasaanmu waktu itu… Syahdu.
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
‘Ku yakin ini semua perasaan cinta
Tetapi hatiku malu untuk menyatakannya
Syahdu (Rhoma Irama)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu makin dekat dengannya. Sering berbagi canda. Berbagi cerita. Berbagi curahan hati. Dan kamu merasa begitu cocok. Akhinya kamu memutuskan untuk berani mengatakan cinta. Untuk mengatakan, “Jaidkanlah aku pacarmu”
Untaian bunga canda
Tempatkan kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta
Reff :
Jadikanlah aku pacarmu
Kan kubingkai slalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku...
JAP (Sheila On 7)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu begitu bahagia karena cintamu bersambut. Kamu merasa mendengar nyanyian dewa dewi. Kamu seakan-akan melihat sang rembulan datang dan menemanimu. Kamu begitu bahagia waktu itu. Ketika kamu jatuh cinta.
Bila aku jatuh cinta
Aku mendengar nyanyian
1000 dewa dewi cinta
Menggema dunia
Bila aku jatuh cinta
Aku melihat matahari
Kan datang padaku
Dan memelukku dengan sayang
Bila aku jatuh cinta
Aku melihat sang bulan
Kan datang padaku
Dan menemani aku
Bila aku jatuh cinta (Nidji)
Masih ingat, kawan? Ketika akhirnya, di tengah-tengah hubungan itu, kalian menemukan berbagai macam masalah. Kalian mencoba mengerti satu sama lain tapi gagal. Masalah yang sama selalu terulang dan menjadikan kalian makin menjauh. Sudah tidak cocok. Seperti air dan api.
Apa maumu?
Apa mauku
S’lalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung henti
Bukan maksudku
Bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja
Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita saling memberi
Apa tak mungkin hati yang murni sudah cukup berarti?
Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika?
Jangan seperti selama ini, hidup bagaikan air dan api.
Air dan Api (Naif)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu dihianati. Rasanya dunia runtuh. Hatimu seperti hancur berkeping-keping. Kamu menangis sejadinya. Kamu tidak bisa terima. Namun, seiring berjalannya waktu kamu pun berusaha untuk realistis. Kamu mencoba menyusun kembali serpihan hati yang remuk. Kamu kembali bangkit dan bisa melupakannya. Kamu bisa survive.
It took all the strength I had
Just not to fall apart
I'm trying hard to mend the pieces
Of my broken heart
And I spent oh so many nights
Just feeling sorry for myself
I used to cry,
But now I hold my head up high
I Will Survive (Cake)
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
‘Ku yakin ini semua perasaan cinta
Tetapi hatiku malu untuk menyatakannya
Syahdu (Rhoma Irama)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu makin dekat dengannya. Sering berbagi canda. Berbagi cerita. Berbagi curahan hati. Dan kamu merasa begitu cocok. Akhinya kamu memutuskan untuk berani mengatakan cinta. Untuk mengatakan, “Jaidkanlah aku pacarmu”
Untaian bunga canda
Tempatkan kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta
Reff :
Jadikanlah aku pacarmu
Kan kubingkai slalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku...
JAP (Sheila On 7)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu begitu bahagia karena cintamu bersambut. Kamu merasa mendengar nyanyian dewa dewi. Kamu seakan-akan melihat sang rembulan datang dan menemanimu. Kamu begitu bahagia waktu itu. Ketika kamu jatuh cinta.
Bila aku jatuh cinta
Aku mendengar nyanyian
1000 dewa dewi cinta
Menggema dunia
Bila aku jatuh cinta
Aku melihat matahari
Kan datang padaku
Dan memelukku dengan sayang
Bila aku jatuh cinta
Aku melihat sang bulan
Kan datang padaku
Dan menemani aku
Bila aku jatuh cinta (Nidji)
Masih ingat, kawan? Ketika akhirnya, di tengah-tengah hubungan itu, kalian menemukan berbagai macam masalah. Kalian mencoba mengerti satu sama lain tapi gagal. Masalah yang sama selalu terulang dan menjadikan kalian makin menjauh. Sudah tidak cocok. Seperti air dan api.
Apa maumu?
Apa mauku
S’lalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung henti
Bukan maksudku
Bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja
Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita saling memberi
Apa tak mungkin hati yang murni sudah cukup berarti?
Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika?
Jangan seperti selama ini, hidup bagaikan air dan api.
Air dan Api (Naif)
Masih ingat, kawan? Ketika kamu dihianati. Rasanya dunia runtuh. Hatimu seperti hancur berkeping-keping. Kamu menangis sejadinya. Kamu tidak bisa terima. Namun, seiring berjalannya waktu kamu pun berusaha untuk realistis. Kamu mencoba menyusun kembali serpihan hati yang remuk. Kamu kembali bangkit dan bisa melupakannya. Kamu bisa survive.
It took all the strength I had
Just not to fall apart
I'm trying hard to mend the pieces
Of my broken heart
And I spent oh so many nights
Just feeling sorry for myself
I used to cry,
But now I hold my head up high
I Will Survive (Cake)
Sabtu, 15 Oktober 2011
doa
Ya Tuhan, aku berdoa di sini bukan karena tidak mau berdoa di tempat lain, tapi karena ada seorang kawan yang bilang kalau Engkau punya account di sini. Katanya juga, Engkau berada di mana saja.
Ya Tuhan, sesungguhnya aku tidak yakin apakah doa ini diterima atau tidak. Karena seorang ustadz pernah bilang waktu umurku sebelas tahun, bahwa berdoa itu harus ikhlas agar dikabulkan. Dan aku merasa tidak ikhlas berdoa di sini.
Ya Tuhan, ketika aku mulai menulis ini aku sudah berfikir tentang pembaca. Akhirnya aku menulis agar ada yang membaca tulisan ini. Oh, maksudku ada yang membaca doa ini. Apakah jika aku menulis doa kepadamu agar orang lain tahu kalau aku sedang berdoa padamu itu berarti tidak ikhlas ya, Tuhan?
Ah, aku tidak bisa ikhlas jika begitu ya, Tuhan. Aku belum bisa menghilangkan keinginan agar tulisanku dibaca. Terbebas dari sifat riya. Walaupun terkadang aku menyemangati diri sendiri bahwa aku tidak membutuhkan pembaca. Tapi seringkali perasaan ingin dibaca itu muncul dengan sendirinya dan terkadang sangat kuat.
Ya Tuhan, jika memang doa ini tidak dikabulkan karena ketidaktulusan, maka aku hanya mampu pasrah. Aku cukup puas bisa sekedar memasukan namaku di inbox email-Mu. Itu sudah cukup. Aku tahu Engkau membaca setiap doa yang dikirimkan. Engkau juga maha tahu setiap doa yang terucap, tak terucap apalagi tertulis.
Ya ampun, jadi melantur seperti ini. Oke, biar aku tuliskan doaku ya, Tuhan.
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Tuhanku
kabulkanlah doaku
walau tercetak miring
Amin.
nb: Doa di atas adalah puisi berjudl 'Doa' karya Chairil Anwar, kecuali stanza akhir yang saya tambahkan
Ya Tuhan, sesungguhnya aku tidak yakin apakah doa ini diterima atau tidak. Karena seorang ustadz pernah bilang waktu umurku sebelas tahun, bahwa berdoa itu harus ikhlas agar dikabulkan. Dan aku merasa tidak ikhlas berdoa di sini.
Ya Tuhan, ketika aku mulai menulis ini aku sudah berfikir tentang pembaca. Akhirnya aku menulis agar ada yang membaca tulisan ini. Oh, maksudku ada yang membaca doa ini. Apakah jika aku menulis doa kepadamu agar orang lain tahu kalau aku sedang berdoa padamu itu berarti tidak ikhlas ya, Tuhan?
Ah, aku tidak bisa ikhlas jika begitu ya, Tuhan. Aku belum bisa menghilangkan keinginan agar tulisanku dibaca. Terbebas dari sifat riya. Walaupun terkadang aku menyemangati diri sendiri bahwa aku tidak membutuhkan pembaca. Tapi seringkali perasaan ingin dibaca itu muncul dengan sendirinya dan terkadang sangat kuat.
Ya Tuhan, jika memang doa ini tidak dikabulkan karena ketidaktulusan, maka aku hanya mampu pasrah. Aku cukup puas bisa sekedar memasukan namaku di inbox email-Mu. Itu sudah cukup. Aku tahu Engkau membaca setiap doa yang dikirimkan. Engkau juga maha tahu setiap doa yang terucap, tak terucap apalagi tertulis.
Ya ampun, jadi melantur seperti ini. Oke, biar aku tuliskan doaku ya, Tuhan.
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Tuhanku
kabulkanlah doaku
walau tercetak miring
Amin.
nb: Doa di atas adalah puisi berjudl 'Doa' karya Chairil Anwar, kecuali stanza akhir yang saya tambahkan
Rabu, 05 Oktober 2011
The Soul of Son Goku IV
Beberapa hari setelah kejadian Son Goku sering mogok, pembicaraan yang hangat di rumah adalah tentang dia. Dalam seminggu Son Goku sudah tiga kali mogok. Mungkin itu kesalahan gue juga karena lupa ngasih; 2.5 kilo beras ato uang 20 ribu (ini motor apa fakir miskin?).
Biasanya kalo gue sampe rumah dan cerita Son Goku mogok lagi, orang-orang di rumah berubah jadi ngerti mesin. Nyokap bilang, “Mungkin businya tuh! Besok diganti aja businya. Pembakarannya kurang bagus karena businya belum diganti tuh!” gue jawab iya.
Adek gue, anak ABG yang brilian, ngasih pendapat yang juga luar biasa brilian, “Udah, Bang! Lo ganti aja motornya.”
Gue cuma jawab kesel, “Iye, ntar gue ganti sama odong-odong!”
Tapi, gue punya kecurigaan lain. Menurut gue Son Goku mogok karena punya alesan. Bukan hanya semata-mata gue lupa ngisi bensin. Bukan semata-mata gue males ganti oli. Bukan semata-mata karena gue make kenalpotnya buat pemukul kasti.
Waktu Njay jemput di kampus, dia gak nganterin gue ke rumah. Malam itu ternyata Malam Haul Kiyai dan gue diajak untuk ngaji di kuburnya. Sepertinya Son Goku mau ngingetin gue tentang Haul Kiyai, karena begitu pagi-pagi gue ambil dia di kampus, ternyata dia sudah sehat dan bisa ditunggangi lagi.
Adapun malem waktu gue nganterin Nia, gue jadi inget percakapan gue dan bokap di pagi itu tentang rencana menganti motor. Dan gue yakin Son Goku mendengarnya.
Ini serius!
Menurut gue, hal itu sangat melukai perasaan Son Goku. Sekali lagi, ini serius dan ilmiah! Sebuah benda, seberapapun kecilnya, apalagi yang selalu dekat dengan kita, punya kemampuan merasakan seperti apa yang kita rasakan. Dia bisa sedih, senang bahkan jengkel.
Nabi aja ngasih nama ontanya, Duldul. Peralatan sendok, piring, sapu dan lain sebagainya juga dikasih nama. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa beliau ngasih nama kepada hewan bahkan barang-barang yang kita anggap mati? Kenapa beliau memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka? Kenapa Sule yang udah jadi milyarder gak operasi idung?
Hari ini, Son Goku ngajarin gue satu hal, bahwa benda-benda, hewan dan lingkungan di sekitar yang kita klaim sebagai makhluk yang gak punya arti bahkan gak bernyawa ternyata memiliki perasaan seperti manusia. Mereka adalah makhluk Allah, yang punya manfaat masing-masing. Gak ada satupun yang Ia ciptakan sia-sia.
Seharusnyalah gue menjaga, menghargai serta merawat mereka.
Biasanya kalo gue sampe rumah dan cerita Son Goku mogok lagi, orang-orang di rumah berubah jadi ngerti mesin. Nyokap bilang, “Mungkin businya tuh! Besok diganti aja businya. Pembakarannya kurang bagus karena businya belum diganti tuh!” gue jawab iya.
Adek gue, anak ABG yang brilian, ngasih pendapat yang juga luar biasa brilian, “Udah, Bang! Lo ganti aja motornya.”
Gue cuma jawab kesel, “Iye, ntar gue ganti sama odong-odong!”
Tapi, gue punya kecurigaan lain. Menurut gue Son Goku mogok karena punya alesan. Bukan hanya semata-mata gue lupa ngisi bensin. Bukan semata-mata gue males ganti oli. Bukan semata-mata karena gue make kenalpotnya buat pemukul kasti.
Waktu Njay jemput di kampus, dia gak nganterin gue ke rumah. Malam itu ternyata Malam Haul Kiyai dan gue diajak untuk ngaji di kuburnya. Sepertinya Son Goku mau ngingetin gue tentang Haul Kiyai, karena begitu pagi-pagi gue ambil dia di kampus, ternyata dia sudah sehat dan bisa ditunggangi lagi.
