Halaman

Selasa, 11 Desember 2012

Mengkritik dan Menyalahkan Orang Lain

Beberapa hari yang lalu, ada seorang kawan menulis hinaan di Note dalam facebook-nya kepada seorang manager tempat ia dulu bekerja.

Ia menulis itu karena tidak terima atas penghinaan yang pernah diterima ketika dulu bekerja. Yang membuat ini menarik adalah; ia menulis juga nama institusi dan lokasinya dengan jelas serta di-tag ke beberapa sahabatnya yang bahkan masih bekerja di sana.

Sekilas ini seperti kasus Prita Mulyasari.

Kawan saya itu pernah bercerita bahwa dulu ia pernah di ‘nasehati’ oleh sang manager agar menurunkan berat badannya. Ia tersinggung dan tidak beberapa lama kemudian mengundurkan diri. Padahal belum genap sebulan ia bekerja.

Kepada saya ia bercerita, “Iya, waktu itu gue pulang kerja trus nangis minta nyokap buat beliin alat pengurus badan. Tapi akhirnya gue mutusin berenti kerja aja. Karena kalo gue pikir-pikir, gak ada hubungannya juga kerjaan yang gue jalanin sama berat badan gue!”

Setelah membaca cacian itu, sang manager tersinggung dan segera ingin bertemu dengan kawan saya. Terakhir saya dengar, meneger yang yang juga masih tetangga dekatnya itu, ingin menuntut lewat jalur hukum.

Sampai tulisan ini ditulis, saya tidak tahu kelanjutan masalahnya.

Namun di sini saya tidak punya kapasitas apa-apa untuk menyalahkan. Kalaupun saya punya kapasitas itu, saya pun akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Kenapa? Ya, karena sudah hampir dapat dipastikan kedua belah pihak akan membela diri dan tidak terima disalahkan.

Mungkin ada baiknya jika melihat kasus ini bukan dari segi siapa yang salah dan yang benar. Siapa yang melanggar hukum, siapa yang tidak. Siapa yang dicemarkan nama baiknya dan lain sebagainya.

Saya ingin bercerita tentang Abraham Lincoln, presiden Amerika yang terkenal itu. Kisah ini saya kutip dari buku How to Win Friends and Influence People karya Dale Carnegie

Pada musim semi tahun 1842, Lincoln mengejek seorang politikus yang suka berkelahi bernama James Shields. Ia mengecamnya melalui sepucuk surat tanpa nama yang diterbitkan dalam Journal Springfield. Seisi kota itu pecah dalam tawa. Shields, seorang yang peka dan punya harga diri, mendidih karena marah. Dia mencoba mencari tahu siapa yang menulis surat itu, dia mengejar Lincoln dan menantangnya berduel. Lincoln tidak ingin berkelahi. Dia menolak berkelahi, tapi dia tidak bisa melepaskan diri dari kejadian ini dan menyelamatkan harga dirinya. Dia diberi pilihan senjata. Karena Lincoln memiliki lengan yang sangat panjang, dia memilih pedang kavaleri dan belajar berkelahi dengan menggunakan pedang di West Point; dan, pada hari yang ditentukan dia dan Shields bertemu di tepi Sungai Misisipi, bersiap untuk bertarung sampai mati; tapi pada menit terakhir, para pendukung mereka menyela dan menghentikan duel tersebut.
 
Bagi Lincoln peristiwa itu punya satu pelajaran tak ternilai harganya dalam seni berhubungan dengan manusia. Tidak pernah lagi ia menulis surat yang menghina. Tidak pernah lagi ia mengolok-olok seorang pun. Dan sejak saat itu, dia hampir tidak pernah mengeritik siapapun dalam hal apa pun.

Jadi, kalau ada orang yang mau dibenci orang lain, cobalah menuruti hati untuk memberikan kritik yang tajam —betapapun yakinnya kita bahwa tindakan itu benar-- itu cukup untuk membuat anda dibenci.

Ketika berurusan dengan manusia, ingatlah bahwa kita tidak berurusan dengan makhluk logika. Kita berurusan dengan makhluk emosi, makhluk yang penuh dengan prasangka. Makhluk yang dimotivasi oleh rasa bangga dan sombong.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran.