Bulan Ramadlan tahun itu, Rustamhari yang masih kuliah, dipercaya menjadi imam taraweh di masjid Muhammadiyah kampungnya. Maka untuk sementara waktu, ia pulang-pergi kuliah, dari Godean ke Yogya. Jaraknya sekitar sekitar 25 kilo.
Pulang kuliah sore hari, Rustam menggeber Yamaha bututnya. Tapi waktu yang tersisa jelas tak cukup untuk menyelesaikan jarak Bulaksumur-Godean yang begitu jauhnya. Baru setengah jalan, maghrib sudah tiba. Sayup-sayup adzan terdengar, dan ia pun langsung berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan.
“Masakannya apa saja, Pak?”
“Biasa, Mas… tongseng… sate…”
“Tongseng!” ia memesan serta-merta.
Ia harus cepat supaya masih ada sisa waktu untuk sholat maghrib di rumah. Tongseng ditelannya dengan tergesa-gesa, nyaris tak meluangkan waktu untuk menikmati rasanya. Tongseng habis, ia pun buru-buru menanyakan harga.
“Rp 350,-“
“Lho? Kok murah banget?”
“Memang harganya segitu, Mas… mosok mau dimahal-mahalkan…”
Ketika hendak naik motor, barulah terbaca olehnya tulisan di tenda warung itu: “Tongseng Asu!” / “Tongseng daging anjing”
Diambil dari: http://teronggosong.com/