Adapun malem waktu gue nganterin Nia, gue jadi inget percakapan gue dan bokap di pagi itu tentang rencana menganti motor. Dan gue yakin Son Goku mendengarnya.
Ini serius!
Menurut gue, hal itu sangat melukai perasaan Son Goku. Sekali lagi, ini serius dan ilmiah! Sebuah benda, seberapapun kecilnya, apalagi yang selalu dekat dengan kita, punya kemampuan merasakan seperti apa yang kita rasakan. Dia bisa sedih, senang bahkan jengkel.
Nabi aja ngasih nama ontanya, Duldul. Peralatan sendok, piring, sapu dan lain sebagainya juga dikasih nama. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa beliau ngasih nama kepada hewan bahkan barang-barang yang kita anggap mati? Kenapa beliau memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka? Kenapa Sule yang udah jadi milyarder gak operasi idung?
Hari ini, Son Goku ngajarin gue satu hal, bahwa benda-benda, hewan dan lingkungan di sekitar yang kita klaim sebagai makhluk yang gak punya arti bahkan gak bernyawa ternyata memiliki perasaan seperti manusia. Mereka adalah makhluk Allah, yang punya manfaat masing-masing. Gak ada satupun yang Ia ciptakan sia-sia.
Seharusnyalah gue menjaga, menghargai serta merawat mereka.
The Soul of Son Goku III
Nia, seorang temen kerja, juga pernah mengalami hal yang serupa. Karena rumah kita satu arah, dia minta nebeng. Dalam pikiran dia, nebeng itu bisa mengirit ongkos dan lebih cepat sampai. Tapi yang dia gak sadar, dia sedang bersama pemuda dengan motor dari zaman firaun.
Awalnya gue malu nebengin Nia dengan motor itu, tapi dia ngeyakinin, “Gak papa kok? Santai aja kale.”
Dan gue jadi lebih pede.
Malam itu, di tengah jalan, sebagaimana juga yang sudah tertulis di lauhilmahfudz, Son Goku cari perhatian lagi.
“Tenang Ni! Paling-paling bensinnya abis!” gue coba menenangkan Nia. Gue coba masang muka ah-ini-sudah-biasa.
“Yang bener, Lal?” Nia nanya hawatir. Dari mukanya, sepertinya dia takut gue culik dan dituker beras di pasar.
“Iya. Udah biasa gue kayak gini!” kata gue yakin. Kemudian gue ngecek bensinnya yang biasanya menjadi sumber masalah. Dan, ternyata masih ada.
“Gimana? Beli bensin aja dulu.” Nia menyarankan.
“Bukan itu ternyata masalahnya, Ni!” kata gue masih sambil masang muka ah-ini-sudah-biasa, tapi yang keluar malah muka gue-udah-pipis-di-celana.
Nia keliatan makin takut karena jalan itu sepi dan jauh dari bengkel. Gue terus mencoba mencari penyebab masalah. Pada saat seperti itu gue gak boleh kelihatan cemen, gue harus kelihatan mengerti mesin. Setelah ngecek bensin yang ternyata masih ada, kemudian gue mengecek ban, busi, lampu dan mesinnya. Dan, ternyata juga masih ada (ya iya lah!). Setelah itu, gue gak ngerti harus ngecek apa lagi.
Akhirnya Nia menelpon seseorang, entah siapa, dan gue masih mencoba membakar kemenyan untuk membuat Son goku bangkit.
Gak berapa lama, ada cowok yang ternyata cowoknya Nia dateng. Pangeran penyelamatnya dateng. Dia mengendarai kuda putih dan Nia diajak pulang.
Tinggal gue sendiri di pinggir jalan. Kalo ditinggal trus dikasi duit buat ke bengkel sih gak napa-napa, yang bikin gue makin nelangsa adalah duit di dompet juga gak cukup buat naek angkot!
Gue cuma bisa berharap semoga lewat mobil kontener pengangkut motor, dan motornya jatuh satu. Supirnya gak nyadar dan gak ada orang yang tau. Dan ternyata udah ada kunci beserta STNK-nya atas nama gue.
Ah.
Awalnya gue malu nebengin Nia dengan motor itu, tapi dia ngeyakinin, “Gak papa kok? Santai aja kale.”
Dan gue jadi lebih pede.
Malam itu, di tengah jalan, sebagaimana juga yang sudah tertulis di lauhilmahfudz, Son Goku cari perhatian lagi.
“Tenang Ni! Paling-paling bensinnya abis!” gue coba menenangkan Nia. Gue coba masang muka ah-ini-sudah-biasa.
“Yang bener, Lal?” Nia nanya hawatir. Dari mukanya, sepertinya dia takut gue culik dan dituker beras di pasar.
“Iya. Udah biasa gue kayak gini!” kata gue yakin. Kemudian gue ngecek bensinnya yang biasanya menjadi sumber masalah. Dan, ternyata masih ada.
“Gimana? Beli bensin aja dulu.” Nia menyarankan.
“Bukan itu ternyata masalahnya, Ni!” kata gue masih sambil masang muka ah-ini-sudah-biasa, tapi yang keluar malah muka gue-udah-pipis-di-celana.
Nia keliatan makin takut karena jalan itu sepi dan jauh dari bengkel. Gue terus mencoba mencari penyebab masalah. Pada saat seperti itu gue gak boleh kelihatan cemen, gue harus kelihatan mengerti mesin. Setelah ngecek bensin yang ternyata masih ada, kemudian gue mengecek ban, busi, lampu dan mesinnya. Dan, ternyata juga masih ada (ya iya lah!). Setelah itu, gue gak ngerti harus ngecek apa lagi.
Akhirnya Nia menelpon seseorang, entah siapa, dan gue masih mencoba membakar kemenyan untuk membuat Son goku bangkit.
Gak berapa lama, ada cowok yang ternyata cowoknya Nia dateng. Pangeran penyelamatnya dateng. Dia mengendarai kuda putih dan Nia diajak pulang.
Tinggal gue sendiri di pinggir jalan. Kalo ditinggal trus dikasi duit buat ke bengkel sih gak napa-napa, yang bikin gue makin nelangsa adalah duit di dompet juga gak cukup buat naek angkot!
Gue cuma bisa berharap semoga lewat mobil kontener pengangkut motor, dan motornya jatuh satu. Supirnya gak nyadar dan gak ada orang yang tau. Dan ternyata udah ada kunci beserta STNK-nya atas nama gue.
Ah.
The Soul of Son Goku II
Suatu malam minggu, Son Goku tiba-tiba mogok. Minta tumbal lagi. Kejadiannya di daerah yang jauh dari bengkel. Gue nuntun kira-kira hampir satu kilo buat nyari bengkel. Sampe di bengkel, si tukang bengkel tersenyum ceria kemudian nanya, “Kenapa dek? Apa yang rusak?”
