Halaman

Rabu, 19 Desember 2012

Tentang Dua Buah Film (2)


Setelah keluar bioskop, gue bilang ke cewek yang gue ajak nonton, “Ah, nyesel nonton film itu.”
“Nyesel kenapa, kan filmnya bagus.”
“Nyesel kenapa gak nonton 3D-nya.”
Tapi selain itu, film ini memang bagus, ngasih gue cara baru melihat agama.
Film ini dibuka dengan dialog seorang penulis Kanada dengan pria India bernama Pi, karena dia diberitahu bahwa Pi memiliki cerita yang akan membuatnya percaya akan Tuhan.


Seperti yang gue bilang sebelumnya, gue tertarik dengan penjelasan ayah Pi tentang agama. Ayah Pi nggak percaya agama apapun. Ia bilang agama itu kegelapan. Sementara ibu Pi adalah penganut Hindu yang taat. Pi dibesarkan dalam cerita-cerita ibunya tentang dewa-dewa Hindu. Namun ketika ia beranjak remaja, mungkin sekitar umur 12 tahun, ia juga tertarik untuk memeluk Kristen dan kemudian ia juga Sholat seperti Muslim. Demikian salah satu percakapan Pi dengan si penulis tentang keimanan:
Pi: Faith is a house with many rooms.
Writer: But no room for doubt?
Pi: Oh plenty, on every floor. Doubt is useful; it keeps faith a living thing. Afterall, you cannot know the strength of your faith until it is tested.
Ketika ayah-ibunya mengetahui ia memeluk tiga agama sekaligus, mereka nggak melarang. Di meja makan, ketika mereka berkumpul untuk makan ayahnya bilang, “Believing in everything is the same as believing in nothing."



Ia menyuruh Pi untuk menggunakan akal sehatnya daripada memeluk agama manapun. Namun ayahnya sekaligus nggak merasa berhak melarangnya memeluk agama apapun. Ia malah mempersilahkan anaknya untuk berbeda keyakinan dengannya, asalakan itu dihasilkan dari akal sehatnya, bukan hanya ikut-ikutan.

Kemudian Pi lanjut bercerita tentang ayahnya yang memutuskan untuk pindah dari India ke Eropa untuk menjual binatang dari kebun binatang mereka. Di tengah perjalanan dengan kapal laut, kapal mereka tenggelam diterjang badai. Pi terdampar di Samudra Pasifik dengan Macan Bengal bernama Richard Parker —Nah, kalo Bengal di sini maksudnya nama sebuah tempat di India.

Gue bisa menyimpulkan dari keseluruhan cerita di film ini, bahwa ini adalah cerita tentang percaya pada kehidupan, keindahan dan semangat manusia.

Dari dua film tersebut, gue bisa menyimpulkan satu hal; every human being has faith —it just sometimes needs proof to back it up. Sampai saat ini, gue bisa bergaul dan menghormati orang yang berlainan kepercayaan atau ketidak percayaan terhadap agama. Bagi gue kita adalah manusia yang masih terus mencari. Semua orang yang memiliki keyakinan atau ketidak yakinan layak diapresiasi. Keyakinan seperti juga ketidak yakinan datang melalui sebuah proses yang terkadang panjang.
Seperti ayah Pi, gue lebih senang jika ada orang yang berbeda keyakinan dengan gue tapi dia mendapat keyakinan itu dengan pergulatan yang berani ia ambil, dari pada punya kesamaan keyakinan dengan gue tapi berdasarkan ikut-ikutan. Karena memang keyakinan nggak bisa dipaksakan.
Mungkin tepat apa yang dikatakan Yann Martel, “Atheists are my brothers and sisters of a different faith, and every word they speak speaks of faith.”