Dari sebuah jendela, pada sebuah rumah yang belum jadi, ada sepasang mata menatap keluar. Mata yang dulu bisa menaklukan setiap tatap lelaki yang berani menyelaminya. Tapi sekarang mata itu redup, menyimpan jutaan kenangan redup, pada sisa waktu yang juga makin meredup.
Diluar rumah, cucu-cucu kesayangannya sedang bermain, menggelar sebuah sandiwara realis tentang pedagang dan pembeli, beberapa cucunya yang lain berkejaran saling memukul. Teriakan dan tawa mereka adalah nyanyian kehidupan, begitu ceria dan jernih. Angin sore berlarian disela-sela batang sengon yang berjajar di depan rumah kemudian mengoyang-goyang dedaunannya. Jajaran sengon yang setia itu seperti mencoba meraih dan menggapai-gapai sinar senja keemasan dari arah barat; rumah itu menghadap timur. Senja kala itu, seperti senja-senja yang kemarin, masih menyisakan beberapa sesal.
Sore itu ia kembali menangis, teringat peristiwa-peristiwa lampau yang pernah ia alami. Ia teringat suami keduanya yang hilang dibawa penjajah Belanda, ketika ia masih mengandung anak ketiga. Tentang suami terakhirnya yang kini telah berpulang mendahului. Tentang anak-anaknya yang jauh merantau dan hampir melupakannya. Juga tentang beberapa kenangan suram yang masih tersimpan dalam memorinya yang sederhana. Disaat sendiri seperti itu, merenung adalah satu-satunya hal yang sangat mungkin dilakukan; memandangi dunia dimana ia tak lagi menjadi bagian darinya.
Ia masih menatap keluar, lelehan air mata sengaja tidak dihapus karena akan percuma, ia masih ingin menangis —menangisi. Hal itu membuatnya puas, tenang. Ia masih mampu mengerjakan segala hal. Segala indra yang ada padanya masih berfungsi. Ia masih mendengar, melihat, mengecap, membaui dengan normal seperti orang-orang sehat lainnya, juga yang terpenting ia masih bisa berpikir dengan baik dan benar juga baku, seperti Bahasa Indonesia –hal yang mencirikannya sebagai makhluk Tuhan yang bernama manusia. Satu hal yang tidak bisa ia kerjakan; berjalan keluar rumah. Ia lumpuh.
Ada yang ia tunggu sore itu.
“Kapan anak itu datang?” ia bertanya pada anak perempuannya yang mengurusinya di rumah itu, yang tiba-tiba masuk kamar untuk mengambil piring-piring kotor sisa makan siangnya.
“Entah, mungkin sore ini.” Jawab anak perempuan itu singkat, sambil segera keluar kamar.
Dalam kamar itu ia duduk pada sebuah dipan, bersandar pada bantal-bantal yang susah payah ia susun dengan satu tangan. Tujuh tahun lalu strook membuat sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Sekarang ia hanya bisa melakukan segalanya dari atas ranjang yang semakin riuh oleh waktu.
Sore itu, seperti yang dikatakan anak perempuannya, cucunya dari Jakarta akan datang. Dan akhirnya, anak yang ditunggu-tunggu itu datang.
“Apa kabar, mBah?!” anak itu menyapa sambil mencium telapak tangan kiri neneknya yang masih bisa digerakkan.
“Baik!” jawab nenek itu singkat dan spontan. Seketika mata mereka beradu, ada kerinduan yang tak terucap dari mata keduanya. Ia kembali menangis. Entah karena apa.
Anak itu meletakan barang-barang bawaannya ke dalam lemari kosong yang ada di kamar itu. Pakaian untuk satu minggu juga beberapa buku yang sengaja ia siapkan untuk menemani perjalanannya, ia tata sekenanya. Dipan yang besebrangan dengan dipan neneknya yang disiapkan untuknya, juga ia tata sekenanya. Setelah selesai dengan ritual rapi-merapikan itu, ia duduk pada dipannya, kemudian kembali menatap neneknya. Sekali lagi, mereka bersitatap.
“Kabar bapakmu, gimana? Ibumu? Adik-adikmu?” dengan suara patah-patah, si nenek mencoba membuka percakapan lagi, “kenapa tidak ikut kemari?”
Anak itu diam. Masih menatap mata si nenek, sambil menata nafas ia mencoba menjawab, berpikir untuk menjawab lebih tepatnya, karena ia tahu jawaban hanya akan menambah kesedihan neneknya. Bukan kali itu saja pertanyaan itu ditanyakan, dan bukan kali itu saja anak itu mencoba untuk diam atau mengalihkan pembicaraan. Si nenekpun sepertinya tahu, ia tidak memaksa.
Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum krisis ekonomi menerpa negerinya, anak itu dan keluarganya sering berkunjung ke tempat si nenek. Paling tidak setiap libur lebaran atau libur sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring perputaran nasib yang tidak menentu, mereka tidak bisa terlalu sering berkunjung. Keadaan yang memaksa ayahnya untuk kehilangan pekerjaan. Keadaan pula yang memaksa dirinya untuk menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Karena ia adalah anak tertua maka dialah yang bertanggungjawab untuk mengurusi adik-adiknya yang lain.
Senja kini berganti malam, mengubur siang-siang yang lelah. Percakapan-percakapan malam hari berganti pada percakapan hal-hal praktis, tentang perjalanan, keadaan, makanan juga tujuan kedatangan si anak.
“Aku cuma seminggu disini, mBah!” si anak menjelaskan, “hanya ingin menengok keadaan simbah.” Si nenek hanya menatap si anak dan tidak berkomentar, ia tahu sebentar lagi akan keluar penjelasan lain dari mulut cucunya itu.
“Sekarang memang aku belum dapat pekerjaan. Tapi aku sudah beberapa kali memasukan lamaran di beberapa perusahaan. Jadi tinggal menunggu panggilan. Kalaupun tidak ada panggilan sampai bulan depan, temanku juga ada yang menawariku pekerjaan, jadi simbah tidak usah khawatir.” Anak itu seakan-akan tahu kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan neneknya. Walaupun ia sendiri tidak yakin dengan penjelasannya sendiri. Kegagalan terkadang membuat seseorang menjadi pesimistis.
Si nenek tidak banyak komentar malam itu. Dari suaranya ia tahu cucunya lelah dan ingin istirahat. Anak lelaki dari anak lelakinya yang sangat ia sayangi, karena cuma dia yang tidak ragu-ragu memeluknya jika ia butuh untuk dipeluk. Tidak peduli dengan bau yang tidak karuan yang keluar dari tubuh kakunya.
Burung dandang berbunyi getir dan jauh mengingatkan pada kematian yang terkadang juga getir dan jauh. Tangan-tangan dingin angin malam menggesekkan daun-daun, menimbulkan bunyi gemerisik. Sesaat sepi berkelebat.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, kembali terulang rutinitas memejamkan mata. Biasanya, kegiatan itu diiringi dengan menghitungi dan mengingati jumlah anaknya yang delapan, cucunya yang tiga puluh dan cicitnya yang lima. Dalam bayangan si nenek, suatu pagi nanti, ketika ia bangun dari tidurnya yang sebentar, ia ingin berada pada sebuah taman; taman hijau yang luas dimana ia bisa melihat mega senja jingga dengan puas. Di taman itu ia ingin menari. Ia ingin berlarian-bahagia seperti anak kecil. Semilir angin mengibarkan rambutnya yang terurai. Dalam balutan gaun putih yang terjuntai, ia menarikan tarian jiwa yang paling rumit. Menarikan angin, api, bumi dan air. Bunga-bunga beraneka warna meruapkan beraneka aroma pada setiap inchi udara, menejukan rongga paru-parunya. Ia melompat, bersijingkat, meliuk, menari mengikuti kata hati. Berputar dan terus berputar seperti Darwis yang mabuk tuhan dalam lantunan dzikir. Cericit burung dan reriak sungai semakin menyempurnakan irama yang mengiringi tariannya. Tarian hanya dia yang tahu.
Itu yang ada dalam bayangannya.
Kenyataannya, setiap membuka mata dalam tidur yang sebentar, ia selalu menemukan dirinya masih berada di tempat yang sama. Pada dipan yang sangat ia kenal dan mengenalnya, menciumi bau tubuhnya sendiri juga kotoran-kotoran yang keluar dari dalamnya. Berpendar remang lampu yang sering membuatnya sulit memejamkan mata. Mendengarkan cicak, cericit tikus dan terkadang bunyi burung dandang yang getir dan jauh. Ditemani hal-hal itu, juga nyamuk-nyamuk nakal dan udara dingin malam yang menusuk-nusuk, ia terus bertahan. Bertahan untuk menahan tangis-tangisnya sendiri, sampai batas akhir hidupnya yang entah.
>>> In memoriam Simbah Aliyah binti Nawawi Allahu yarhamha wa 'afiha wa'fu'anha