“Mana gue tau, kalo gue tau gue benerin sendiri...” Gue jawab dalem hati. Setelah di kutak-katik sebentar, si tukang bengkel menyimpulkan: mesinnya mesti dibongkar.
“Bengkelnya sudah mau tutup. Rumah kou dimana?” Tukang bengkel batak itu nanya.
“Di daerah Kranji, Om!” Gue jawab sayu.
“Oh tidak terlalu jauh! Ditarik saja sampai rumah!”
Ditarik? Gue nuntun baru satu kilo aja capeknya setengah mateng, eh malah nyaranin ditarik. Apa gue terlihat seperti kerbau pembajak sawah? Atau Limbad yang bisa narik truk pake gigi? Atau mungkin, tukang bengkel-batak itu agak sinting karena kebanyakan menghirup asap knalpot?
“Ditarik gimana, Om?” gue nanya.
“Ditarik pake motor lain lah. Minta jemput temen kou saja.”
“Oh..”
Ya, gue tercerahkan. Gue membuka HP mencari nomor yang bisa dihubungi untuk dimintai tolong. Dan orang tidak beruntung itu adalah Njay. Gue SMS.
Selama kurang lebih setengah jam gue nunggu balesan SMS.
Nihil.
Sementara gue gak punya pulsa buat nelpon dan gak ada counter pulsa di dekat situ. Sementara hari semakin malem. Sementara bengkelnya udah ditutup. Sementara gue udah cepirit tiga kali.
“Tenang! Tenang! Jangan panik!” Gue nasehatin diri gue sendiri yang makin takut. Kombinasi antara takut berada di tempat sepi sendirian dan disamperin polisi pamong praja.
Gue terus memutar otak untuk bisa sampe rumah. Dan, dengan ketenangan berpikir, gue sadar kalo posisi gue udah deket kampus. Yak! Ide brilian untuk menitipkan Son Goku ke kampus. Kebetulan gue akrab dengan penjaga kampus.
Biasanya, Son Goku gak gampang mogok. Entah ada apa dengan malam Minggu itu. Nuntun motor dari bengkel ke kampus malem-malem ternyata gak terlalu buruk. Gue jadi tau detail kota yang gue tinggalin selangkah demi selangkah, gue ngerasa lebih down to earth. Gue jadi tau di belokan itu ada bengkel. Di blok sebelah kiri ada bank yang depannya berubah jadi tenda pecel lele kalo malem. Dan di depan gedung DPRD banyak mangkal bencong.
Adrenalin gue melonjak ketika gue ngelewatin gerombolan bencong yang lagi mangkal. Yeah, mati gue digodain bencong. Stang motor gue pegang erat-erat. Suasananya berubah jadi horor. Bisa aja mereka deketin dan bilang, “Bang, ngojek dong!”
Begitu sampe di kampus, tiba-tiba ada SMS masuk dari Njay, ‘Oke sebentar lagi gue sampe. Tunggu aja.’
“Mana gue tau, kalo gue tau gue benerin sendiri...” Gue jawab dalem hati. Setelah di kutak-katik sebentar, si tukang bengkel menyimpulkan: mesinnya mesti dibongkar.
“Bengkelnya sudah mau tutup. Rumah kou dimana?” Tukang bengkel batak itu nanya.
“Di daerah Kranji, Om!” Gue jawab sayu.
“Oh tidak terlalu jauh! Ditarik saja sampai rumah!”
Ditarik? Gue nuntun baru satu kilo aja capeknya setengah mateng, eh malah nyaranin ditarik. Apa gue terlihat seperti kerbau pembajak sawah? Atau Limbad yang bisa narik truk pake gigi? Atau mungkin, tukang bengkel-batak itu agak sinting karena kebanyakan menghirup asap knalpot?
“Ditarik gimana, Om?” gue nanya.
“Ditarik pake motor lain lah. Minta jemput temen kou saja.”
“Oh..”
Ya, gue tercerahkan. Gue membuka HP mencari nomor yang bisa dihubungi untuk dimintai tolong. Dan orang tidak beruntung itu adalah Njay. Gue SMS.
Selama kurang lebih setengah jam gue nunggu balesan SMS.
Nihil.
Sementara gue gak punya pulsa buat nelpon dan gak ada counter pulsa di dekat situ. Sementara hari semakin malem. Sementara bengkelnya udah ditutup. Sementara gue udah cepirit tiga kali.
“Tenang! Tenang! Jangan panik!” Gue nasehatin diri gue sendiri yang makin takut. Kombinasi antara takut berada di tempat sepi sendirian dan disamperin polisi pamong praja.
Gue terus memutar otak untuk bisa sampe rumah. Dan, dengan ketenangan berpikir, gue sadar kalo posisi gue udah deket kampus. Yak! Ide brilian untuk menitipkan Son Goku ke kampus. Kebetulan gue akrab dengan penjaga kampus.
Biasanya, Son Goku gak gampang mogok. Entah ada apa dengan malam Minggu itu. Nuntun motor dari bengkel ke kampus malem-malem ternyata gak terlalu buruk. Gue jadi tau detail kota yang gue tinggalin selangkah demi selangkah, gue ngerasa lebih down to earth. Gue jadi tau di belokan itu ada bengkel. Di blok sebelah kiri ada bank yang depannya berubah jadi tenda pecel lele kalo malem. Dan di depan gedung DPRD banyak mangkal bencong.
Adrenalin gue melonjak ketika gue ngelewatin gerombolan bencong yang lagi mangkal. Yeah, mati gue digodain bencong. Stang motor gue pegang erat-erat. Suasananya berubah jadi horor. Bisa aja mereka deketin dan bilang, “Bang, ngojek dong!”
Begitu sampe di kampus, tiba-tiba ada SMS masuk dari Njay, ‘Oke sebentar lagi gue sampe. Tunggu aja.’
The Soul of Son Goku I
Gue pernah punya motor tua, Son Goku namanya. Kalo dibandingin dengan motor-motor tua seangkatannya, Goku termasuk masih cihuy. Beda dengan gue, yang sering lupa perbedaan antara memiliki motor dengan kambing.
Kalo kambing laper, gue bisa lepas di pekarangan tetangga buat nyari makan (walopun gue gak yakin si embek bisa pulang hidup-hidup), sementara gue gak bisa melakukan hal yang sama terhadap Son Goku.
