Halaman

Senin, 16 Desember 2019

Masa Depan yang Mengajariku Bermimpi

Namaku Iro. Umurku 27 tahun. Seperti kebanyakan milenial, mimpiku adalah bisa keliling dunia, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang di seluruh dunia, membuat start up, dan menjadi content creator. Mimpiku masih seperti itu sampai ada seorang perempuan bernama Kayla, mengatakan bahwa semua mimpi itu akan terwujud, aku menjadi kaya raya, tapi diakhir hidup tidak bahagia. Ia bilang aku akan berumur panjang, 89 tahun 3 hari, dan akan meninggal di panti jompo. Sendirian. Ia mengatakan itu dengan keyakinan dan detail yang sulit ditandingi oleh siapapun yang pernah aku kenal. Ia serius ketika bilang datang dari masa depan.

*


“Oke. Ini memang foto asli.” aku mengembalikan sebuah foto bergambar beberapa anak TK yang berkerumun tidak teratur, di tengah mereka sedang tersenyum seorang laki-laki dengan uban memenuhi rambut dan jenggot. Latar belakang foto itu seperti ruang belajar dengan tembok penuh kreasi yang aneh, tidak jauh dari tembok itu ada sesuatu seperti jam digital yang menunjukan tahun 2052. Kayla mengatakan bahwa laki-laki tua dalam foto tersebut adalah aku, dan anak perempuan di pangkuanku adalah dirinya.

“Jadi sudah percaya, Prof. Eh, maksud saya, Mas.” komentar Kayla sambil menerima foto tersebut.

“Baik. Anggaplah aku percaya.” aku berkata hati-hati. “Tapi kenapa kamu berkunjung ke tahun ini? Oh, tunggu, biar aku tebak, kamu punya misi mau mencegah kelahiran seseorang kan? Atau menolong orang penting di masa depan yang ingin bunuh diri, kemudian kembali ke masa depan dan mendapat bayaran?”

“Tetot!” Kayla menyilangkan kedua lengannya. “Salah. Tebakanmu salah. Lagipula, ini perjalanan sekali jalan. Jadi aku tidak bisa kembali ke masa depan.”

Aku mengerutkan alis tidak menyangka dengan penjelasan itu. “Jadi apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?”

“Sebenarnya,” Kayla tersipu. “Aku kembali ke sini untuk bisa mengenalmu lebih jauh dan menjadi pasanganmu.”

“Apa?” aku kaget. Benar-benar kaget. Ia menanggung semua resiko untuk pergi ke sini hanya karenaku. Sulit dimengerti.

Kayla tersenyum seperti tidak terlalu heran dengan keterkejutanku. Apakah di masa depan nanti wanita memang semudah ini menyatakan perasaannya? Dari semua yang aku ketahui darinya, senyum itu adalah yang paling aku suka. Ia berperawakan sedang, dengan tinggi sekitar 165 cm. Berwajah bulat dan pipi kemerahan terutama ketika tersipu malu. Secara fisik tidak ada yang aneh padanya. Aku berani taruhan, sipapun laki-laki yang mengenalnya secara fisik akan tertarik padanya. Tanpa dimintapun aku mau jadi pacarnya.

“Apa aku akan jadi presiden Indonesia suatu hari nanti?” aku merespon setenang mungkin.

Kayla tertawa hingga terlihat gigi graham yang berderet putih dan rapih. Aku menikmati tawa renyah itu beberapa saat, sampai akhirnya ia tersenyum sambil menjelaskan. “Di masa depan, kamu adalah dosenku. Setelah pertemuan di TK waktu aku berumur 6 tahun, kita tidak pernah bertemu lagi sampai aku masuk kampus. Waktu itu kamu berkunjung ke TK sebagai tamu. Jadi setiap sebulan sekali, di kelas selalu kedatangan berbagai profesi. Kamu diundang karena kamu adalah dosen dan peneliti. Professor sosiologi yang telah berpetualang ke berbagai tempat.”

