Halaman

Minggu, 02 Oktober 2011

Argumen Radikalisme

Fenomena mengkafirkan belakangan banyak bermunculan di Indonesia. Orang-orang yang memaksakan keyakinan mereka pun makin banyak. Bahkan telah melembaga (saya tidak perlu menuliskan lembaga-lembaga tersebut di sini, mungkin sebagian pembaca telah mengetahui. Sekaligus juga menjaga agar blog saya tidak di-Hack. hehehehe). Mengapa mereka yakin perbuatan kasar mereka itu sebagai perbuatan baik? Apa sebenarnya argumentasi mereka?

Dalam Islam, pengkafiran paling awal gemar dilakukan oleh kelompok Khawarij. Mereka adalah kelompok orang yang keluar dari Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib terkait Tahkim dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah.

Kelompok-kelompok ini lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun sebagai musyrik, murtad dan kafir. Mereka menyebut semua ini sebagai dakwah, Amar ma’ruf nahy munkar dan ‘jihad’.

Ada sebuah riwayat hadits yang dijadikan keteladanan dan landasan bagi mereka untuk menghabisi dan perang melawan non-Muslim. Hadits tersebut berbunyi, “Umirtu an uqátila al-anás hattá yasyhadú lá Iláh illa Alláh” (Aku diperintahkan memerangi siapapun hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah).

Ada beberapa hal yang perlu diperjelas di sini. Saya akan bagi menjadi beberapa poin.

Secara umum, tabiat mereka yang keras serta perbuatan-perbuatan mereka seperti memvonis musyrik, kafir dan murtad terhadap sesama muslim, serta aksi-aksi destruktif lainnya bertentangan dengan semangat Islam. Perbuatan mereka bertentangan dengan kaidah fiqh yang berbunyi: “Mafsaadah dar’ al-mafaasid muqaddam ‘alaa jalb al-mashlaalih” (Menolak kerusakan, kekacauan, kekejaman dan semacamnya harus lebih didahulukan daripada mewujudkan kesejahteraan).

Makna kafir menurut Ibn ‘Arabi adalah suatu kondisi tertutup atau menolak kebenaran sejati, atau bahkan sumber kebenaran sejati. Bisa jadi, penolakan ini disebabkan sifat takabbur atau terbatasnya pengetahuan. Karena itu mereka tidak boleh dimusuhi, apalagi diputuskan halal darahnya.

Secara harfiah jihad bermakna kesungguhan, keseriusan dalam menunaikan suatu kewajiban atau kegiatan. Secara generik kata ini bersifat netral dan baru mempunyai makna konotatif ketika disandingkan dengan aktivitas tertentu. Belajar dengan sungguh-sungguh disebut jihad karena kesungguhan dan keseriusan di dalamnya, bukan karena belajarnya. Ketika diucapkan dalam konteks ‘perang’pun, jihad sebenarnya merujuk pada kesungguhan dan keseriusan di dalamnya, bukan kepada perangnya. Jadi jihad bukan sama dengan perang.

Tentang hadits yang dikutip di atas, sebenarnya masih harus dijelaskan lebih lanjut. Karena jika memaknai hadits tersebut secara harfiyah saja maka itu menjadi bertentangan dengan kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh makhluk (bukan hanya muslim). Maka tidak mungkin nabi menyatakan dirinya diperintahkan ‘membantai’ non-Muslim. Maka hadits ini harus dibaca dalam konteks keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi Muhammad sebagai penyempurna akhlak mulia. Pembacaan secara parsial hanya akan menyebabkan agama menjadi sumber kebingungan. Perintah memerangi ini bukan dalam konteks memaksa siapapun masuk Islam, karena (lagi-lagi) itu bertentangan dengan, “Tidak ada paksaan dalam agama”. Kalimat tauhid sebgai kata kunci dalam hadits tersebut bukanlah dalam makna formal. Bukan dalam makna hingga mereka masuk Islam. Karena dalam syahadat dibutuhkan juga kalimat yang menyatakan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Maka makna tauhid dalam hadits tersebut menekankan makna hanya menuhankan Allah semata, apapun agamanya.


Marilah kita renungi bersama: untuk menjadikan setiap individu atau masyarakat di Indonesia ini mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya kita --sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok-kelompok tersebut--, tentu sangat tidak realistis.

Sementara Imam ‘Ali Ibn Abi Tholib juga pernah berkata, “Kitab suci tidak membawa maknanya di atas pundaknya. Ia membutuhkan pembaca untuk menyampaikan maknanya. Dan pembaca itu adalah manusia.”

Sebaik apa pun ajaran dan pesan agama sebagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca dan penganutnya. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita sebagai hamba yang lembut hatinya.

Dan untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip Emha Ainun Nadjib. Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang sakral tentang tuntutan penghapusan UU Penodaan Agama, dia bilang, "Saya disebut kafir malah Alhamdulillah, sama seperti sekolah nggak lulus-lulus, jadi belajar terus. Saya belum berani menyebut diri muslim, apalagi bilang saya ngganteng,"

Wallahu ‘alam bissowab