Masalah yang selalu terulang adalah gue selalu lupa untuk ngisi bensin. Ditambah lagi, alat pengukur bensinnya udah gak berfungsi. Pernah suatu hari Ratih, temen kuliah, nebeng pulang. Dia ngomong, “Lo udah cek bensinnya, Al?
“Uwh..” kata gue mengingat-ngingat sebentar. “Udah. Udah.”
“Lo yakin? Coba priksa dulu!”
“Gak usah! Masih cukup kok. Baru gue isi dua hari yang lalu.”
Lima belas menit kemudian. Gue dan Ratih di pinggir jalan clangak-clinguk nyari pom bensin terdekat.
Ratih ngeliatin gue, dari pandangannya sepertinya dia mo bilang, “Dasar batu lo!”
Mungkin seharusnya sebelum boncengin Ratih gue bilang ke dia supaya bawa sepatu roda, jadi kalo di tengah jalan bensinnya abis dia bisa jual sepatu rodanya buat beli bensin.
Keluarga gue juga udah maklum dengan betapa gak pedulinya gue dengan urusan bensin. Jadi, kalo pagi-pagi gue nganterin adek ke sekolah trus bensinnya abis di tengah jalan, gue cuma bilang ke adek, “Udah, turun. Bensin gue abis. Lo naek angkot aja sana!”
Dan pulang-pulang gue diomelin nyokap karena nurunin adek sembarangan.
Son Goku adalah Honda astrea tahun 85 yang sangat gue banggakan. Dibeli cash. Dibeli dengan hasil jerih payah dan daki sendiri.
Nama Son Goku diambil dari tokoh kartun jepang favorit gue waktu SD. Awalnya gue mao kasih nama Duldul, seperti nama onta Nabi, tapi karena nama depan bokap gue Abdul maka gue mengurungkan niat itu. Daripada durhaka nyamain motor sama bokap.
Dengan nama itu, gue berharap dia akan seperti Son Goku; kecil, cerdas dan kuat. Walopun pada kenyataannya ‘Son Goku’ gue tetep gak bisa ngelawan aturan alam; tua, sakit-sakitan dan ejakulasi dini.
Dengan kebanggaan punya motor sendiri, gue beli stiker dan ditempel di belakang motor bertuliskan, “Caution: Motor Kredit Dilarang Nyalip!”.
Dengan tulisan itu gue merasa bangga dan membawa Son Goku ke kampus. Ketika pelajaran selesai, gue keluar kampus menuju parkiran. Gue bareng Aldi, kenalan baru di kampus saat itu. Sesampainya di parkiran, gue lihat Son Goku terparkir dengan jumawa, di sampingnya mobil sedan merah. Kontras sekali, seperti langit dan Tukul. Namun, tetap gue bangga dengan harta pusaka gue itu. Dan supaya terlihat lebih bersahabat, gue menawarkan Aldi tumpangan. Kalo ngeliat tampang gembel Aldi yang pake kaos oblong dan jeans sobek, gue berkesimpulan dia ke kampus naek bajaj.
“Ayo, Di! Balik bareng gue aja, dari pada ngangkot.”
“Oh, boleh.” Kata dia kalem, “tapi kayaknya gak bisa hari ini deh.”
“Kenapa?” gue nanya penasaran.
“Hari ini gue bawa mobil.” kata Aldi sambil buka sedan merah di samping motor butut gue. Rasanya gue mau terjun dari patung pancoran.
Kalo kambing laper, gue bisa lepas di pekarangan tetangga buat nyari makan (walopun gue gak yakin si embek bisa pulang hidup-hidup), sementara gue gak bisa melakukan hal yang sama terhadap Son Goku.
Masalah yang selalu terulang adalah gue selalu lupa untuk ngisi bensin. Ditambah lagi, alat pengukur bensinnya udah gak berfungsi. Pernah suatu hari Ratih, temen kuliah, nebeng pulang. Dia ngomong, “Lo udah cek bensinnya, Al?
“Uwh..” kata gue mengingat-ngingat sebentar. “Udah. Udah.”
“Lo yakin? Coba priksa dulu!”
“Gak usah! Masih cukup kok. Baru gue isi dua hari yang lalu.”
Lima belas menit kemudian. Gue dan Ratih di pinggir jalan clangak-clinguk nyari pom bensin terdekat.
Ratih ngeliatin gue, dari pandangannya sepertinya dia mo bilang, “Dasar batu lo!”
Mungkin seharusnya sebelum boncengin Ratih gue bilang ke dia supaya bawa sepatu roda, jadi kalo di tengah jalan bensinnya abis dia bisa jual sepatu rodanya buat beli bensin.
Keluarga gue juga udah maklum dengan betapa gak pedulinya gue dengan urusan bensin. Jadi, kalo pagi-pagi gue nganterin adek ke sekolah trus bensinnya abis di tengah jalan, gue cuma bilang ke adek, “Udah, turun. Bensin gue abis. Lo naek angkot aja sana!”
Dan pulang-pulang gue diomelin nyokap karena nurunin adek sembarangan.
Son Goku adalah Honda astrea tahun 85 yang sangat gue banggakan. Dibeli cash. Dibeli dengan hasil jerih payah dan daki sendiri.
Nama Son Goku diambil dari tokoh kartun jepang favorit gue waktu SD. Awalnya gue mao kasih nama Duldul, seperti nama onta Nabi, tapi karena nama depan bokap gue Abdul maka gue mengurungkan niat itu. Daripada durhaka nyamain motor sama bokap.
Dengan nama itu, gue berharap dia akan seperti Son Goku; kecil, cerdas dan kuat. Walopun pada kenyataannya ‘Son Goku’ gue tetep gak bisa ngelawan aturan alam; tua, sakit-sakitan dan ejakulasi dini.
Dengan kebanggaan punya motor sendiri, gue beli stiker dan ditempel di belakang motor bertuliskan, “Caution: Motor Kredit Dilarang Nyalip!”.
Dengan tulisan itu gue merasa bangga dan membawa Son Goku ke kampus. Ketika pelajaran selesai, gue keluar kampus menuju parkiran. Gue bareng Aldi, kenalan baru di kampus saat itu. Sesampainya di parkiran, gue lihat Son Goku terparkir dengan jumawa, di sampingnya mobil sedan merah. Kontras sekali, seperti langit dan Tukul. Namun, tetap gue bangga dengan harta pusaka gue itu. Dan supaya terlihat lebih bersahabat, gue menawarkan Aldi tumpangan. Kalo ngeliat tampang gembel Aldi yang pake kaos oblong dan jeans sobek, gue berkesimpulan dia ke kampus naek bajaj.
“Ayo, Di! Balik bareng gue aja, dari pada ngangkot.”