“Keliling dunia?” aku bertanya.

“Ya. Aku bisa menunjukan foto-fotonya kalu kamu mau. Atau mau video?” Kayla mendekatkan sesuatu di pergelangan tangannya yang berbentuk seperti jam. Ia seperti menekan pada ujunya dan keluar beberapa gambar dan video yang menunjukan seseorang yang sangat mirip diriku dengan latar berbagai daerah di seluruh dunia. Aku tertegun hampir tidak percaya. Aku berkunjung ke semua negara yang selalu aku impikan. Semuanya begitu nyata seperti siang hari namun juga seperti mimpi. Apa rasaanya jika kamu tahu bahwa semua keinginanmu akan terwujud?

Sambil menunjukan foto dan beberapa video, Kayla asik menjelaskan dengan rinci segala hal yang ia tahu tentangku. Kayla bercertita banyak tentang awal mula kesukaannya padaku. Tentang bagaimana pengalamanku keliling dunia. “Tahun depan, pengajuan beasiswamu ke Australia akan diterima. Kamu akan kuliah dan bekerja di sana selama empat tahun.”

“Bagaiman mimpiku menjadi youtuber dan membuat start up?”

“Kamu mencapai itu semua, dengan passion dan kerja keras.” Kayla berhenti sebentar, merapikan poni yang menutupi matanya karena tertiup angin. Angin yang juga menggoyang ranting-ranting pohon dan membuat daun kering berjatuhan. Aku refleks memungut beberapa daun kering yang jatuh pada rambut hitam Kayla, seakan-akan itu adalah kebiasaanku.

Kayla tersenyum seperti tidak terganggu dan tetap meneruskan. “Pada khirnya era itu redup dan kamu tidak menemukan kebahagiaan sejati pada apa yang kamu peroleh. Aku pernah bertanya padamu, dan kamu mengutip Jim Carrey.”

“Tunggu-tunggu.” Aku memotong penjelasan Kayla. “Jadi aku meraih semua mimpiku tapi aku tidak bahagia? Bagaimana bisa?”

“Ya begitulah. Kamu yang mengatakannya sendiri. Tapi Akhirnya kamu tahu bahwa kebahagianmu yang sebenarnya adalah membuat banyak orang bahagia. Dengan pendidikan dan penelitian yang berguna bagi orang banyak. Mulai dari situ kamu fokus meneliti dan belajar. Sayang kesadaran itu datang terlambat. Usiamu sudah 50 tahun.”

Aku bertanya banyak hal tentang diriku sendiri. Kayla menjawab semuanya dengan uraian yang sering membuatku semakin kaget.

“Jadi aku meninggal di panti jompo sendirian?” dengan terbata-bata aku memastikan apa yang baru kudengar.

“Ya.” Kayla menjawab cepat. “Tidak sendirian sebenarnya. Aku menemani dan selalu berkunjung selama 5 tahun terakhir kamu di panti jompo. Baik hanya bertanya tentang penelitian atau bercerita dan mengobrol tentang banyak hal.”

Aku seperti ditampar kemurungan. Ini seperti kisah fiksi tentang kemalangan yang biasa aku baca di novel. Hanya cerita ini menjadi begitu menyentuh karena tokohnya adalah diriku sendiri. Kayla bilang aku hampir punya istri. Sudah bertunangan tapi tunanganku meninggal karena kanker beberapa bulan sebelum kami menikah. Aku kaget dan bersandar pada kursi panjang di taman kampus itu. Aku akan tua, sendirian dan kesepian, tanpa anak dan keluarga yang menjaga, kalimat itu terngiang-ngiang di kepala. Aku masih tidak ingin percaya dengan apa yang aku dengar.

Kayla seperti melihat kehawatiran di wajahku, “Mungkin ini terdengar di luar bayanganmu.”

