Kawan saya seorang pengurus pesantren dalam sebuah status WA menuliskan kekhawatiran karena media banyak menyorot kasus kejahatan seksual di pesantren. Ia khawatir citra pesantren menjadi buruk di mata masyarakat. Ia juga menyinggung bahwa institusi pesantren dimana banyak terjadi kasus asusila adalah pesantren yang eksklusif dan secara kultural tidak merepresentasi pesantren pada umumnya.
Saya menanggapi dengan mengatakan bahwa kehawatiran masyarakat akan berpendapat bahwa pesantren adalah tempat yang selalu negatif adalah kehawatiran yang berlebihan. Kesimpulan yang populer di masyarakat pada akhirnya adalah pesantren sebagaimana lembaga lain, tidak selalu baik, tidak melulu buruk. Malah tuduhan bahwa pemberitaan di media yang menyebabkan citra pesantren buruk akan terkesan apologetik dan tidak menampakan wajah pesantren yang inklusif.
Saya setuju bahwa pesantren harus dikembalikan kepada wajah yang terbuka pada semua. Secara kultural, kebanyakan pesantren NU di Jawa Tengah atau Timur telah melakukan itu, dengan pembauran lingkungan pesantren dan masyarakat (kolaborasi), atau rumah kiyai yang selalu terbuka untuk siapa saja. Pesantren yang tidak punya kultur seperti itu, harus punya cara lain agar kepercayaan masyarakat pada pesantren tetap terjaga.
Saya ingat apa yang pernah dikatakan Kiyai Fakhruddin, ada dua hal yang membuat pesantren bertahan dan dipercaya; sistem dan figur. Beliau mencontohkan pesantren dengan sistem yang kuat itu seperti Gontor. Orang awam hampir tidak mengetahui siap kiyai pesantren Gontor, tapi Gontor sangat terkenal sebagai pesantren yang menghasilkan lulusan berkualitas. Sementara pesantren dengan figur yang kuat contohnya seperti kebanyakan pesantren yang dikenal karena kiyainya; pesantren Gus Dur, pesantren Gus Mus, pesantren Gus Baha dan lain-lain. Pesantren dengan sistem yang kuat lebih bertahan menghasilkan lulusan yang berkualitas selama sistem yang ada terjaga. Sementara pesantren dengan figur yang kuat biasanya akan menurun jika figurnya sudah tidak ada dan figure pengganti tidak sekuat pendahulunya.
Harus diakui pondok atau asrama sampai saat ini masih menjadi sistem pendidikan unggulan karena banyak alasan. Ki Hadjar menulis bahwa keunggulan sistem pondok adalah ia bisa mendidik murid dengan lebih sempurna karena guru dan murid setiap hari, siang dan malam, hidup bersama, bergaul, makan, juga bermain bersama-sama. Dengan begitu maka anak-anak tidak akan terpisah dengan “orangtua” mereka secara lahir dan batin, mereka hidup menurut pedagogik pengalaman yang nyata bukan hanya yang tertulis di buku-buku. Kehidupan pesantren itu setara dengan kehidupan keluarga atau bisa juga disebut miniatur kehidupan berbangsa. Anak-anak sehari-harinya terus merasa anak bangsa, terus merasa sadar akan kemanusiannya karena mereka senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan. Itu mungkin alasan mengapa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, penjelasan tentang sistem pondok diletakan dalam Bab Pendidikan Keluarga.
Dalam tataran praktek tentu kita akui ada hal-hal yang perlu diperbaiki. Bagaimanapun tidak ada instansi di dunia ini yang sempurna, termasuk juga instansi pondok pesantren. Pengakuan atas ketidaksempurnaan ini berguna untuk selanjutnya menjadi sarana untuk melakukan perbaikan. Pada tahun 2009, saya menulis Badung Kesarung, sebuah novel komedi tentang pengalaman saya di pesantren, yang selain merupakan manifestasi kebanggan saya sebagai lulusan pondok, juga merupakan kritik yang membangun demi terciptanya kebaikan bersama. Walaupun sebagian pihak tidak menanggapi secara konstruktif bahkan malah merasa disudutkan, saya menganggap mereka tidak memahami hakikat pesantren secara filosofis dan kultural yang telah ada dan menjadi budaya di Indonesia bahkan sebelum Islam.
Saya bukan pengurus pesantren, namun saya punya pandangan, bahwa untuk membuat pesantren yang inklusif, yang dirindukan para santri, yang pengurusnya merasa memiliki, adalah dengan merangkul sebanyak-banyaknya kemampuan. Baik kemampuan para santri, juga kemampuan para alumnus. Hal seperti itu, yang jika dilakukan dengan konsisten, akan secara otomatis meminimalisir segala macam hal negative. Di sini dibutuhkan kerendahan hati dari pengurus untuk terus membuka diri dan berkolaborasi.
Kolaborasi sendiri bukanlah hal yang asing dalam dunia pondok. Bahkan kemampuan bekerja sama yang merupakan salah satu dari 4 keterampilan pokok abad 21 ini (Critical Thinking, Communication, Creativity, dan Collaboration) di pondok dipraktekkan dengan lebih relevan dengan kehidupan nyata karena tidak hanya dilakukan dengan kawan sebaya namun juga lintas tingkatan kelas. Kolaborasi berarti bisa melihat kelebihan orang lain dengan pandangan positif, bukan menjadi pesaing tapi kawan untuk bekerjasama. Ia dapat menjadi sarana mengembangkan kemampuan, menyatukan kekuatan, saling belajar, menyelesaikan masalah dengan lebih mudah, juga membangun jaringan. Kesadaran akan makna ini yang seharusnya terus dikemukakan dan disadari oleh santri ataupun pengurus, agar pengawasan bisa dilakukan secara terpadu, bahkan membuat lembaga pondok atau asrama menjadi lembaga unggulan yang menurut Ki Hadjar Dewantara seharusnya diterapkan dalam jangkauan nasional.