“Oh, boleh.” Kata dia kalem, “tapi kayaknya gak bisa hari ini deh.”
“Kenapa?” gue nanya penasaran.
“Hari ini gue bawa mobil.” kata Aldi sambil buka sedan merah di samping motor butut gue. Rasanya gue mau terjun dari patung pancoran.
Selasa, 04 Oktober 2011
Delapan Sequel untuk Alur Cerita
Set Up
1. Dunia Sempurna yang Semu
2. Penyadaran
3. Persiapan Perjalanan
Climax
4. Naik ke Atas
5. Musim Badai
6. Kejatuhan
Conclusion
7. Kebangkitan
8. Dunia Sempurna
Jika kamu perhatikan novel-novel bagus atau cerita yang pernah kamu baca, niscaya akan berpola seperti itu. Sebut saja Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Alchemist-nya Paulo Coelho, Bilangan Fu-nya Ayu Utami dan lain-lain. Banyak film bagus juga menggunakan pola seperti ini. Contohnya: How to Train Your Dragon oleh Dean DeBlois dan Chris Sanders, Spider-Man oleh Sam Raimi, A Beautiful Mind oleh Ron Howard dan lain-lain. Baca kembali, tonton kembali, ingat-ingat dan kamu akan temukan apa maksud sequel-sequel di atas.
Tidak lama saya juga membaca di blog A.s Laksana (as-laksana.blogspot.com)tentang dua belas tahap Perjalanan Hero yang dirumuskan oleh Campbell.
1.) Kehidupan normal
2.) Panggilan bertualang
3.) Menolak panggilan
4.) Pertemuan dengan mentor
5.) Melintasi gerbang pertama
6.) Ujian pertama, bertemu musuh, bertemu sekutu
7.) Memasuki gua atau dunia yang berbahaya
8.) Cobaan berat
9.) Mendapatkan pedang sakti
10.) Keluar dari gua atau dunia yang berbahaya
11.) Kebangkitan kembali
12.) Pulang membawa obat mujarab (bagi kehidupan)
Nb: Sequel-sequel itu diriwayatkan oleh Raditya Dika kepada saya (Muttafaqon 'alaih).
1. Dunia Sempurna yang Semu
2. Penyadaran
3. Persiapan Perjalanan
Climax
4. Naik ke Atas
5. Musim Badai
6. Kejatuhan
Conclusion
7. Kebangkitan
8. Dunia Sempurna
Jika kamu perhatikan novel-novel bagus atau cerita yang pernah kamu baca, niscaya akan berpola seperti itu. Sebut saja Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Alchemist-nya Paulo Coelho, Bilangan Fu-nya Ayu Utami dan lain-lain. Banyak film bagus juga menggunakan pola seperti ini. Contohnya: How to Train Your Dragon oleh Dean DeBlois dan Chris Sanders, Spider-Man oleh Sam Raimi, A Beautiful Mind oleh Ron Howard dan lain-lain. Baca kembali, tonton kembali, ingat-ingat dan kamu akan temukan apa maksud sequel-sequel di atas.
Tidak lama saya juga membaca di blog A.s Laksana (as-laksana.blogspot.com)tentang dua belas tahap Perjalanan Hero yang dirumuskan oleh Campbell.
1.) Kehidupan normal
2.) Panggilan bertualang
3.) Menolak panggilan
4.) Pertemuan dengan mentor
5.) Melintasi gerbang pertama
6.) Ujian pertama, bertemu musuh, bertemu sekutu
7.) Memasuki gua atau dunia yang berbahaya
8.) Cobaan berat
9.) Mendapatkan pedang sakti
10.) Keluar dari gua atau dunia yang berbahaya
11.) Kebangkitan kembali
12.) Pulang membawa obat mujarab (bagi kehidupan)
Nb: Sequel-sequel itu diriwayatkan oleh Raditya Dika kepada saya (Muttafaqon 'alaih).
Minggu, 02 Oktober 2011
Argumen Radikalisme
Fenomena mengkafirkan belakangan banyak bermunculan di Indonesia. Orang-orang yang memaksakan keyakinan mereka pun makin banyak. Bahkan telah melembaga (saya tidak perlu menuliskan lembaga-lembaga tersebut di sini, mungkin sebagian pembaca telah mengetahui. Sekaligus juga menjaga agar blog saya tidak di-Hack. hehehehe). Mengapa mereka yakin perbuatan kasar mereka itu sebagai perbuatan baik? Apa sebenarnya argumentasi mereka?
Dalam Islam, pengkafiran paling awal gemar dilakukan oleh kelompok Khawarij. Mereka adalah kelompok orang yang keluar dari Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib terkait Tahkim dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah.
Kelompok-kelompok ini lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun sebagai musyrik, murtad dan kafir. Mereka menyebut semua ini sebagai dakwah, Amar ma’ruf nahy munkar dan ‘jihad’.
Ada sebuah riwayat hadits yang dijadikan keteladanan dan landasan bagi mereka untuk menghabisi dan perang melawan non-Muslim. Hadits tersebut berbunyi, “Umirtu an uqátila al-anás hattá yasyhadú lá Iláh illa Alláh” (Aku diperintahkan memerangi siapapun hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah).
Ada beberapa hal yang perlu diperjelas di sini. Saya akan bagi menjadi beberapa poin.
Marilah kita renungi bersama: untuk menjadikan setiap individu atau masyarakat di Indonesia ini mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya kita --sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok-kelompok tersebut--, tentu sangat tidak realistis.
Sementara Imam ‘Ali Ibn Abi Tholib juga pernah berkata, “Kitab suci tidak membawa maknanya di atas pundaknya. Ia membutuhkan pembaca untuk menyampaikan maknanya. Dan pembaca itu adalah manusia.”
Sebaik apa pun ajaran dan pesan agama sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca dan penganutnya. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita sebagai hamba yang lembut hatinya.
Dan untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip Emha Ainun Nadjib. Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang sakral tentang tuntutan penghapusan UU Penodaan Agama, dia bilang, "Saya disebut kafir malah Alhamdulillah, sama seperti sekolah nggak lulus-lulus, jadi belajar terus. Saya belum berani menyebut diri muslim, apalagi bilang saya ngganteng,"
Wallahu ‘alam bissowab
Dalam Islam, pengkafiran paling awal gemar dilakukan oleh kelompok Khawarij. Mereka adalah kelompok orang yang keluar dari Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib terkait Tahkim dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah.
Kelompok-kelompok ini lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun sebagai musyrik, murtad dan kafir. Mereka menyebut semua ini sebagai dakwah, Amar ma’ruf nahy munkar dan ‘jihad’.