“Ya, aku tidak ingin percaya. Ini terasa sangat aneh.” Aku bertopang dagu, membayangkan masa depan yang belum aku jalani.

Angin menerbangkan serpihan daun di tanah, menggulung-gulung dan akhirnya menghempaskannya ke atas air danau yang tenang. Kering, tua, pasrah dan dilupakan.

“Jadi apa yang terjadi jika kita menikah?” aku bertanya pelan.

“Tidak ada yang tahu.”

“Apa kita akan punya anak?”

“Tidak ada yang tahu.”

“Jadi sebenarnya apa maksudmu ke sini?” nada suaraku mulai meninggi. “Apa hanya untuk memenuhi keinginan dan hasratmu?”

Kayla diam. Padahal aku berharap ia akan memberikan alasan bahwa ia ingin mengubah masa depanku. Tapi ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi sebenarnya. Jadi datang atau tidak datang ke masa ini sama saja untukku. Masa depan yang sebenarnya tetap tidak bisa diketahui.

Aku terus memaksa Kayla untuk mengatakan keinginan sebenarnya. Ia tetap diam. Aku ikut terdiam, menata pikiran yang berkecamuk. Membayangkan masa depan yang suram membuatku berpikiran gelap.

“Aku ulangi lagi.” nada suaraku mulai tenang. “Jadi apa tujuanmu datang ke sini?”

Kayla kembali diam. Menunduk memandangi lantai beton dan rerumputan. Aku menjadi serba salah. Akan lebih mudah jika ia berargumen dan kita bertengkar. Tapi sepertinya ia sangat mengerti karakterku yang tidak suka ditentang.

“Baik.” akhirnya aku membuka suara setelah jeda diam beberapa saat. “Aku rasa hubungan seperti ini tidak bisa diteruskan.”

*


Hari ini aku berdiri di depan makam Kayla. Beberapa tahun setelah percakapan panjang itu, lima bulan sebelum Kayla lahir. Sungguh aneh.

Aku tahu hari ini akan tiba. Entah aku yang meninggal lebih dahulu atau Kayla. Tapi pengetahuan dan kesadaran itu tidak cukup untuk meredam kesedihanku. Hari ini aku mengenang beberapa kejadian.

Aku ingat percakapan di ujung senja di Pulau Santorini. Tempat dimana dewa dewi melepas keabadian mereka. Tata kota dan bangunan-bangunan berarsitektur yang Kayla sebut dengan kalimat abstrak; romantis. Kami menyewa sebuah rumah putih di dekat undakan dinding tebing. Pada beberapa hari pertama, hal-hal yang baru itu terasa mengagumkan. Menjelajahi jalan-jalan sempit kota itu menuju Fira. Berjalan kaki menuju sebuah Katedral Ypapanti dengan kubah biru dalam akulturasi desain lokal Yunani dengan sentuhan rennaisance, dimana dari sana terlihat kawah kaldera dan laut Aegean yang biru pekat.

Sampai subuh, aku dan Kayla masih terjaga dan terus berbicara, sambil berbagi feromon di kulit, di bawah langit yang penuh rasi bintang. Mungkin benar kata orang, you never really know a woman until you talk to her at 3 AM.

“Jadi apa itu kebahagiaan menurutmu?” aku bertanya pada Kayla.

“Kebahagiaan itu sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kita kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.”

Pada akhirnya aku dan Kayla menikah tapi tidak punya anak. Segala yang diceritakan Kayla tentangku terwujud, hanya sekarang aku punya perspektif yang berbeda tentang mimpi. Sekarang aku tidak pernah sedetikpun menyesali kehidupan yang telah aku jalani. Pertemuan dengan Kayla membuka mataku dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya keinginan yang ingin kucapai, apa yang membuat orang bahagia. Jim Carrey benar, semua orang harus menjadi kaya dan terkenal dan melakukan semua yang mereka impikan sehingga mereka dapat melihat bahwa itu bukan jawabannya.