Ada sebuah riwayat hadits yang dijadikan keteladanan dan landasan bagi mereka untuk menghabisi dan perang melawan non-Muslim. Hadits tersebut berbunyi, “Umirtu an uqátila al-anás hattá yasyhadú lá Iláh illa Alláh” (Aku diperintahkan memerangi siapapun hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah).
Ada beberapa hal yang perlu diperjelas di sini. Saya akan bagi menjadi beberapa poin.
Secara umum, tabiat mereka yang keras serta perbuatan-perbuatan mereka seperti memvonis musyrik, kafir dan murtad terhadap sesama muslim, serta aksi-aksi destruktif lainnya bertentangan dengan semangat Islam. Perbuatan mereka bertentangan dengan kaidah fiqh yang berbunyi: “Mafsaadah dar’ al-mafaasid muqaddam ‘alaa jalb al-mashlaalih” (Menolak kerusakan, kekacauan, kekejaman dan semacamnya harus lebih didahulukan daripada mewujudkan kesejahteraan).
Makna kafir menurut Ibn ‘Arabi adalah suatu kondisi tertutup atau menolak kebenaran sejati, atau bahkan sumber kebenaran sejati. Bisa jadi, penolakan ini disebabkan sifat takabbur atau terbatasnya pengetahuan. Karena itu mereka tidak boleh dimusuhi, apalagi diputuskan halal darahnya.
Secara harfiah jihad bermakna kesungguhan, keseriusan dalam menunaikan suatu kewajiban atau kegiatan. Secara generik kata ini bersifat netral dan baru mempunyai makna konotatif ketika disandingkan dengan aktivitas tertentu. Belajar dengan sungguh-sungguh disebut jihad karena kesungguhan dan keseriusan di dalamnya, bukan karena belajarnya. Ketika diucapkan dalam konteks ‘perang’pun, jihad sebenarnya merujuk pada kesungguhan dan keseriusan di dalamnya, bukan kepada perangnya. Jadi jihad bukan sama dengan perang.
Tentang hadits yang dikutip di atas, sebenarnya masih harus dijelaskan lebih lanjut. Karena jika memaknai hadits tersebut secara harfiyah saja maka itu menjadi bertentangan dengan kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh makhluk (bukan hanya muslim). Maka tidak mungkin nabi menyatakan dirinya diperintahkan ‘membantai’ non-Muslim. Maka hadits ini harus dibaca dalam konteks keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi Muhammad sebagai penyempurna akhlak mulia. Pembacaan secara parsial hanya akan menyebabkan agama menjadi sumber kebingungan. Perintah memerangi ini bukan dalam konteks memaksa siapapun masuk Islam, karena (lagi-lagi) itu bertentangan dengan, “Tidak ada paksaan dalam agama”. Kalimat tauhid sebgai kata kunci dalam hadits tersebut bukanlah dalam makna formal. Bukan dalam makna hingga mereka masuk Islam. Karena dalam syahadat dibutuhkan juga kalimat yang menyatakan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Maka makna tauhid dalam hadits tersebut menekankan makna hanya menuhankan Allah semata, apapun agamanya.
Marilah kita renungi bersama: untuk menjadikan setiap individu atau masyarakat di Indonesia ini mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya kita --sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok-kelompok tersebut--, tentu sangat tidak realistis.
Sementara Imam ‘Ali Ibn Abi Tholib juga pernah berkata, “Kitab suci tidak membawa maknanya di atas pundaknya. Ia membutuhkan pembaca untuk menyampaikan maknanya. Dan pembaca itu adalah manusia.”
Sebaik apa pun ajaran dan pesan agama sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca dan penganutnya. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita sebagai hamba yang lembut hatinya.
Dan untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip Emha Ainun Nadjib. Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang sakral tentang tuntutan penghapusan UU Penodaan Agama, dia bilang, "Saya disebut kafir malah Alhamdulillah, sama seperti sekolah nggak lulus-lulus, jadi belajar terus. Saya belum berani menyebut diri muslim, apalagi bilang saya ngganteng,"
Wallahu ‘alam bissowab
Tergesa-gesa
Bulan Ramadlan tahun itu, Rustamhari yang masih kuliah, dipercaya menjadi imam taraweh di masjid Muhammadiyah kampungnya. Maka untuk sementara waktu, ia pulang-pergi kuliah, dari Godean ke Yogya. Jaraknya sekitar sekitar 25 kilo.
Pulang kuliah sore hari, Rustam menggeber Yamaha bututnya. Tapi waktu yang tersisa jelas tak cukup untuk menyelesaikan jarak Bulaksumur-Godean yang begitu jauhnya. Baru setengah jalan, maghrib sudah tiba. Sayup-sayup adzan terdengar, dan ia pun langsung berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan.
“Masakannya apa saja, Pak?”
“Biasa, Mas… tongseng… sate…”
“Tongseng!” ia memesan serta-merta.
Ia harus cepat supaya masih ada sisa waktu untuk sholat maghrib di rumah. Tongseng ditelannya dengan tergesa-gesa, nyaris tak meluangkan waktu untuk menikmati rasanya. Tongseng habis, ia pun buru-buru menanyakan harga.
“Rp 350,-“
“Lho? Kok murah banget?”
“Memang harganya segitu, Mas… mosok mau dimahal-mahalkan…”
Ketika hendak naik motor, barulah terbaca olehnya tulisan di tenda warung itu: “Tongseng Asu!” / “Tongseng daging anjing”
Diambil dari: http://teronggosong.com/
Pulang kuliah sore hari, Rustam menggeber Yamaha bututnya. Tapi waktu yang tersisa jelas tak cukup untuk menyelesaikan jarak Bulaksumur-Godean yang begitu jauhnya. Baru setengah jalan, maghrib sudah tiba. Sayup-sayup adzan terdengar, dan ia pun langsung berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan.
“Masakannya apa saja, Pak?”
“Biasa, Mas… tongseng… sate…”
“Tongseng!” ia memesan serta-merta.
Ia harus cepat supaya masih ada sisa waktu untuk sholat maghrib di rumah. Tongseng ditelannya dengan tergesa-gesa, nyaris tak meluangkan waktu untuk menikmati rasanya. Tongseng habis, ia pun buru-buru menanyakan harga.
“Rp 350,-“
“Lho? Kok murah banget?”
“Memang harganya segitu, Mas… mosok mau dimahal-mahalkan…”
Ketika hendak naik motor, barulah terbaca olehnya tulisan di tenda warung itu: “Tongseng Asu!” / “Tongseng daging anjing”
Diambil dari: http://teronggosong.com/
Sabtu, 01 Oktober 2011
Be Different, Be Independent, Be You!
My friends often call me a weirdo.
At first, I didn’t care about that name. But gradually I felt disturbed. And here I need to defense myself. I need to tell that there are many weird people around us and even much weirder than I am.
Let me tell you the examples. In my campus I have a friend (to cover her real identity, let us just call her ‘the-weirdo’). One time in our campus, ‘the-weirdo’ was doing a cross word puzzle while waiting for the lecture to come to class. But there was a word she couldn’t figure out. ‘The-weirdo’ asked her friend, Petra.
Silent.
There was also a weirdo in my office. He is an Office Boy (once more, to cover his real identity, let us just call him the-OB. One day, when I wanted to go to a bathroom, I was very surprised! I saw the seated toilet was broken in two pieces. Can you imagine the toilet made of the-big-strong-porcelain-seated toilet can break that way?! In my mind, there were critical questions: who broke it? Was there anyone broke the toilet as a result of terrorism? Or was there anyone pooped a bomb?
After that, I know that someone who broke the toilet was the-OB. He pooped by squatting in the seated toilet.
Now! Who is weirder?
But as the time went by, as the age went by, I understand more that I am really weird. I like to write and also like to be alone. You can say that I am introvert. Sometimes, I could not hear let alone listen people talking near me or to me when I was reading a book or anything else. It is like I am in my own world when I am reading books.
I had sent SMS to Petra and made her cry successfully –but I didn’t mean it. And she didn’t speak to me in a week.
After one week she wanted to meet me. I thought she wanted to say sorry for her fault, her big fault. And I will always accept her apology. I met Petra and she said that she didn’t speak to me was that because she wanted to give me a lesson!
I asked her for the reason. She said that it was because my answer in my last-week-SMS. Yes, I remembered the SMS that I sent her at that time. I wrote that she was like a STONE! I thought that was not rude, but maybe I sent the message in bad time. Maybe at that time she needed someone to share about her problem.
And she cried.
To be honest, there are many of my friends (especially girls), cried because of what I did or said. And here I am rethinking: am I really a weirdo?
With my weirdness, I see people through my perspective. And because I have different perspective with others, so it also creates a different result. Or with the simple word, I am weird!
Eventhough the word ‘weird’ here does not always have bad connotation. Maybe every one has her or his own ‘weirdness’. That’s because we have different point of view, every point of view looks from its own mindsets. The way we speak, the way we walk, the way we act must be different from one to another. That is something that makes us different, makes our own ‘weirdness’.
I am thinking about my self. I am not a follower. I am not such a follower that follows to see orchestra or listen to jazz so that I will look like a gentleman. Or I am proud because I ever climbed the highest mountain in Indonesia. I am not someone who pretends to be sad when I watch movies or when I read poems, maybe some people think that sad is romantic, and romantic is a style.
I am not a person who puts other people good impression at the first place and makes it more important than what I really want and like. Be different, be independent, be you!
[1] Indonesian word means unfortunate
[2] Indonesian word, synonym of the first footnote
At first, I didn’t care about that name. But gradually I felt disturbed. And here I need to defense myself. I need to tell that there are many weird people around us and even much weirder than I am.
Let me tell you the examples. In my campus I have a friend (to cover her real identity, let us just call her ‘the-weirdo’). One time in our campus, ‘the-weirdo’ was doing a cross word puzzle while waiting for the lecture to come to class. But there was a word she couldn’t figure out. ‘The-weirdo’ asked her friend, Petra.
“Eh, Pet! Four letters: malang, sial[1]?”
“NAAS[2]!” Petra said enthusiastically.
“Four letters, Pet!” The-Weirdo wasn’t sure.
“Yes. Naas is four letters!” Petra assured her impatiently.
“But the second letter is A!” the-weirdo became the-stupid. My friends and I in the class room were waiting for Petra reaction. Petra couldn’t control her emotion, “That is NAAS!”
“NO, FOUR LETTERS! THE SECOND LETTER IS A!” The-weirdo insisted.
“YES! IT’S NAAS!!!” Petra exploded.
Silent.
‘Mmm, hey, you’re right.’ The-weirdo said.
There was also a weirdo in my office. He is an Office Boy (once more, to cover his real identity, let us just call him the-OB. One day, when I wanted to go to a bathroom, I was very surprised! I saw the seated toilet was broken in two pieces. Can you imagine the toilet made of the-big-strong-porcelain-seated toilet can break that way?! In my mind, there were critical questions: who broke it? Was there anyone broke the toilet as a result of terrorism? Or was there anyone pooped a bomb?
After that, I know that someone who broke the toilet was the-OB. He pooped by squatting in the seated toilet.
Now! Who is weirder?
But as the time went by, as the age went by, I understand more that I am really weird. I like to write and also like to be alone. You can say that I am introvert. Sometimes, I could not hear let alone listen people talking near me or to me when I was reading a book or anything else. It is like I am in my own world when I am reading books.
I had sent SMS to Petra and made her cry successfully –but I didn’t mean it. And she didn’t speak to me in a week.
After one week she wanted to meet me. I thought she wanted to say sorry for her fault, her big fault. And I will always accept her apology. I met Petra and she said that she didn’t speak to me was that because she wanted to give me a lesson!
I asked her for the reason. She said that it was because my answer in my last-week-SMS. Yes, I remembered the SMS that I sent her at that time. I wrote that she was like a STONE! I thought that was not rude, but maybe I sent the message in bad time. Maybe at that time she needed someone to share about her problem.
And she cried.
To be honest, there are many of my friends (especially girls), cried because of what I did or said. And here I am rethinking: am I really a weirdo?
With my weirdness, I see people through my perspective. And because I have different perspective with others, so it also creates a different result. Or with the simple word, I am weird!
Eventhough the word ‘weird’ here does not always have bad connotation. Maybe every one has her or his own ‘weirdness’. That’s because we have different point of view, every point of view looks from its own mindsets. The way we speak, the way we walk, the way we act must be different from one to another. That is something that makes us different, makes our own ‘weirdness’.
I am thinking about my self. I am not a follower. I am not such a follower that follows to see orchestra or listen to jazz so that I will look like a gentleman. Or I am proud because I ever climbed the highest mountain in Indonesia. I am not someone who pretends to be sad when I watch movies or when I read poems, maybe some people think that sad is romantic, and romantic is a style.
I am not a person who puts other people good impression at the first place and makes it more important than what I really want and like. Be different, be independent, be you!
[1] Indonesian word means unfortunate
[2] Indonesian word, synonym of the first footnote
Langganan:
Postingan (Atom)